Kini lorong telah ditinggalkan Kucing Besar. Beberapa pemimpin tikus tampak bersulang di salah satu sudut lorong dengan tertawa gembira. Namun persekutuan itu tak berlangsung lama agaknya. Pada akhirnya mereka kembali pada sekatnya masing-masing, saling tidak menyukai dan bila ada kesempatan berusaha saling menjatuhkan.
Begitupun rakyat tikus yang lain, kembali menjadi pekerja sekedarnya. Di siang hari mereka kembali bersantai, bertelekan linen yang sejatinya adalah milik menara, bukan milik mereka. Bersandar pada dinding lorong yang kembali berlumut dan semakin hari semakin lapuk. Kursi yang mereka duduki pun dibiarkan menjadi hunian kawanan rayap. Mereka tahu tapi tak mau ambil peduli, terlebih bila para pemimpin mereka pun tak lagi hirau apakah mereka bekerja atau bermalasan.
Semakin hari lorong semakin gelap, lembab dan lapuk. Rakyat tikus saling berbisik tentang kecemasan bilamana lorong akan runtuh karena semakin rapuh. Mereka kian ribut berbisik dari hari ke hari diatas kursi-kursi kayu yang keropos dirayapi, bersandar pada dinding berlumut dan perkakas kerja yang kian tumpul dan berkarat sebab telah jarang lagi digunakan.
Di sekat yang lain, sekawanan tikus tampak sibuk mengambil bahan makanan di gudang persediaan untuk dibawa ke sekatnya masing-masing.
Hanya sekawanan kecil tikus yang tetap giat bekerja tanpa berbisik tanpa kecurangan. Sekelompok kecil yang merasa datang dan perginya Kucing besar tidak membuat perubahan pada hidup mereka. Satu-satunya yang mereka sadari adalah, bahwa benar lorong kian lama kian tua dan mungkin saja runtuh dikemudian hari.
Â
Â
Â
Â
Â
Â