Bagi capres nomor urut 02 Prabowo Subianto, merayakan Natal bersama keluarga besarnya adalah hal yang penting dan biasa dilakukan setiap tahun. Hal ini dilakukan karena keluarga besarnya memang mayoritas non-Islam.
Prabowo sendiri saat ini sebagai seorang muslim. Dia adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Dua kakaknya, yakni Biantiningsih dan Maryani ikut agama suaminya yang Katolik. Sedangkan adik bungsunya, Hashim Djojohadikusumo beragama Kristen. Mereka berempat lahir dari rahim seorang ibu berdarah Manado dan beragama Kristen, Dora Sigar.
Bukankah sebaiknya dibiarkan saja. Karena, tak seorang pun boleh mendikte Prabowo yang dianggap masih kurang memahami ajaran Islam yang dianutnya, sehingga dirinya pun tak perlu malu untuk mengakui tak pantas  jika diminta untuk menjadi imam sholat. Semua itu hal yang biasa.
Pendapat serupa soal tidak perlunya mengungkit-ungkit keislaman Prabowo juga datang dari seorang mantan aktivis lingkungan Emmy Hafild. Berikut ini petikannya:
Posisi saya sebenarnya agama seseorang tidak menjadi penentu buat saya untuk memilih seseorang untuk menjadi pemimpin. Melihat Prabowo dipersoalkan kemampuannya sholat, membaca Al-Qur'an atau menjadi Imam itu juga saya tidak peduli. Ketika beredar video dan foto Prabowo berjoget ria dalam acara perayaan Natal, saya juga berpikiran "so what?".
Saya juga tidak heran misalnya ketika melihat video, seorang Prabowo, yang mengikuti ritual Natal agama Nasrani dengan menyalakan lilin dan menyanyikan lagu-lagu rohani, yang notabene adalah bagian dari ritual agama Kristen, menurut teman saya yg Kristen.Tetapi membuat tak urung saya bertanya-tanya juga: Prabowo Kristen atau Islam yg ultra moderat?
Tetapi kemudian saya sadar, apa hak saya dan kita semua menghakimi keislaman Prabowo? Sama seperti apa hak orang menghakimi keislaman saya karena saya tidak pakai jilbab?
Bagi saya, dan saya percaya ini berlaku bagi publik di negara manapun, untuk memilih pemimpin, yang paling penting adalah karakter seseorang. Pemimpin yang baik bagi saya adalah yang jujur, bekerja keras, memberi perhatian detail pada pekerjaannya untuk menjamin kesuksesan, secara "genuine" peduli pada rakyatnya, terutama yang dari kelompok lemah, terbuka, transparan, sederhana, rendah hati, "accessible" dan mampu menyelesaikan konflik. Yang paling penting dari semua karakter adalah sikap yang demokratis, yang terbuka pada kritikan dan masukan, bergerak dalam koridor hukum, bahkan menghormati oposisi. Agama seharusnya tidak jadi faktor penentu.
Bahkan, sosok Prabowo, sepertinya sudah dijadikan simbol agama Islam sejak Pilpres tahun 2014, berlanjut ke Pilgub DKI 2017 sampai sekarang oleh sekelompok ormas Islam tertentu.
Dengan kata lain, simbol Islam yang disematkan kepada Prabowo digunakan untuk menandingi rival politiknya, yaitu Presiden Petahana Joko Widodo (Jokowi) yang selama ini dianggap oleh kelompok tertentu sebagai sosok orang yang memusuhi Islam, mengkriminalisasi ulama, bahkan tuduhan-tuduhan miring lainnya yang cenderung dibuat-buat.
Dengan mengakui dirinya tak pantas menjadi imam sholat, semestinya Prabowo juga tidak membiarkan dirinya dianggap sebagai simbol Islam.Â
Karena itu, wajar bila ada tuduhan dari pendukung Jokowi bahwa Prabowo dianggap menjadi pendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.Â
Sesering apapun Prabowo mengatakan bahwa dirinya tidak mendukung negara khilafah, jadi akan sia-sia jika kenyataannya dia selalu bergandengan tangan bersama HTI, seperti ikut dalam aksi demo menolak setiap kebijakan Pemerintahan Jokowi, termasuk ikut secara bersama-sama "menuduh" Jokowi yang anti-Islam, sedangkan dirinya sendiri bukanlah penganut Islam yang taat.
Sekadar untuk meraih dukungan rakyat dari berbagai macam inilah, tidak jarang ada politisi mencoba menyenangkan semua kelompok. Buat dirinya, yang penting, di sini senang, di sana senang. 'Likulli maqaam maqaal' (Setiap tempat ada jenis perkataan sendiri).
Dengan kata lain, Prabowo  bisa dianggap ikut memanipulasi agama untuk memenangkan pertarungan menjadi Presiden.Â
Polarisasi yang dibuatnya telah memecah belah bangsa ini menjadi dua kubu yang saling bertentangan. Kerap kali menolak dirinya meniru gaya kampanye Donald Trump, namun kenyataannya itu dilakukan. Karena itu, bukan sesuatu yang keliru jika Prabowo disebut sebagai seorang Machiavelis.Â
"Dia tidak malu-malu berbohong, dia tidak segan-segan memanipulasi agama, bahkan mungkin membelakangi imannya sendiri, demi memenangkan pertarungan kekuasaan," kata Emmy Hafild
Bagaimana menurut Anda?Â
sumber:
1. Kumparan.com (18/12/2017): "Prabowo Subianto dan Keluarganya"
2. RedaksiIndonesia.com (29/12/2018): "Prabowo dan Agama"
3. Republika.co.id (03/08/2018): "Napoleon dan Machiavelli: Untuk Apa Jadi Presiden?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H