Kelompok C2 pada Mata Kuliah Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas ABK dari Jurusan Pendidikan Khusus Universitas Pendidikan Indonesia Angkatan 2020 yang beranggotakan Dwi Rizqi Agustiyaningrum, Fitri Handayani, Nur Anisa Rizky, Syakira Nurul Hidayah dan Yasmin Raudhatul Jannah.Â
Kami melaksanakan Program Pembelajaran Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas pada anak Tunagrahita di SPLB YPLB C Cipaganti Bandung.
Setiap individu termasuk penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk mendapatkan informasi dan hal yang lain nya yang menyangkut kesehatan, hal tersebut sudah diatur dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 yang bertuliskan bahwa penyandang disabilitas atau peserta didik dengan berkebutuhan khusus berhak mendapatkan informasi kesehatan dan perlindungan kesehatan sebagai manusia.Â
Hak kesehatan yang harus didapatkan oleh peserta didik dengan berkebutuhan khusus salah satunya adalah hak kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi menurut peraturan pemerintah RI No 61 Tahun 2014 pasal 1 adalah keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, serta bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi.Â
Pada penyandang disabilitas khususnya tunagrahita yang dimana mereka merupakan individu yang memiliki kemampuan intelektual dibawah rata-rata mungkin dianggap tidak perlu mendapatkan hak untuk mendapatkan informasi mengenai hal-hal yang menyangkut reproduksi dikarenakan anak tunagrahita cenderung sulit menerima informasi atau pengetahuan yang kompleks, namun hal itu bukan berarti penyandang disabilitas termasuk anak tunagrahita tidak layak menerima informasi mengenai reproduksi.Â
Lantas bagaimana realita di lapangan bagi anak tunagrahita saat beranjak remaja, mereka juga berhak mendapatkan pengetahun dan pemahaman yang sama tentang kesehatan reproduksi, pemahaman dalam mengalami pubertas hingga manajemen diri saat terjadinya menstruasi.Â
Tunagrahita
Istilah yang digunakan untuk memanggil anak tunagrahita sangat beragam. Di Indonesia sendiri anak tunagrahita sering disebut sebagai anak yang lemah otak, lemah ingatan, lemah pikiran, retardasi mental, terbelakang mental, cacat grahita, dan tunagrahita. Istilah lain yang biasanya digunakan untuk memanggil anak tunagrahita adalah intellectually handicapped dan intellectually disabled.Â
Terjadinya banyak perbedaan istilah mengenai anak tunagrahita disebabkan oleh adanya perbedaan latar belakang keilmuan di antara para ahli. Istilah tunagrahita mungkin saja tidak banyak diketahui oleh khalayak umum, kebanyakan orang mungkin lebih mengenal dan menyebut anak yang mengalami ketunagrahitaan sebagai anak bodoh karena kemampuan intelektual dan perilaku adaptif nya yang dibawah rata-rata.Â
Beberapa ahli memiliki pengertian dan pandangan nya tersendiri mengenai tunagrahita, menurut Endang Rochyadi dan Zainal Alimin (2005) menyebutkan bahwa tunagrahita berkaitan erat dengan masalah perkembangan kemampuan kecerdasan yang rendah dan merupakan sebuah kondisi. Hal ini ditunjang dengan pernyataan dari Kirk (Muhammad Efendi, 2006) yaitu "Mental Retarded is not a disease but a condition". Jadi dapat dikatakan bahwa tunagrahita adalah suatu kondisi yang tidak disembuhkan dengan obat.