Prabowo Subianto sedari kecil hidupnya memang sudah berbeda dari kebanyakan masyarakat di Indonesia. Sejak kecil Prabowo terbiasa hidup di luar negeri karena sang ayah adalah salah satu tokoh pemberontak PRRI/Permesta yang didukung Amerika Serikat, yang ketika itu melakukan perlawanan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah Presiden Sukarno.Â
Sebagai salah satu tokoh PRRI/Permesta, tentu saja mereka terus menghindari kejaran prajurit TNI yang ingin menumpasnya. Karena itulah, Â keluarga Prabowo berusaha terus menjauh dari kejaran, bahkan mengungsi hingga keluar negeri.
Ketika kekuasaan beralih dari tangan Sukarno ke Suharto, keluarga Soemitro Djojohadikoesoemo pun tetap mendapat keistimewaan. Sang ayah dipercaya Suharto sebagai salah satu menterinya.Â
Hidup Prabowo pun tetap jauh dari kekurangan, bahkan pendidikan dan karier militernya pun terbilang istimewa, hingga terpilih masuk menjadi bagian dari keluarga kekuasaan Orde Baru itu sendiri.Â
Bukan tak mungkin, jika Suharto tidak ditumbangkan di tengah jalan, kekuasaan negeri ini pun bisa jadi diwariskan kepada mantan Danjen Kopassus ini. Karena itu, sangat beralasan jika sejak 2004, Prabowo Subianto sudah mulai mencoba ajang kontestasi Pilpres di Indonesia.
Tampang Boyolali, Tampang Orang Miskin?
Lantas, mengapa pernyataan Prabowo mengenai "Tampang Boyolali" begitu dianggap menghina sebagian besar warga masyarakat Boyolali, sehingga mereka semua melakukan demonstrasi  dan menuntut agar Prabowo segera meminta maaf atas perkataannya itu.
Bisa jadi, apa yang dikatakan Prabowo, konteksnya sedang bercanda, tapi tidak lucu. Dengan mengatakan bahwa di Jakarta gedungnya tinggi-tinggi dan mewah, sehingga tak semua orang bisa memasukinya. Bahkan, menurut Prabowo jika kalian masuk (menunjuk pada warga Boyolali), mungkin kalian akan diusir, karena bukan tampang orang kaya. Dengan kata lain, Prabowo menganalogikan tampang Boyolali adalah tampang orang-orang miskin.
Dalam setiap kesempatan berpidato di depan para kader dan simpatisannya, Prabowo kadang mengeluarkan kata-kata yang dianggap melecehkan orang yang diajak berbicara. Bagi masyarakat yang kebetulan mendengar disitu, mungkin apa yang dikatakan Prabowo biasa saja, tanpa ada maksud melecehkan. Namun, ketika ucapan itu viral, maka maknanya jadi berubah.Â
Dalam catatan yang terekam secara digital, tak sedikit kata-kata Prabowo yang bernada melecehkan. Entah itu kata-kata yang melecehkan profesi wartawan, masyarakat Makassar, atau yang paling terakhir ini Masyarakat Boyolali.
Apa yang diucapkan Prabowo mengenai kesejahteraan memang terkadang tanpa disaring terlebih dahulu, sehingga akhirnya bisa keluar dari konteks yang sesungguhnya bermakna baik.
Dalam konteks Boyolali, sebagai calon presiden yang ingin meraih dukungan, tentu saja  Prabowo ingin berbicara bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Boyolali.Â
Untuk diketahui, Boyolali dari dahulu hingga kini, masih dikenal sebagai daerah penghasil susu terbesar nomor satu di Jawa Tengah. Meskipun penghasil susu terbesar, harga susu dari Boyolali masih lebih rendah dari Jawa Timur dan Jawa Barat, sehingga kesejahteraan masyarakat pun masih jauh dari harapan.
Nah, mungkin karena Prabowo lupa (Bowo lali) dengan Revolusi Putih dan Program Emas (emak-emak dan anak minum susu) yang dicetuskannya sendiri, membuat dirinya kehilangan konteks dalam pidatonya, sehingga mengeluarkan kata-kata yang justru tidak produktif untuk didengar, bahkan cenderung menjadi blunder.Â
Niat awalnya untuk menarik simpati di kandang Banteng, yang didapat justru antipati! Pak Prabowo, jangan lagi lali?
sumber:Â Kompas. com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H