Mohon tunggu...
Syair Senja
Syair Senja Mohon Tunggu... -

fragile imaginative

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pada Sebuah Lorong

22 November 2015   15:12 Diperbarui: 22 November 2015   16:50 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

 

Alkisah pada sebuah menara yang megah, terdapatlah suatu lorong di dasar menara yang dihuni oleh ratusan tikus. Meski lorong itu menjadi wilayah tikus, namun yang memimpin wilayah adalah seekor kucing besar. Hal ini dikarenakan, tidak ada seekor tikus pun yang layak dijadikan pemimpin. Jika tikus itu pintar, maka ia akan menjadi serakah dan semena-mena terhadap yang lain. Jika tikus itu baik, biasanya ia adalah tikus yang bodoh dan tidak tahu apa-apa selain bekerja untuk menara yang mereka tinggali.

Pada suatu hari datanglah seekor kucing besar untuk menjadi pemimpin mereka, setelah kucing besar sebelumnya wafat di menara karena sakit dan usia lanjut. Para tikus berbaris rapi untuk menyambut Kucing besar. Sebenarnya lebih tepat adalah melihat, sebab banyak diantara tikus yang lebih suka lorong dibiarkan saja tanpa pemimpin, apalagi pemimpinnya adalah seekor kucing besar yang bukan dari golongan mereka.

Dan benar saja, ketika kucing besar memasuki lorong, para tikus mulai berbisik-bisik satu sama lain, menerka-nerka seperti apa gerangan perilaku kucing besar itu. Ada yang mulai sinis namun ada juga yang tulus menyambut hangat dan sebagian lain mengamati dari jauh kemudian melanjutkan pekerjaannya.

Hari demi hari, Kucing Besar mengamati adat kebiasaan para tikus, berkunjung ke sudut-sudut lorong, ke sekat-sekat yang menjadi ruang kerja dan tempat tinggal para tikus. Kucing Besar pun dengan hati-hati memanggil beberapa tikus untuk dimintakan saran dan informasi mengenai lorong maupun sifat-sifat dari para tikus yang lain. Sejak awal Kucing Besar tahu, tidak semua dari para tikus yang berbaris menyambutnya kemarin dapat ia percayai.

Kucing Besar pun mulai memerintah. Meminta tikus ahli kayu memperbaiki peralatan yang rusak. Kapada Tikus tukang masak, Kucing Besar memintanya untuk membuatkannya resep masakan terkini. Membuat kucing tukang masak menggerutu sebab ia harus mempelajari resep itu sedangkan harusnya ia bisa bersantai. Kucing Besar pun memindahkan tikus abu-abu ke sekat baru yang dibuatnya dengan pekerjaan baru juga untuk mereka. Pemimpin tikus abu-abu sesungguhnya tidak menyukai perubahan ini, sebab membuat anggotanya berkurang dan itu berarti menambah beban pekerjannya. Namun Ia tidak berani untuk menentang perintah Kucing Besar, sebab selain itu Pemimpin tikus abu-abu tahu, Kucing Besar tidak menyukainya meski Kucing Besar tidak menunjukkannya terang-terangan.

Kawanan tikus kerap berbisik-bisik. Ada yang puas dengan kedatangan Kucing Besar, sebab kehidupan lorong menjadi lebih baik, lebih teratur dan ada keadilan antara sesama tikus. Makanan pun terasa berlimpah tanpa mereka perlu mencarinya terlalu payah, karena Kucing Besar juga mengajari para tikus untuk lebih banyak mendapatkan makanan dan bagaimana mengolahnya. Namun tak sedikit pula yang menggerutu, sebab merasa Kucing Besar mengusik kenyamanan dengan merubah, menuntut ini itu dan kerap mengawasi mereka, yaitu para pemimpin sekawanan tikus.

Sesungguhnya Kucing Besar adalah pemimpin yang baik. Ia selalu terbuka menerima kedatangan para tikus kalangan pekerja sekalipun di ruangannya untuk sekedar berkeluh kesah ataupun berdiskusi. Dan semakin lama, Kucing Besar pun telah memiliki sekawanan Tikus yang bisa ia percayai dan dimintai pendapat. Namun demikian, Kucing Besar bukanlah makhluk sempurna. Seringkali ia tampak terlalu dekat dengan para Tikus melebihi kewajaran sehingga membuat beberapa tikus manja dan membuat beberapa yang lain iri. Ini juga lah yang menjadi bahan pergunjingan diantara para tikus yang tidak menyukai Kucing Besar.

Sesungguhnya pula, para tikus yang tidak menyukai Kucing Besar tidak berarti mereka saling berteman. Beberapa dari mereka tidak menyukai beberapa dari yang lain. Dan ketidaksukaan yang sama tehadap Kucing Besar nampaknya membuat mereka melupakan sejenak kebencian lama. Dan para tikus tersebut dengan cara dan tujuannya masing-masing berusaha menyingkirkan Kucing Besar dari lorong.

Beberapa tikus dengan halus mulai membuat gangguan, karpet yang sobek, peralatan yang hilang, kesejahteraan yang semakin menurun termasuk fitnah tentang kelakuan buruk Kucing Besar. Hal ini tentu saja menimbulkan kegaduhan rakyat tikus di lorong, hingga terdengar oleh pemilik Menara.

"Aku memintamu memimpin para tikus agar mereka dapat hidup tertib dengan makanan yang terjamin baik sehingga para tikus tak perlu mengganggu kami yang tinggal di menara. Mengapa kau malah membuat kekacauan dan membuat mereka saling bertikai ?" Pemilik Menara akhirnya memanggil dan membicarakan keresahan rakyat tikus.

" Maaf Pemilik Menara. Bukan aku menyombongkan ataupun membela diri. Lihatlah apa yang sudah kuperbuat. Aku mengajari mereka mendapatkan makanan lebih banyak dari sebelumnya. Aku mengupayakan mereka hidup dengan lebih layak dan teratur. Aku membuat para pemimpin kawanan tikus lebih aktif bekerja sehingga para tikus kecilpun turut serta. Kini tak ada lagi tikus yang bersantai di siang hari sementara kawannya yang lain bekerja. Aku mengawasi agar tidak lagi ada pencurian di gudang persediaan. Sedangkan mengenai kekacauan yang terjadi belakangan ini, ijinkan Aku mencari sebabnya dan memperbaikinya." Kucing Besar menghela nafas, menatap pemilik menara dan berharap mereka dapat mempecayai ucapannya.

Pemilik Menara saling berpandangan dan terdiam beberapa lama, sebelum akhirnya yang tertua diantara mereka angkat bicara.

"Baiklah Kucing Besar. Sesungguhnya kami mengakui apa yang baru saja kau sebutkan itu memang benar adanya bahwa kau telah membawa begitu banyak perubahan dan kemajuan di sini. Namun tampaknya, ada yang salah dengan caramu melakukan itu semua, sehingga banyak diantara mereka menjadi tersiksa dengan kedatanganmu, dan itu tidak baik untuk ketenangan hidup kami di Menara."

Pemilik menara menghela nafas sebelum melanjutkan kata-katanya.

"Untuk itu, kami dengan hormat memintamu meninggalkan lorong dan biarkan kami untuk sementara mengurus semuanya."

Bahkan Pemilik Menara tidak sanggup menatap mata Kucing Besar ketika memintanya pergi.

" Pemilik Menara yang aku hormati, sesungguhnya tak mengapa bila memang aku harus meninggalkan tempat ini, namun perlu kau tau, apa yang kalian dengar itu tidaklah benar keseluruhannya. Dan lagi, bila aku pergi, aku khawatir beberapa tikus pemimpin akan kembali pada perangai buruknya melalaikan kewajiban dan bersikap semena-mena dengan kepandaiannya."

Para pemilik menara kembali berpandangan. Tampaknya mereka berdiskusi cukup dengan saling berpandangan seperti itu.

"Kami tahu, namun biarkan saja itu menjadi tanggung jawab kami. Bagi kami, selagi makanan untuk rakyat tikus tercukupi, cukuplah sudah. Tak perlu lagi kita permasalahkan masalah yang tidak menjadi masalah selagi mereka dapat tinggal dengan tenang di lorong."

Tak berapa lama, Kucing Besar pun mengumumkan rencana kepergiannya dari lorong untuk kemudian tinggal di lorong yang lain dan jauh. Kepergiannya dilepas dengan upacara sederhana diiringi tangis haru beberapa tikus yang dekat dengannya. Namun kucing besar tahu, diantara mata mata yang bersimbah air mata, beberapa diantaranya menatap dengan sinis disertai dengan sunggingan senyum.

Kini lorong telah ditinggalkan Kucing Besar. Beberapa pemimpin tikus tampak bersulang di salah satu sudut lorong dengan tertawa gembira. Namun persekutuan itu tak berlangsung lama agaknya. Pada akhirnya mereka kembali pada sekatnya masing-masing, saling tidak menyukai dan bila ada kesempatan berusaha saling menjatuhkan.

Begitupun rakyat tikus yang lain, kembali menjadi pekerja sekedarnya. Di siang hari mereka kembali bersantai, bertelekan linen yang sejatinya adalah milik menara, bukan milik mereka. Bersandar pada dinding lorong yang kembali berlumut dan semakin hari semakin lapuk. Kursi yang mereka duduki pun dibiarkan menjadi hunian kawanan rayap. Mereka tahu tapi tak mau ambil peduli, terlebih bila para pemimpin mereka pun tak lagi hirau apakah mereka bekerja atau bermalasan.

Semakin hari lorong semakin gelap, lembab dan lapuk. Rakyat tikus saling berbisik tentang kecemasan bilamana lorong akan runtuh karena semakin rapuh. Mereka kian ribut berbisik dari hari ke hari diatas kursi-kursi kayu yang keropos dirayapi, bersandar pada dinding berlumut dan perkakas kerja yang kian tumpul dan berkarat sebab telah jarang lagi digunakan.

Di sekat yang lain, sekawanan tikus tampak sibuk mengambil bahan makanan di gudang persediaan untuk dibawa ke sekatnya masing-masing.

Hanya sekawanan kecil tikus yang tetap giat bekerja tanpa berbisik tanpa kecurangan. Sekelompok kecil yang merasa datang dan perginya Kucing besar tidak membuat perubahan pada hidup mereka. Satu-satunya yang mereka sadari adalah, bahwa benar lorong kian lama kian tua dan mungkin saja runtuh dikemudian hari.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun