Hari ini, masihkah kita mendengar ucapan-ucapan bernada "nyinyir" yang menyatakan rakyat makan nasi, bukan infrastruktur?
Sepertinya, setelah memasuki periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), nada-nada 'sumbang' soal masifnya pembangunan infrastruktur sudah semakin berkurang.
Â
Bagi penulis, penyebabnya bukan karena ada rasa bosan untuk mengatakan hal itu. Akan tetapi, bisa saja karena sudah banyak masyarakat kita yang menikmati hasil dari pembangunan infrastruktur tersebut, yang memang dikebut Jokowi sejak terpilih sebagai Presiden di Pilpres 2014 lalu.
Â
Kalaulah saja di awal Pemerintahannya, Presiden Jokowi tak tahan dengan nyinyiran-nyinyiran lawan politiknya, penulis memastikan pembangunan infrastruktur akan berhenti di jalan, dan mungkin saja tak sedikit yang mangkrak. Kalau hal ini yang terjadi, mereka yang berseberangan dengan Jokowi akan semakin  banyak memiliki amunisi untuk menyerang pemerintah.
 Â
Menjadi pemimpin di Indonesia memang tidak mudah, juga penuh dengan berbagai risiko, khususnya dari mereka yang berseberangan. Menyenangkan banyak orang juga memang tidaklah mudah. Kalau Jokowi hanya mengikuti apa maunya kaum oposisi, bisa jadi tak ada pembangunan infrastruktur yang besar-besaran, lebih-lebih itu dilakukan di luar Jawa.
Â
Itulah karakter Jokowi yang tidak mudah 'patah arang' karena nyinyiran segelintir orang. Kalau boleh meminjam istilah Setya Novanto, Presiden Jokowi itu orangnya kopping, istilah dari Bahasa Belanda yang artinya keras kepala.
Â
Namun, Jokowi tak hanya teguh pada pendiriannya. Jokowi juga memiliki sejumlah karakter yang mempengaruhi karakternya dalam membangun Indonesia ini, di antaranya adalah empati dan tepo seliro (tenggang rasa), peduli, serta humanis.
Â
Hal itulah yang diungkap dalam diskusi buku Jokowi and The New Indonesia, a Political Biography yang ditulis mantan Deputi I Kantor Staf Presiden Darmawan Prasodjo bersama Tim Hannigan, jurnalis dan akademisi asal Inggris yang fokus pada studi Indonesia dan Asia Selatan.
Â
Dalam buku yang diterbitkan Tuttle Publishing (Periplus Publishing Group) tersebut, Darmawan Prasodjo lebih jauh mengatakan karakter empati dan tepo seliro yang dimiliki Jokowi itu tercermin, misalnya dalam kebijakan pembangunan di Papua.
Â
Menurut lelaki yang biasa disapa Darmo ini, karena rasa empati dan tepo seliro pada masyarakat Papua, Jokowi membangun Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw di Distrik Muaratami, Kota Jayapura dengan sejumlah fasilitas, di antaranya gedung, pasar, dan jalan karena di lokasi tersebut sebelumnya merupakan wilayah kumuh, terisolasi, dan masyarakatnya miskin.
Â
Ketika mengungkap pertemuannya dengan mantan Menteri Energi di era Suharto, Profesor Subroto, menteri yang kerap mengenakan dasi kupu-kupu ini menyatakan bahwa Presiden Jokowi begitu Pancasilais, karena menyeragamkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) di seluruh pelosok Indonesia dengan kebijakan BBM 1 Harga.
Analoginya, bagaimana mungkin bisa sejahtera jika untuk membeli BBM saja, masyarakat di Indonesia Timur harus membayar lebih mahal dari saudara-saudaranya di Pulau Jawa.Â
Oleh karena itu, menurut Subroto seperti yang dikatakan Darmawan dalam bedah buku tersebut, kebijakan BBM 1 harga yang diterapkan Jokowi merupakan salah satu bentuk keberpihakan Jokowi pada nilai-nilai Pancasila, khususnya Sila ke-5, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.Â
Kebijakan ini bahkan belum terpikirkan di pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.Â
Artinya, Jokowi tak hanya bisa menghapal bunyi-bunyi dari Sila dalam Pancasila, tapi juga menerapkan dalam kebijakan pemerintahannya.
Â
Seperti diketahui, beberapa kali masa pemerintahan di Indonesia, pembangunan lebih fokus pelaksanannya di Pulau Jawa, sehingga kita mengenal istilah Jawa Sentris.Â
Nah, di masa pemerintahan Jokowi ini, terjadi perubahan yang sangat drastis. Pemerintah tidak lagi fokus di Pulau Jawa, pembanguan infrastruktur  secara besar-besaran justru digeber di luar Jawa, tidak lain untuk mengejar ketertinggalan dari Jawa.
Â
Dengan kata lain, menurut Darmawan Prasodjo yang juga Wadirut PLN ini, apa yang menjadi kebijakan Jokowi dalam memimpin Indonesia bersumber dari karakter dan nilai-nilai yang membentuknya sejak kecil hingga dewasa, sejak dirinya hidup di bantaran sungai sampai menjadi pemimpin Republik ini. Artinya, Jokowi lebih memahami apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya, seperti kebijakannya mengeluarkan Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan lain sebagainya.
Â
Tak hanya itu, Presiden Jokowi juga dianggapnya lebih fokus mengembangkan potensi sektor yang selama ini begitu diabaikan, tenggelam dan menjadi aset tidur. Hal ini dicermati Darmawan ketika dirinya baru menjabat sebagai Wadirut PLN. Dia menemukan fakta bahwa pertumbuhan listrik terbesar ada di Provinsi Lampung, tepatnya sekitar pintu keluar tol yang baru saja diresmikan.
Â
Dengan kata lain, strategi membangun infrastruktur secara masif terbukti memang tepat adanya.
Â
Jadi, memang gak perlu ada lagi nyinyiran soal infrastruktur, apalagi sampai mengatakan rakyat tidak makan infrastruktur.Â
Lagi pula, Jokowi tidak pernah meminta rakyatanya untuk makan infrastruktur, kok!
Â
"Hal ini menjadi bukti bahwa tujuan pembangunan yang selalu ditekankan oleh Pak Jokowi membawa hasil. Infrastruktur yang dibangun menumbuhkan sentra ekonomi baru dan mengangkat ekonomi masyarakat. Ini sesuai dengan visi beliau bagaimana Indonesia bisa bangkit bukan berdasarkan konsumsi, tetapi produktivitas," kata Darmawan Prasodjo, seperti dikutip Republika.co.id (6/11/2021).
Â
Bagaimana menurut Anda? Silakan komentari!
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H