2023 lalu masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berita mengenai relokasi dan alih fungsi lahan Pulau Rempang. Tangis dan permohonan masyarakat Pulau Rempang meminta keadilan atas tanah adat mereka banyak bermunculan di layar kaca dan media sosial. Tentunya, hal tersebut menarik simpati Masyarakat Indonesia yang pada akhirnya menggelar petisi. Banyak yang mempertanyakan, akan dibawa kemana Rempang Eco City nantinya? Apakah benar hal ini demi kepentingan masyarakat setempat? Namun, dari eksekusinya yang tidak memikirkan penduduk setempat, masyarakat menjadi sanksi akan tujuan dari proyek Rempang Eco City. Dengan dilakukannya relokasi, maka masyarakat akan meninggalkan tanah adat mereka yang telah terbentuk secara organik. Jejak-jejak sejarah yang telah menjadi kebudayaan masyarakat setempat pun akan hilang dan masyarakat yang pindah ke tempat baru yang dibentuk secara non-organik oleh pemerintah akan kehilangan jati dirinya.Â
Sejarah penduduk Pulau Rempang
Masyarakat Pulau Rempang sendiri telah ada sejak sebelum abad ke 18. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya catatan Indishe Gids oleh JG Schot pada 1882, dikatakan bahwa terdapat dua suku pada Pulau Rempang, yakni suku Utan dan suku Darat. Suku Darat sendiri memiliki kemiripan dengan masyarakat Johor atau Malaka. Dikatakan bahwa mereka hidup di pondok-pondok tanpa dinding. Sedangkan di manuskrip Belanda lainnya yaitu " De Orang Benoa's de Wilden Op Malaka in 1642" dalam "Joernal of The Indian Archipelago" karya Newbold mengatakan bahwa penduduk Pulau Rempang sendiri mirip dengan Kesultanan Johor dan disebut sebagai suku asli yang tinggal di daerah sungai dan pegunungan daerah Nanningh dan Moar serta menjadikan berkebun dan beternak sebagai kegiatan penunjang hidup mereka dikala itu. Dengan terbuktinya masyarakat Pulau Rempang telah lama tinggal di pulau tersebut, maka masyarakat Pulau Rempang sendiri dapat disebut sebagai Masyarakat Hukum Adat atau yang disingkat sebagai MHA.Â
Masyarakat Hukum Adat
Kemudian, Apa itu MHA? Masyarakat Hukum Adat adalah Istilah yang digunakan untuk masyarakat adat yang telah lama bertempat tinggal di suatu daerah secara turun temurun, dan memiliki asal usul leluhur yang jelas. Ketetapan Masyarakat Hukum Adat diatur dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, yakni: masih hidup, sesuai perkembangan masyarakat, prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan diatur dengan UU. Dengan diaturnya hak hak dan perlindungan MHA dalam perundang undangan kita, maka begitu juga dengan masyarakat pulau rempang yang memiliki hak atas tanah hak ulayat mereka.
Rencana pembangunan Rempang Eco City sebenarnya telah ada sejak 2004 lalu oleh Badan Pengusahaan Batam dengan menggaet PT Makmur Elok Graha. Setelah membahas penduduknya, kemudian mari kita bahas apa yang dimaksud Rempang Eco city itu sendiri. Rempang Eco city adalah proyek ambisius pemerintah BP batam yang termasuk dalam program strategis nasional yang diatur melalui Permenko Bidang Perekonomian No.7 tahun 2023. Proyek ini merupakan kawasan ekonomi baru yang nantinya mencakup kawasan industri, perdagangan dan karya wisata. Lalu apakah BP Batam sendiri memiliki wewenang untuk menjalankan proyek Rempang Eco city, sedangkan ada penduduk Pulau Pempang yang memiliki hak atas tanah adat mereka?Â
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 merupakan dasar pembubaran otorita Batam yang kemudian menjadi Badan Pengusahaan Batam. Kemudian menurut pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2007 ditetapkan bahwa hak pengelolaan atas tanah Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007, hak pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Otorita Batam dan hak pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam yang berada di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam beralih dibawah kekuasaan BP Batam. Sesuai dengan pasal 6 (2) UU No. 39 Tahun 1999 terkait Hak Asasi manusia, disebutkan bahwa ; "Identitas masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat (hak-hak atas wilayah adat) dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman"Â
Namun, hal seperti penggusuran juga telah diatur dalam keputusan presiden nomor 41 tahun 1973 Peruntukkan dan Penggunaan Tanah, yakni :Â
a. Seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan, dengan hak pengelolaan, kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam ;
b. Hak pengelolaan tersebut pada sub a ayat ini memberi wewenang kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk ;
1. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut ;
2. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya ;
3. menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 Undang-undang Pokok Agraria ;
4. Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan
Jika sesuai dengan pasal 3 UUPA, maka MHA tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Maka dari itu penulis menyimpulkan bahwa memang betul BP Batam lebih berhak untuk mengatur dan mengelola pulau rempang.
Polemik dari Rempang Eco City
Lalu apa yang menjadi pokok permasalahan dari kasus Rempang Eco City? Relokasi Masyarakat Pulau Rempang yang terburu buru membuat masyarakat dapat kehilangan tanah adat dan kehilangan jati diri mereka. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, masyarakat Pulau Rempang sendiri memiliki sejarah yang panjang serta kebudayaan yang kental. Jika relokasi terjadi maka kampung-kampung yang terbentuk secara organik akan hilang. Kita tahu betul bahwa Indonesia memiliki kekayaan tidak hanya berupa kekayaan alam tetapi juga kekayaan budaya. kemudian karena ramainya kasus Pulau Rempang ini baik di media sosial seperti pada media berita atau video tiktok dengan narasi ketidakadilan pada 2023 lalu, banyak komunitas dan rakyat yang bersuara membantu masyarakat Pulau Rempang. Yang kemudian membuat presiden turun tangan dengan mengadakan rapat internal dan memanggil beberapa menteri, seperti : Menteri Lingkungan hIdup, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menteri Investasi/ kepala Bkpm, serta menteri keuangan untuk mendiskusikan kasus Pulau Rempang. Setelahnya, pemerintah tidak jadi melakukan penggusuran warga setempat ataupun melakukan relokasi, yang mana hanya melakukan pergeseran. Dimana dari 17.000 hektar menjadi 7.000 hektar s/d 8.000 hektar, yang kemudian difokuskan pada 2.300 hektar di awal untuk pembangunan Rempang Eco City. Â
Selanjutnya, masyarakat diberi kesempatan untuk berpindah tempat ke kampung rempang lainnya yang telah dibangun oleh pemerintah dengan lebih tertata. 300 kepala keluarga dari 900 kepala keluarga sudah bersedia dan tiap kepala keluarga akan disediakan rumah tipe 45, namun apabila rumah sebelumnya lebih besar maka akan mendapat uang tunai. Sembari menunggu pembangunan rumah, tiap orang nya akan diberikan uang sebesar 1.200.000 yang mana jika satu kepala keluarga terdapat 6 orang maka akan mendapat 7.800.000. Akan tetapi, walau keputusan ini terlihat sebagai good deal, ada beberapa hal yang tetap menjadi pertimbangan bahwa kasus ini hanya ditutup dengan hal yang terlihat bagusÂ
Namun, jika kita melihat sisi lain dari kasus ini maka kita dapat melihat bahwa Rempang Eco city ini memberi dukungan dalam ekonomi berkelanjutan yang mana jika di eksekusi sebagaimana yang telah direncanakan maka akan berdampak bagus kepada rakyat pulau rempang itu sendiri. Tak hanya itu, Rempang Eco City juga dapat menjadi model inspiratif bagi kota kota lainnya. Kebijakannya juga memberikan banyak dampak positif, seperti lapangan pekerjaan yang luas, terdorongnya UMKM untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan serta juga akan mengubah infrastruktur dan kualitas di wilayah pulau rempang.Â