Tak bisa dipungkiri, jatuhnya kekuasaan Soeharto di tahun 1998, tidak bisa begitu saja dilepaskan dari praktek-praktek bernegara yang dianggap menyimpang, dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan politik di Indonesia yang sudah semakin maju dan terbuka.
Praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme(KKN) yang kerap terjadi di tataran elite pemerintahan orde baru semakin menambah panjang rentang kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Kekuasaan politik yang begitu terpusat pada satu orang, yaitu Presiden Soeharto, memperlihatkan seakan rezim ini tak pernah mau belajar dari jatuhnya rezim sebelumnya.
Belum lagi, kekuatan militer yang ada, justru digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuatan politik penguasa. Begitu pula Aparatur Sipil Negara (pegawai negeri) yang semestinya netral, justru berada di bawah kendali Soeharto yang menggunakan Golongan Karya sebagai alat politiknya, sehingga suaranya pun lantang mendukung penguasa.
Penyederhanaan kekuatan politik menjadi dua partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya, hanya digunakan sebagai bukti kepada dunia internasional bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, meskipun kekuatan sesungguhnya hanya di tangan Soeharto.
Karena itu, sejarah pun mencatat, Golongan Karya selalu jadi pemenang di setiap Pemilu di masa Orba. Dan, artinya Soeharto selalu diangkat menjadi Presiden/Mandataris MPR.
Kekuasaan eksekutif semakin tak terbendung. Kekuasaan Soeharto semakin besar, kekuasaan eksekutif, mulai dari Gubernur, Bupati/Walikota, bahkan hingga camat dan lurah merupakan satu komando. Dengan kata lain, saat itu, tak ada gubernur atau bupati yang berasal partai selain dari Golongan Karya.
Berlarut-larutnya penyimpangan yang membuat Soeharto tak terusik dari kursinya, membuat hukum alam pun bicara dengan lantang. Kekuatan ekonomi yang selama ini dibangun, ternyata begitu rapuh, sehingga tak bisa lagi bertahan ketika ada gelombang krisis yang datang dari luar.
Ditambah lagi, kekecewaan rakyat, baik karena ketimpangan ekonomi maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sering dilakukan penguasa, membuat penolakan terhadap rezim yang sudah berkuasa 32 tahun ini semakin besar. Dan, lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, menjadi bukti solusi akhir mengatasi krisis yang ada.Â
Lengsernya Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun ini menjadi bukti bahwa apa yang terjadi selama 32 tahun ini memang sudah saatnya harus dikoreksi.
Kita semua sepakat bahwa era keterbukaan yang kita alami saat ini, tentu saja jauh berbeda jika harus dibandingkan sebelum reformasi.Â
Pembagian kekuasaan yang ada pun tentu sudah jauh lebih baik dibandingkan di masa Orba.
Namun, bukan berarti kekuatan orde baru sudah tak lagi berambisi untuk kembali berkuasa. Bahkan, rezim ini sudah semakin berani memperlihatkan taringnya,  melalui Partai Berkarya  yang didirikan oleh anak-anak sang penguasa orde baru, Soeharto.
Sudah cukup…
Sudah saatnya Indonesia kembali seperti waktu era kepemimpinan Bapak Soeharto yang sukses dengan swasembada pangan, mendapatkan penghargaan internasional dan dikenal dunia.https://t.co/G58g7RuE5I— Titiek Soeharto (@TitiekSoeharto) November 14, 2018
Kondisi ekonomi dan politik yang ada saat ini, sengaja dimanfaatkan oleh para penerus Soeharto, dengan mengembalikan kenangan masyarakat yang seakan-akan hidup nyaman di masa Orba, karena Soeharto memang berhasil menghegemoni masyarakat Indonesia, dengan memunculkan narasi bahwa Orde Baru itu baik.
Ketika rakyat diingatkan dengan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di era Soeharto, semua itu akan terbuka bahwa rezim Soeharto memang sarat dan tak bisa dilepaskan dari pelanggaran HAM.
Namun, hegemoni yang muncul juga mampu menutupi berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama pemerintahan Soeharto.Â
Seperti diketahui, Â kejadian-kejadian yang mengiringi perjalan Soeharto sejak tahun 1967 hingga lengsernya 1998, semua sarat dilalui tanpa melewatkan sedikitpun dari pelanggaran HAM.
Bahkan, sebelum lengser dan jatuhnya rezim Orde Baru ini pada 1998, juga diiringi dengan kerusuhan massal dan penculikan para aktivis, yang hingga saat ini belum diselesaikan secara tuntas. Bahkan, capres nomor urut 02, Prabowo Subianto pun termasuk salah satu orang yang dianggap terlibat.
Lantas, bagaimana kita bisa berharap banyak bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi selama 32 tahun berkuasanya rezim orde baru bisa dengan mudah akan diselesaikan, jika yang berkuasa justru orang-orang yang secara politis adalah penerus rezim otoriter tersebut.Â
Karena itu, kita tak bisa berharap banyak penuntasan kasus pelanggaran HAM dan membersihkan bangsa ini dari KKN kepada penerus rezim Orde Baru kepada pasangan Prabowo-Sandi.Â
Mengapa? Karena pasangan ini penuh dengan ranjau-ranjau yang ditanam rezim Orde Baru.
Terima kasih dan Merdeka!
sumber:
TIRTO.ID Â (21/05/2018) "20 Tahun Reformasi: LBH Jakarta Nilai Hegemoni Rezim Orde Baru Masih Berjalan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H