Hari ini, masihkah kita mendengar ucapan-ucapan bernada "nyinyir" yang menyatakan rakyat makan nasi, bukan infrastruktur?
Sepertinya, setelah memasuki periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), nada-nada 'sumbang' soal masifnya pembangunan infrastruktur sudah semakin berkurang.
Â
Bagi penulis, penyebabnya bukan karena ada rasa bosan untuk mengatakan hal itu. Akan tetapi, bisa saja karena sudah banyak masyarakat kita yang menikmati hasil dari pembangunan infrastruktur tersebut, yang memang dikebut Jokowi sejak terpilih sebagai Presiden di Pilpres 2014 lalu.
Â
Kalaulah saja di awal Pemerintahannya, Presiden Jokowi tak tahan dengan nyinyiran-nyinyiran lawan politiknya, penulis memastikan pembangunan infrastruktur akan berhenti di jalan, dan mungkin saja tak sedikit yang mangkrak. Kalau hal ini yang terjadi, mereka yang berseberangan dengan Jokowi akan semakin  banyak memiliki amunisi untuk menyerang pemerintah.
 Â
Menjadi pemimpin di Indonesia memang tidak mudah, juga penuh dengan berbagai risiko, khususnya dari mereka yang berseberangan. Menyenangkan banyak orang juga memang tidaklah mudah. Kalau Jokowi hanya mengikuti apa maunya kaum oposisi, bisa jadi tak ada pembangunan infrastruktur yang besar-besaran, lebih-lebih itu dilakukan di luar Jawa.
Â
Itulah karakter Jokowi yang tidak mudah 'patah arang' karena nyinyiran segelintir orang. Kalau boleh meminjam istilah Setya Novanto, Presiden Jokowi itu orangnya kopping, istilah dari Bahasa Belanda yang artinya keras kepala.