Boleh-boleh saja badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan wabah virus Corona (Covid-19) sebagai pandemi, karena penyebarannya yang sudah semakin meluas, obatnya pun belum juga ditemukan, dan dipastikan tak ada satu negara pun bisa menahan laju penyebarannya.
Namun, bukan berarti kita harus panik, dan ikut-ikutan melakukan apa yang dilakukan negara lain, seperti melakukan lockdown.
Virus Corona memang telah mewabah. Diawali di Wuhan, China, virus yang diberinama Covid-19 ini telah menjalar ke seluruh dunia.
Setidaknya, lebih dari 114 negara terinfeksi virus mematikan ini.
Negara-negara, seperti Italia, Iran, Korea Selatan (Korsel), dan tentu saja China, menjadi deretan negara paling banyak memakan korban.
Indonesia baru dinyatakan positif Corona, setelah terdeteksinya dua orang terpapar corona yang sebelumnya berhubungan dengan warga negara Jepang yang dinyatakan positif corona di Malaysia.
Sebagai bangsa yang menempati negara seluas Indonesia, kita akan mendapatkan risiko yang lebih besar, seandainya kita tidak bersungguh-sungguh mencegah meluasnya corona ini.Â
Terlebih lagi, interaksi masyarakat kita yang begitu tinggi, memungkinkan penyebaran virus asal Negeri Tirai Bambu itu semakin meluas.
Buktinya, setelah dua orang di Depok itu, kini jumlah pasien positif corona sudah berlipat-lipat jumlahnya.
Jika dicermati, China, Italia, Iran, dan Korsel, yang ketika virus itu menyerang secara membabibuta, negara-negara tersebut tengah berada di musim dingin, sehingga bisa jadi Indonesia yang beriklim tropis paling akhir diserang corona.Â
Bahkan, Anggota Tim Penanganan Kesiagaan COVID-19 di Rumah Sakit dr. Soebandi Jember, Angga Mardro Raharjo, meminta agar masyarakat tidak berlebihan merespons penyebaran virus corona COVID-19.
Katanya, di negara beriklim tropis seperti Indonesia, beberapa virus akan mati setelah terpapar sinar matahari langsung.
"Termasuk COVID-19 yang tidak tahan terhadap sinar matahari. Mungkin ini jawaban dari mengapa di Indonesia kasus penyebaran virus COVID-19 relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan negara Cina, Korea Selatan, apa lagi Italia," ujar Agga yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Dengan kata lain, hal terpenting bagi kita adalah bagimana membiasakan diri untuk menerapkan pola hidup sehat, utamanya dalam menjaga kebersihan tangan, dengan lebih sering melakukan cuci tangan setelah melakukan aktivitas luar ruangan.
Opsi lockdown ini tidak diambil, karena Pemerintah melihat bukti empiris yang dialami Korsel, saat lockdown dan tidak lockdown.Â
Artinya, ketika Korsel mengambil langkah lockdown, kasus Covid-19 justru tak terkendali.
'Kami belum menempatkan opsi lockdown, karena ternyata Korea Selatan sendiri setalah memutuskan lockdown kasusnya jadi tidak terkendali dan sekarang dibuka lagi (lockdown dicabut) kasusnya turun," kata Jubir Pemerintah untuk Covid-19 dr. Achmad Yurianto, seperti dikutip Kemkes.go.id (15/3/2020).
"Ingat, kita tidak akan menutup suatu daerah dan membiarkan daerah itu mengalami penularan sampai habis.ÂYang harus kita lakukan adalah segara mencari sumber penularan dan isolasi.
Kalo ini jadi kemungkinan lockdown, ingat diamond princess ketika di-lockdown kasus nya bertambah bahkan sampai 20%," tegasnya.
Dan, kita pun sepertinya memang tak perlu mengambil cara yang dilakukan Korsel.Â
Setidaknya, kalau pun Covid-19 lebih parah dari yang kita bayangkan, mungkin KLB (kejadian luar biasa) sudah cukup, namun itu pun jangan dianggap, seakan dunia sudah mau kiamat. Biasa saja!
Intinya, seperti kata Presiden Joko Widodo (Jokowi), untuk sementara ini, lakukanlah gerakan Social Distancing atau atau menjaga jarak antara satu dengan yang lain.Â
Setidaknya, hal itu menjadi hal yang paling penting dilakukan dalam situasi pandemi virus corona saat ini.
Salam dan terima kasih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H