Dari macam-macam nusyuz itu ternyata memeiliki akibat atas hilangnya hak tertentu antara suami istri, apabila nusyuz dilakukan oleh istri seperti istri melakukan salah satu hal diatas tanpa sebab maka istri kehilangan haknya atas suami yaitu kehilangan hak nafkah baik nafkah batin maupun nafkah lahir, kewajiban suami kepada istri menjadi gugur. Sama halnya dengan perilaku nusyuz yang dilakukan suami dapat mengakibatkan beberapa larangan terhadap istrinya untuk memperoleh hak-haknya, baik yang bersifat materi maupun hubungan seksual, maka dalam hal ini istri diperbolehkan untuk mendiamkan suami.
Imam Syafi'i, dalam menentukan dasar hukum mengenai nafkah, melakukan ijtihad dengan qiyas berdasarkan dalil dari Alquran dan hadis, serta menggunakan ijma' dari ulama-ulama lainnya. Makna hadis yang diutamakan adalah makna zahir. Sehingga, hukum terhadap nafkah istri yang melakukan nusyuz sudah disebutkan dalam surat an-Nisa' ayat 34, yang menegaskan perlunya perlindungan terhadap istri agar dapat hidup aman dan nyaman.
Dalam konteks ini, Allah mengatur dan menetapkan hubungan suami-istri, di mana suami memiliki peran sebagai pelindung bagi istri, sedangkan istri diharapkan taat dan menjaga dirinya hanya untuk suaminya. Namun, jika terjadi nusyuz dari pihak istri yang mengkhawatirkan suami dan menyebabkan ketidakpedulian serta menjauhnya suami dari istri, maka istri dapat kehilangan sebagian haknya, seperti nafkah, pemberian pakaian, giliran bermalam, atau hak-hak lainnya atas suaminya. Oleh karena itu, perlindungan dan pemenuhan nafkah bagi istri menjadi kewajiban suami selama istri tersebut taat kepada suami dan menjaga dirinya untuk suaminya, sementara istri yang taat diharapkan untuk memastikan kewajiban nafkah tetap terpenuhi selama dalam ikatan perkawinan dan terhindar dari perilaku nusyuz.
Penggunaan Qira'ah Mubadalah (kesetaraan gender) dalam pemaknaan NusyuzÂ
Mengapa sering kali kita salah menafsirkan Nusyuz hanya sebagai kesalahan yang dilakukan oleh istri dalam hubungan pernikahan, padahal dalam Islam kita juga mengenal istilah Qira'ah Mubadalah? Istilah ini memungkinkan untuk memahami ulang teks-teks keislaman dengan semangat tauhid yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi sejajar sebagai subjek kehidupan. Dalam agama Islam, prinsip kesalingan (mubadalah) dalam hubungan rumah tangga telah diajarkan, sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 187, yang menyatakan bahwa "mereka adalah pakaian bagi kamu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka." Oleh karena itu, dalam hubungan rumah tangga, prinsip kesetaraan dan keadilan harus dijunjung tinggi, sehingga jika terdapat ayat atau literatur yang secara harfiah tidak menunjukkan kesalingan, harus dimaknai ulang dengan perspektif mubadalah. Dalam Al-Qur'an, nusyuz dibahas dari dua arah, yaitu nusyuz istri kepada suami (QS. An-Nisa': 34) dan nusyuz suami kepada istri (QS. An-Nisa': 128). Dalam perspektif mubadalah, nusyuz merupakan kebalikan dari taat, yaitu segala tindakan negatif dalam relasi rumah tangga yang melemahkan ikatan antara suami dan istri, sehingga menjauhkan mereka dari keadaan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Hal ini berlaku baik jika dilakukan oleh istri kepada suami maupun sebaliknya. Nusyuz istri kepada suami, seperti yang disebutkan dalam QS. An-Nisa': 34, menyiratkan pentingnya tindakan-tindakan tertentu dalam menangani situasi tersebut. Pertama, memberikan nasehat dengan cara yang baik dan penuh pengertian kepada pasangan. Kedua, berpisah ranjang untuk sementara waktu agar keduanya dapat merefleksikan diri dan memperbaiki hubungan. Ketiga, pemukulan tidak dianjurkan sebagai cara untuk menyelesaikan nusyuz, karena hal tersebut bisa merusak hubungan dan bertentangan dengan semangat kasih sayang yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Nusyuz suami kepada istri, sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa': 128, juga menekankan pentingnya berdamai dan kembali pada komitmen bersama sebagai pasangan yang saling mencintai dan mengasihi. Dalam kondisi ini, baik suami maupun istri diajak untuk meningkatkan perbuatan baik kepada pasangan dan menjauhi sikap negatif yang dapat merusak hubungan.
Dalam kedua kasus nusyuz, solusi yang ditawarkan Al-Qur'an adalah berdamai, berbuat baik, dan menjauhi segala sikap buruk yang dapat merusak hubungan. Intinya, pengelolaan nusyuz dalam Islam adalah bagaimana mengembalikan hubungan yang saling mencintai dan mengasihi antara suami dan istri. Jadi, dalam hubungan rumah tangga, penting untuk mengutamakan komitmen, kesetaraan, dan kepatuhan untuk menjaga keharmonisan keluarga. Semoga penjelasan mengenai nusyuz ini dapat bermanfaat, dan saya mohon maaf jika ada kesalahan dalam penyampaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H