Bagi Gerindra, kaderisasi harus digalakkan khususnya di organisasi sayap partai mengingat banyak pemuda yang bergabung dan nantinya akan meneruskan kepemimpinan di partai tersebut (Hutabarat, 2021). Kaderisasi yang dilakukan Gerindra ini pada dasarnya juga terinspirasi oleh proses kaderisasi yang dilakukan oleh PKS.Â
Gerindra sendiri mulai menerapkan kaderisasi yang ketat ketika melihat bahwa kaderisasi yang dilakukan oleh PKS membawa manfaat bagi perkembangan kualitas anggota partainya. Ketua umum partai Gerindra, Prabowo Subianto mengatakan bahwa dalam rangka mendorong peningkatan kualitas anggota dan untuk mencetak anggota yang disiplin dan militant, kaderisasi sangat perlu dilaksanakan (Hamdi, 2016).
Sama halnya dengan PKS yang memiliki sekitar empat jenjang kaderisasi, Gerindra juga memiliki empat jenjang dengan istilah penyebutan kader yang berbeda dan tingkatannya berdasarkan Pengurus Anak Cabang (PAC) yang disebut sebagai Pratama; Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dengan sebutan jenjang kader Muda; Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dikenal dengan istilah Madya; dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) disebut dengan Kader Manggala (Haris, et al., 2016).
Seperti yang telah disebutkan bahwa sayap partai Gerindra dibentuk untuk menjalani proses kaderisasi dan mendorong kualitas anggota. Keseriusan Gerindra dalam mendorong praktik kaderisasi terlihat dengan membentuk Gerindra Masa Depan (GMD) yang berfokus untuk melakukan kaderisasi anggotanya serta memastikan bahwa partai tersebut menyentuh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali (Ferdian, Kurniawan, Krisbiantoro, & Indrajat, 2020).
Kaderisasi yang dilakukan oleh partai Gerindra dalam konteks kaderisasi calon anggota legislatif pada dasarnya menggunakan sistem tertutup.
Dalam sistem tertutup, kader yang terpilih untuk maju dalam pemilu legislatif akan mengalami seleksi kembali untuk menetukan nomor urur. Nomor urut ini nantinya akan dianggap sebagai peringkat, di mana kader yang hasil seleksinya paling baik maka akan mendapatkan nomor urut pertama, dan begitu seterusnya.Â
Dengan adanya sistem kaderisasi tertutup, persaingan dan seleksi dirasa lebih ketat, selain itu sistem tertutup memungkinkan calon yang berada di peringkat pertama merupakan calon yang kualitas atau visi misinya lebih baik dibandingkan dengan calon lainnya.
Dengan kaderisasi tertutup ini, setidaknya Gerindra mendapatkan cukup banyak suara dalam pemilu legislatif 2019 lalu (Ana, 2020) sekaligus membuktikan bahwa, pada akhirnya, kaderisasi berperan besar dalam penentuan kualitas anggota partai politik.
Dengan mendorong pendidikan dan pelatihan anggota, partai politik membuka peluang keterpilihan kadernya dalam pemilihan umum. Hal ini disebabkan dengan kaderisasi yang berjalan dengan baik, kualitas anggota partai politik juga tidak akan diragukan dan tentunya membuka peluang bagi elektabilitas kader partai tersebut.
Sayangnya, di Indonesia sendiri pelaksanaan kaderisasi masih menjadi isu tersendiri. Banyak partai yang hanya menjanjikan akan melakukan kaderisasi, namun faktanya hal itu tidak dilaksanakan dengan baik.
Ada beberapa argumentasi yang menjelaskan mengapa kaderisasi tidak berjalan dengan baik di dalam partai politik, di antaranya: pertama, proses kaderisasi memakan waktu yang cukup lama karena memiliki jenjang tertentu; kedua, anggaran yang dibutuhkan oleh partai politik untuk melakukan kaderisasi bagi anggotanya terbilang besar; dan ketiga, belakangan ini partai politik lebih tertarik untuk mengusung calon yang sudah memiliki nama atau pamor di masyarakat.Â