Mohon tunggu...
Sukarja
Sukarja Mohon Tunggu... Desainer - Pemulung Kata

Pemulung kata-kata. Pernah bekerja di Kelompok Kompas Gramedia (1 Nov 2000 - 31 Okt 2014)

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Berkaca pada Pengalaman AHY, Sebaiknya Gibran Tidak Dicawapreskan!

22 Oktober 2023   07:33 Diperbarui: 23 Oktober 2023   02:39 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasangan calon Gubernur DKI Jakarta no 1, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Sylviana Murni usai memberikan tanda komitmen deklarasi kampenye damai, Jakarta, Sabtu (29/10). (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Pengalaman adalah guru terbaik yang pernah ada dalam kehidupan kita. Dia seperti seorang pemandu yang membawa kita melalui labirin yang kompleks. Setiap kesalahan yang kita buat, setiap tantangan yang kita hadapi, dan setiap keberhasilan yang kita raih adalah tugas dari guru ini. 

Seperti halnya seorang penuntun yang tidak hanya memberi tahu kita jalan yang benar, tapi pengalaman juga memberikan kita pelajaran berharga yang tak ternilai harganya. Dalam setiap keputusan yang kita buat dan dalam setiap langkah yang kita ambil, pengalaman ini adalah kompas yang memberi arah dan pengetahuan yang mendalam. 

Dan seperti guru yang sabar, dia juga tidak pernah lelah memberikan kita pelajaran, sekalipun pelajaran tersebut terkadang datang melalui kesalahan dan kegagalan. 

Dengan setiap pelajaran yang kita terima dari pengalaman, kita menjadi lebih bijak, lebih kuat, dan lebih siap untuk menghadapi tantangan-tantangan yang akan datang.

Dalam konteks Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, upaya pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal Cawapres Prabowo Subianto, seakan-akan terlalu dipaksakan. 

Gibran, putera sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini, yang baru menjabat beberapa tahun sebagai Walikota Solo, tentu saja masih terlalu dini jika harus dipaksakan menduduki kursi wakil presiden.

Bukankah lebih baik, seandainya Gibran menyelesaikan masa tugasnya sebagai walikota dan setelah selesai dari masa jabatannya, baru kemudian menaiki jenjang yang setingkat lebih tinggi, seperti sebagai wakil gubernur atau pun gubernur. 

Dengan demikian, Gibran akan memiliki jam terbang yang lebih tinggi dalam melayani masyarakat meskipun masih terbatas jangkauannya. Akan tetapi, itu lebih baik ketimbang harus mencapai kursi wakil presiden untuk negara sebesar Indonesia.

Senada dengan Gibran, kita tentu saja masih ingat dengan Agus Harimurti Yudhoyono atau biasa dipanggil AHY. Putera sulung Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini, terpaksa harus mengundurkan dirinya dari kesatuan militer untuk ambisi orangtuanya di Pilkada DKI 2017 lalu.

Pasangan calon Gubernur DKI Jakarta no 1, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Sylviana Murni usai memberikan tanda komitmen deklarasi kampenye damai, Jakarta, Sabtu (29/10). (Liputan6.com/Yoppy Renato)
Pasangan calon Gubernur DKI Jakarta no 1, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Sylviana Murni usai memberikan tanda komitmen deklarasi kampenye damai, Jakarta, Sabtu (29/10). (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Ketika itu, AHY terpaksa harus melepaskan pangkat mayornya agar bisa menjadi calon gubernur DKI Jakarta yang disandingkan dengan Sylviana Murni sebagai calon wakil gubernurnya. Namun, kenyataannya AHY dan Sylviana Murni harus tersungkur kalah di tahap pertama Pilkada DKI 2017.

Dengan kekalahan AHY ini, tentu saja AHY sudah kehilangan kesempatan emasnya untuk mengejar karier militernya hingga bisa sejajar dengan pangkat militer dari bapaknya, pamannya, atau bahkan juga kakeknya Sarwo Edie Wibowo.

Pengalaman AHY inilah, yang setidaknya bisa dijadikan pelajaran bagi Jokowi agar tidak begitu saja memaksakan  kehendaknya agar Gibran harus ikut serta dalam konstelasi Pilpres 2024, yang begitu terbuka lebar kesempatan itu karena pengaruh bapaknya.

Kita semua mahfum, pengalaman mengajarkan kita bahwa memaksakan seseorang yang belum matang secara mental untuk memimpin sebuah bangsa akan berakhir pada kegagalan yang besar.  

Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya pemilihan pemimpin yang bijak dan kompeten dalam suatu pemerintahan. Beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari situasi semacam ini adalah:

1. Ketidakmatangan mental dapat merusak keputusan.

Memimpin sebuah negara membutuhkan ketegasan, rasa tanggung jawab, dan kebijaksanaan. Seseorang yang belum matang secara mental mungkin tidak memiliki kemampuan ini, sehingga keputusan yang dibuat dapat merugikan banyak orang.

2. Dampak negatif pada stabilitas politik.

Kegagalan seorang pemimpin yang belum matang secara mental dapat mengganggu stabilitas politik dan sosial. Proses pengambilan keputusan yang impulsif dan tidak terencana dapat menciptakan konflik dan ketidakpastian.

3. Kerugian ekonomi dan sosial.

Kepemimpinan yang tidak matang secara mental dapat berdampak buruk pada ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan yang tidak berdasar pada fakta dan data yang tepat dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kualitas hidup masyarakat.

4. Hilangnya kepercayaan masyarakat.

Kegagalan pemimpin yang belum matang secara mental untuk memimpin dengan baik dapat merusak kepercayaan masyarakat. Ini dapat mengakibatkan ketidakpuasan rakyat dan kehilangan dukungan terhadap pemerintahan.

5. Perlunya proses pemilihan yang ketat.

Pengalaman ini memperkuat argumen bahwa proses pemilihan pemimpin harus ketat dan berdasarkan kualifikasi yang jelas. Keberhasilan seorang pemimpin tidak boleh hanya diputuskan oleh popularitas atau retorika yang meyakinkan, tetapi juga oleh kemampuan intelektual dan kematangan mental.

Dengan mengambil pelajaran dari pengalaman di atas, kita dapat lebih berhati-hati dalam mengusung atau mengajukan seseorang untuk diikutsertakan dalam konstelasi sekelas Pilpres. 

Janganlah kita mengajukan seseorang yang secara usia belum matang untuk tampil di dalam perhelatan Pilpres, hanya karena bermodalkan dukungan yang besar. 

Bagaimanapun, kesalahan dalam pemilihan pemimpin dapat berdampak jangka panjang pada masa depan sebuah negara, dan oleh karena itu, kita harus menjadikan pengalaman ini sebagai pelajaran berharga dalam politik.

Bagaimana, Pak Jokowi?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun