Beberapa hari lalu, kita cukup dikejutkan dengan pernyataan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang disampaikan oleh Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengenai kekhawatirannya soal kemampuan Pemerintah membayar utang. Lebih-lebih di masa pandemi ini, utang terus bertambah dengan pendapatan negara yang justru menurun.
Tentu saja, pernyataan BPK ini jadi polemik.Â
Bahkan, pernyataan BPK ini oleh sebagian pihak disebut sebagai pernyataan oposisi, bukan pernyataan bijak dari lembaga seperti BPK, yang mestinya ikut bersama Pemerintah menyelamatkan bangsa dan rakyat Indonesia di tengah pandemi yang belum kejelasan kapan berakhirnya.
Begitu pula pernyataan dari dalam tubuh partai penguasa. Misalnya, seperti yang dikatakan oleh MH Said Abdullah.Â
Menurut Ketua Badan Anggaran DPR ini, apa yang dikatakan BPK itu baik, tetapi kurang bijak dalam ikut serta mendorong situasi kondusif, dan kerjasama antar lembaga di saat bangsa dan negara menghadap krisis kesehatan dan kontraksi ekonomi.Â
Lebih tegas lagi, Ketua Badan Anggaran ini mengatakan bahwa pemerintah dimanapun tidak akan mau terbelit utang, dan mewariskan utang kepada generasi berikutnya hingga menjadi beban yang tidak tertanggungkan.
Lebih lanjut, Â kata MH Said Abdullah, ketika Covid-19 masuk ke Indonesia pada Maret 2020, pemerintah meresponnya dengan kebijakan counter cyclical, yakni menaikkan belanja negara jauh lebih besar dari penerimaan negara.
Membesarnya belanja negara ini sebagai langkah pemerintah untuk mengantisipasi belanja penanganan Covid-19, sekaligus juga dampak sosial-ekonominya yang akan terjadi.Â
Penerimaan perpajakan memang turun pada tahun 2020. Turunnya penerimaan pajak ini disebabkan oleh dua hal, (1) untuk insentif perpajakan terhadap di berbagai sektor, khususnya UMKM sebagai puzzle pemulihan ekonomi, (2) ekonomi tahun 2020 mengalami kontraksi, yang berkonsekuensi menurunnya penerimaan perpajakan.
BPK sepertinya perlu mengetahui bahwa persoalan utang pemerintah ini sudah ada ketentuan mitigasinya, yaitu melalui Keputusan Menteri Keuangan No 17/KMK.08/2020 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah Tahun 2020-2024.Â
Beleid inilah, kata Said Abdullah, yang dirujuk oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan dalam menjalankan kebijakan utang pemerintah.
Demikian pula, pernyataan datang dari Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo. Melalui akun twitternya, Prastowo mengapresiasi pernyataan Ketua BPK, karena apa yang dikatakan BPK sejalan dengan komitmen pemerintah untuk selalu menjaga akuntabilitas dan tata kelola keuangan negara, bahkan di masa pandemi ini.
Namun, lagi menurut Yustinus Prastowo, pandemi ini adalah kejadian luar biasa, yang juga dihadapi hampir semua negara.Â
Negara-negara tersebut pun turut mengambil kebijakan counter cyclical untuk menjaga perekonomian dan memberi stimulus.
Implikasinya, tentu saja, defisit melebar. Namun, Yustinus Prastowo menilai langkah tersebut perlu diambil demi tujuan dan kepentingan yang lebih besar.Â
Semoga saja, pandemi segera berakhir, dan ekonomi Indoneesia pun segera bangkit dari keterpurukan.Â
Tak ada satu negara pun di dunia ini yang siap menghadapi wabah global seperti Covid-19 ini. Semoga cobaan ini segera berakhir.Â
Kita harus bersama-sama menghadapi cobaan ini. Kita harus kompak, karena kita semua ingin yang terbaik untuk bangsa ini.
Ayo, kita sama-sama ikut membantu Pemerintah mengatasi permasalahan pandemi ini.Â
Tanpa adanya kerja sama yang baik dari seluruh elemen bangsa, tentu kita akan semakin sulit lagi menghadapi Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H