Mohon tunggu...
Sukarja
Sukarja Mohon Tunggu... Desainer - Pemulung Kata

Pemulung kata-kata. Pernah bekerja di Kelompok Kompas Gramedia (1 Nov 2000 - 31 Okt 2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bisakah Serikat Pekerja Jadi Senjata Politik Lawan Negara?

26 Desember 2021   15:44 Diperbarui: 26 Desember 2021   16:48 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase Gd Pertamina (Kompas.com) dan Arie Gumilar (Portonews.com)/desain: sukarja

Melihat kedamaian di negeri ini adalah sebuah keniscayaan. Mengakhiri tahun 2021, sudah ada mimpi kita di tahun 2022, semoga bisa lebih baik lagi dari apa yang ada selama satu tahun ke belakang. 

Kita tak ingin, Covid-19 jadi momok yang menakutkan sehingga membuat lumpuh sebagian roda ekonomi di negeri ini. Namun, bukan tanpa usaha, kedamaian akan begitu saja datang. Tetap saja ada orang-orang yang tidak menghendaki Indonesia bisa hidup damai, aman, dan dengan rasa bahagia menatap masa depan.

Pilu rasanya apabila ada segelintir orang yang berupaya mengganggu stabilitas keamanan di negeri ini. Sebut saja Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) yang  berencana melakukan mogok kerja dari Rabu, 29 Desember 2021 mulai pukul 07.00 WIB hingga Jumat, 7 Januari 2022 pukul 16.00 WIB. 

Rasa pilu di sini, bukan karena penulis menolak hak pekerja untuk melakukan mogok. Namun, apa urgensinya bila mogok yang akan dilakukan itu bisa mempengaruhi stabilitas nasional di penghujung tahun ini.

Pertamina sebagai Objek Vital Nasional

Untuk diketahui, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 63 Tahun 2004, infrastruktur energi yang berada di wilayah operasi Pertamina merupakan objek vital nasional (obvitnas) yang memang harus terbebas dari ancaman dan gangguan. 

Oleh karena itu, ancaman mogok kerja yang digagas FSPPB bisa jadi akan menggangu stabilitas keamanan nasional.

Terlebih lagi, di penghujung tahun ini, tidak sedikit masyarakat yang akan melakukan mobilitas, dan tentunya membutuhkan kesiapsiagaan dari Pertamina dalam hal ketercukupan BBM.

Bagaimana mungkin masyarakat tidak dibuat rusuh, apabila kebutuhuan sehari-harinya menyangkut bahan bakar minyak (BBM) dan LPG tak bisa dipenuhi lantaran jalur distribusi dan pasokannya terganggu karena para pekerjanya mogok. Ini sama halnya orang lapar dibuat marah karena tak bisa mendapatkan apa yang dibutuhkannya.

Oleh karena itu, penulis sepakat dengan apa yang disampaikan VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman,

"Oleh karenanya diharapkan seluruh pekerja untuk tetap dapat mengedepankan kepentingan umum dan dapat bersama-sama menjaga kondusivitas operasional," kata Fajriyah Usman, seperti dikutip Kompas.com (21/2/2021).

Secara kasatmata, rencana mogok ini tampak cukup politis. Bagaimana tidak, ujung dari aksi mogok kerja yang dikomandoi Presiden FSPPB ini adalah pemecatan Nicke Widyawati dari kursi Direktur Utama PT Pertamina (Persero).

Ya, bukan hanya cukup politis, tapi sangat politis. Bahkan, bisa jadi upaya ini adalah pesanan dari pihak luar yang merasa terganggu segala aktivitasnya selama ini ketika BUMN Energi terbesar ini dipimpin Nicke Widyawati.

Jika ditelusuri ke belakang, Presiden FSPPB Arie Gumilar  merupakan pihak yang juga tidak menginginkan ketika nama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diangkat sebagai Komisaris Utama Pertamina.

Ya, FSPPB yang secara kebetulan diketuai Arie Gumilar ini menolak Ahok sebagai Komut Pertamina dengan alasan yang dibuat-buat. 

Siapa sih sosok Arie Gumilar? Dialah simpatisan PA 212 yang bersama organisasi terlarang FPI memasukkan Ahok ke penjara. 

Dengan kata lain, upayanya hari ini bisa jadi sangat sejalan dengan keinginan orang-orang yang selama ini mengkerdilkan Pertamina. 

Semua orang tahu, masuknya Ahok ke Pertamina adalah instruksi Jokowi agar di tangan Ahok, tangan-tangan mafia migas yang selama ini merecoki kerja Pertamina bisa segera diamputasi, sehingga Pertamina benar-benar bisa memberikan sebanyak-banyaknya keuntungan bagi bangsa dan negara. 

Jadi, jelas siapa yang berpihak dan menentang pada negara ini.

Unggahan Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Arie Gumelar di akun instagram. Foto/instagram/ariegoem 
Unggahan Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Arie Gumelar di akun instagram. Foto/instagram/ariegoem 

Bagi penulis, upaya pencopotan Nicke Widyawati tak bedanya dengan upaya segelintir politikus di MPR yang meminta Presiden Jokowi agar memberhentikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI). 

Bagaimana mungkin Jokowi memecat SMI yang prestasinya begitu diakui dunia itu. 

Begitu juga dengan Nicke Widyawati. Dunia mengakui keandalannya memimpin Pertamina. Di tangan dinginnya, Pertamina kembali tercatat dalam daftar Fortune Global 500 pada 2021. Sebagai satu-satunya perusahaan Indonesia, Pertamina tercatat pada peringkat 287 dengan total pendapatan US$41,47 miliar.

Bersama Ahok, Nicke mampu membawa Pertamina untung besar, sehingga bisa menyetorkan pajak dan keuntungannya bagi negara. Lebih-lebih di masa sulit seperti saat ini, dari mana lagi kalau bukan dari BUMN yang produktif.

Apa yang dilakukan FSPPB tidak lantas mendapat dukungan dari koleganya sesama serikat pekerja. 

Menurut Sekjen FSP BUMN Bersatu Tri Sasono, aksi mogok yang direncanakan FSPPB Pertamina dinilai tidak sesuai dengan semangat berorganisasi dan perjuangan serikat pekerja.

"Sebagai sesama serikat pekerja, kami menyayangkan rencana aksi mogok tersebut, karena tidak sesuai dengan tujuan berorganisasi dari serikat pekerja," kata Tri Sasono dikutip pada Minggu (26/12/2021) dikutip oleh Kompas.com.


Kekecewaan upaya FSPPB ini juga datang dari politikus Senayan. Salah satunya datang dari Anggota Komisi VI DPR-RI yang membidangi urusan BUMN, Andre Rosiade, yang menilai tuntutan FSPPByang mendesak pemberhentian Dirut Pertamina, sangat berlebihan, dan berpotensi memiliki motif politik, tidak semata-mata terkait hubungan industrial.

Bagi penulis, mogok kerja adalah hak karyawan. Ya, make nuranilah. Saat ini, masih banyak masyarakat kita yang karena pandemi mengalami pemutusan hubungan kerja, bahkan gajinya ada yang dipotong dan belium dibayar. 

Para pekerja Pertamina merupakan pekerja yang bisa dibilang memiliki gaji yang cukup lumayan jika harus dibandingkan masyarakat lain di Indonesia. 

Seharusnya mereka bersyukur dan tidak lantas kufur nikmat, lebih-lebih mengikuti imbauan pemimpin pekerja yang tidak bisa melihat kepentingan masyarakat yang lebih luas. 

Contohlah Eko Sumantri, Ketua Umum Serikat Pekerja PLN Indonesia, yang punya sikap jelas dan lebih berpihak pada kepentingan rakyat dan negara saat ada imbauan mogok kerja menyoal penolakan terhadap RUU Cipta Kerja setahun lalu.

"PLN adalah objek vital yang harus tetap memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kami akan tetap menjaga pasokan listrik tetap aman. Makanya dalam mogok nasional ini kami lebih memilih untuk tidak akan melibatkan diri", jelas Eko Sumantri saat dihubungi RuangEnergi.Com(4/10/20).

Bagaimana menurut Anda, Apakah mogok kerja harus merugikan kepentingan rakyat? Mikir!

Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun