Meski lima tahun adalah waktu yang seharusnya cukup panjang untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat, namun sayangnya, waktu itu seringkali diisi dengan kebijakan yang lebih memikirkan kepentingan elit politik daripada kesejahteraan rakyat.
Pemilu telah menghasilkan perubahan pemerintahan, namun tak jarang perubahan itu hanya sebatas pergantian wajah dan tidak menyentuh inti permasalahan. Sistem yang korup dan tidak efisien masih bertahan.
Melihat sejarah perubahan pemerintahan di Indonesia, setiap perubahan pemerintahan selalu membawa harapan baru, seperti setelah jatuhnya Soekarno dan naiknya Suharto, serta Reformasi 1998 yang membawa angin segar. Namun, menjelang Pilpres 2024, atmosfernya terasa berbeda.
Terlihat ada upaya untuk melanjutkan pola lama yang pernah ditentang. Muncul pertanyaan apakah reformasi yang dulu diidamkan masih berlaku, ataukah kita kini menghadapi ironi politik di bumi Indonesia?
Rakyat seakan dihadapkan pada pilihan sulit, di antara harapan akan perubahan dan kenyataan bahwa politik masih dikuasai oleh kepentingan tertentu.Â
Reformasi sepertinya telah luntur dan digantikan oleh keinginan untuk memperpanjang masa jabatan. Bahkan, lebih meperihatinkan lagi adanya langkah-langkah usang, yakni yang mengedepankan terjadinya politik dinasti.
Pilpres, yang seharusnya menjadi simbol perbaikan, malah terasa seperti alat untuk mengejar kekuasaan lebih lama. Harapan rakyat yang terpatri dalam suara mereka, kini terasa sirna di tengah hiruk-pikuk politik.
Ironisnya, saat kita merenungi sejarah yang telah diubah oleh perubahan pemerintahan, kita dihadapkan pada masa depan yang belum tentu membawa perubahan yang diidamkan.
Pemilu, yang seharusnya menjadi momen menyegarkan semangat reformasi, kini berubah menjadi ajang untuk melanjutkan kebijakan masa lalu yang bisa membuat sejarah berulang.
Seakan kita menyaksikan adegan yang terulang, di mana pemimpin yang terpilih hanya menjadi pewaris kebijakan masa lalu yang terkadang melupakan esensi reformasi.