Mohon tunggu...
Syakira Syafiqya Tsabita Putri
Syakira Syafiqya Tsabita Putri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Political Science Student

Good things take time

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penerapan Parliamentary Threshold dan Implikasinya pada Peningkatan Kualitas Politisi dan Partai Politik di Indonesia

14 April 2022   15:20 Diperbarui: 14 April 2022   15:29 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masih bersambung dengan teori kegunaan ambang batas sebelumnya, ketika semakin banyak partai politik berhasil masuk ke dalam parlemen, maka sistem kepartaian yang digunakan dalam suatu pemerintahan akan berbentuk multipartai. Indonesia sendiri sejauh ini menerapkan sistem multipartai karena lebih dari lima partai politik yang berhasil mengirimkan politisinya ke dalam parlemen, dengan jumlah perolehan kursi tidak jauh berbeda dari partai satu dengan partai lainnya, walaupun memang masih terdapat partai yang mendominasi kursi karena perolehan suara yang didapat lebih banyak dari partai politik lainnya. Lagi-lagi, semakin banyaknya partai yang bergabung dengan parlemen, cenderung akan mempersulit proses pengambilan keputusan sehingga seringkali negara yang menerapkan sistem kepartaian multipartai mengalami ketidakstabilan pemerintahan.

Di Indonesia, penerapan parliamentary threshold bukanlah hal baru namun kehadirannya baru dirasa di era Reformasi. Pada tahun 2009, pemberlakukan ambang batas parlemen mulai dilakukan dengan menerapkan ambang batas sebesar 2,5% dari suara sah yang didapat oleh partai politik. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa kalkulasi perhitungan suara partai politik harus mencapai minimal 2,5% untuk dapat masuk dalam parlemen.

Tentunya penerapan ambang batas ini dilandasi oleh landasan hukum, tertuang dalam Pasal 202 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang berbunyi “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR”, dan kemudian di dalam ayat selanjutnya dijelaskan bahwa ambang batas ini tidak diberlakukan untuk pemilihan umum di DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Pemilihan umum legislatif di tahun 2009 diwarnai dengan beragamnya partai politik yang mengikuti kontestasi dari pesta demokrasi di Indonesia, terhitung sebanyak 38 partai politik yang terdaftar menjadi peserta pemilu, namun hanya 9 partai politik yang lolos berdasarkan ketentuan ambang batas tersebut.

Demokrat mendominasi perolehan suara dengan persentase 20,81% kemudian diikuti oleh Golkar sebesar 14,45% dan PDIP di urutan ketiga dengan 14,01% dan diikuti oleh partai-partai lainnya dengan Hanura diurutan terakhir, yaitu mendapatkan perolehan suara sebesar 3,77%. Jika dari persentase tersebut, dapat kita analisis bahwa Demokrat berhasil mendapatkan setidaknya 150 kursi di parlemen, dan dengan jumlah ini menjadikan Demokrat sebagai partai dominan di DPR RI. Hal ini sejalan dengan terpilihnya Susislo Bambang Yudhoyono sebagai presiden dan ia merupakan presiden yang diusung oleh Demokrat, menjadikan power yang dimiliki Demokrat saat itu sangat kuat.

Setelah penerapan parliamentary threshold pasa tahun 2009 dirasa efektif dan semakin membuka peluang bagi terlaksananya sistem multipartai sederhana, maka pada pemilihan umum lima tahun berikutnya yaitu tahun 2014, ambang batas ini digunakan kembali, namun dengan peningkatan jumlah. Ketika awalnya ambang batas diterapkan sebesar 2,5%, di tahun 2014 ambang batas ini dinaikkan sebanyak 1% sehingga partai politik harus memenuhi minimal 3,5% dari suara sah untuk masuk ke dalam parlemen.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 Pasal 208 dijelaskan bahwa “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota”. Dengan ini, terdapat beberapa perubahan signifikan dari pemilu 2009 ke pemilu 2014, pada awalnya DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota tidak harus memenuhi ambang batas, namun kemudian ambang batas ini berlakukan. Dari hasil pemilu 2014, terdapat 12 partai yang mengikuti pemilihan umum namun hanya 10 partai politik yang mampu memenuhi ambang batas ini.

Posisi Demokrat yang pada tahun 2009 mendominasi tergantikan oleh PDI Perjuangan dengan perolehan suara mencapai 18,96% dan disusul oleh Golkar sebesar 14,75%, sedangkan Demokrat berada di posisi keempat dengan perolehan suara 10,19%. Partai Bulan Bintang (PBB) serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) gagal karena perolehan suara sah dibawah 3,5%.

Jika mengkomparasikan antara pemilu 2009 dan pemilu 2014, partai politik yang menjadi peserta pemilu di tahun 2009 dua kali lebih banyak dari partai politik di tahun 2014, namun lebih sedikit yang lolos ke parlemen. Sedangkan di pemilu 2014, ketika parliamentary threshold dinaikkan dan jumlah partai yang berkontribusi lebih sedikit, justru terdapat peningkatan pemenang pemilu. Sehingga di sini dapat dilihat bahwa upaya penerapan parliamentary threshold untuk menciptakan sistem kepartaian multipartai “sederhana” menjadi ambigu dan perlu ditinjau kembali akurasinya.

Jika berkaca pada pemilu 2019 lalu, lagi-lagi terdapat peningkatan parliamentary threshold. Besaran ambang batas parlemen ini yang pada tahun 2014 sebesar 3,5% meningkat sebanyak 0,5% sehingga di pemilihan umum 2019, total ambang batas yang harus dipenuhi oleh partai politik adalah 4%.

Kembali lagi seperti yang telah disampaikan pada argumen sebelumnya bahwa peningkatan ambang batas ini dilandasi oleh dasar hukum, tertuang pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 414 Ayat (1) yang berbunyi “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”. Dengan diterapkannya parliamentary threshold 4%, setidaknya dapat dianalisis bahwa dengan ini negara berkomitmen untuk menciptakan dan mewujudkan sistem kepartaian yang berbasis multipartai sederhana. Namun tentunya peningkatan ambang batas ini diiringi oleh konsekuensi-konsekuensi lain selain dengan membatasi partai politik yang bergabung dalam parlemen.

Pada pemilihan umum 2019, 16 partai politik setidaknya ikut andil dalam meramaikan pesta demokrasi ini, namun hanya 9 partai yang dapat mengirimkan kadernya ke DPR RI. Lagi-lagi, sama halnya dengan di tahun 2014, partai PDI Perjuangan berhasil menjadi partai yang mendominasi kursi parlemen dengan perolehan suara sebesar 19,33%, disusul oleh Gerindra yang berada di posisi kedua dengan perolehan suara 12,57% kemudian Golkar di peringkat ketiga dengan perolehan suara 12,31%. Walaupun ketiga partai ini berhasil memenuhi ambang batas parlemen bahkan terlampau jauh dari syarat minimal, tidak serta merta besaran 4% adalah besaran yang mudah untuk didapat. Berkaca pada partai-partai yang gagal dalam pemilu baik di tahun 2009, 2014 hingga ke 2019, cukup sulit untuk melewati ambang batas tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun