Dampaknya, tak bisa dianggap enteng. Terpaparnya PM 2.5, antara lain bisa berakibat iritasi, hidung perih, penumpukan dahak, batuk, bersin, serangan asma, serangan jantung, stroke iskemik.Â
Bahkan, yang paling berbahaya, kanker paru-paru.Â
Partikel PM 2.5 ini juga yang dianggap jadi penyebab paru-paru kronis yang mewabah di Tiongkok beberapa tahun lalu.
Selain Electrostatic Precipitator, teknologi CEMS juga memiliki peran penting. Fungsinya adalah memantau emisi PLTU secara berkelanjutan, memastikan emisi yang keluar dari cerobong dapat terpantau secara real-time dan tidak melebihi standar kualitas udara yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).Â
Dengan kata lain, artinya PLN selalu memprioritaskan prinsip environmental, social, dan governance (ESG) dalam operasionalnya.
Tidak hanya dari pihak PLN Group, Ahli Emisi Udara dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Anton Irawan, juga turut membantah tudingan terhadap PLTU.Â
Menurut Anton, hampir seluruh PLTU sudah dipasang ESP, dengan hasil penyaringan fly ash yang mencapai 99,5 persen sehingga partikel berbahaya tidak tersebar.Â
Hasil penyaringan dari emisi tersebut, bisa terlihat dari perbedaan asap yang dikeluarkan dari PLTU.
Terlebih lagi, saat ini sudah banyak PLTU yang memperoleh penghargaan patuh terhadap aturan yang ditentukan oleh Kementerian LHK, sehingga tidak tepat jika pembangkit listrik berbasis batu bara selalu dijadikan kambing hitam, karena semua sudah memenuhi standar yang ditetapkan dunia.Â
Bagaimana pun PT PLN (Persero) sebagai BUMN pemilik PLTU tidak hanya memandang pembangkit listrik sebagai sumber energi, tetapi juga sebagai potensi untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi lingkungan.Â