Mohon tunggu...
Akhmad Syaikhu
Akhmad Syaikhu Mohon Tunggu... Administrasi - Kuli Dunia

"Semakin bertambah ilmuku, semakin aku tahu akan kebodohanku"

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Langkah Represif Pencegahan Covid-19, Bolehkah?

5 April 2020   16:51 Diperbarui: 5 April 2020   16:47 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: kompas.com (screen shoot dari handphone)

Kini Indonesia seperti sedang labil, macam abege yang baru diputus cinta atau wanita yang sedang PMS. Bisa jadi itu dikarenakan bencana yang terus melanda Negeri sampai keadaan ekonomi yang terus memburuk. Ditambah lagi 'pembangkangan' beberapa daerah dengan melakukan karantina wilayah sendiri tanpa izin dahulu ke Pemerintah Pusat. Masing-masing daerah memiliki kebijakan; sungguh tidak jelas.

Menyikapi hal tersebut Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa pemerintah akan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam menangani penyebaran wabah virus corona Covid-19.

Dalam Pasal 1 angka (11) UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, disebutkan bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. PSBB ini berkaitan dengan darurat kesehatan yang diatur dalam UU ini juga.

Bersandar hal tersebut, salah satu alat negara, yaitu Kepolisian Republik Indonesia membuat gebrakan yaitu akan memidanakan kepada orang yang 'bandel' tidak mematuhi himbauan pemerintah untuk #tetapdirumah. Polisi akan menerapkan beberapa Pasal, yaitu Pasal 212, 216 dan Pasal 218 KUHP serta Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Tepatkah demikian?

Pasal dalam KUHP

Pasal 212, Pasal 216 dan Pasal 218 KUHP yang disebutkann diatas adalah tergolong dalam Bab Kejahatan Terhadap Penguasa Umum.

Dalam Pasal 212 KUHP disebutkan bahwa Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Jelas tertulis dalam ketentuan tersebut, harus ada kekerasan atau ancaman kekerasan kepada pejabat yang sedang menjalankan tugas dari orang yang sedang diperingatkan. Apabila tidak ada dua hal demikian, maka secara otomatis ketentuan Pasal tersebut tidak dapat diterapkan oleh Kepolisian.

Dalam Pasal 216 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang  dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu,  atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk  mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja  mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan  ketentuan undang- undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut,  diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana  denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Menurut R. Susilo disebutkan ketentuan pasal ini berlaku apabila dengan sengaja tidak menaati perintah atau tuntutan pejabat yang bertugas, yang mana perintah atau tuntutan ini harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Yang mana diketahui, sampai tulisan ini dibuat pemerintah pusat hanya sebatas menghimbau, bukan melarang.

Pun, dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan sosial berskala besar dalam rangka percepatan Penanganan corona virus disease 2019 (COVID-19) disebutkan bahwa pembatasan yang dilakukan meliputi kegiatan di tempat atau fasilitas umum yang mana Pemerintah wajib memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.

Dalam Pasal 218 KUHP disebutkan bahwa Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera  pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang,  diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat  bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Maksud pasal ini berkerumun atau dalam istilah aslinya adalah volksoploop, yang artinya adalah orang-orang berkerumum untuk mengacau. Jadi bukan orang berkerumum dalam arti kongkow-kongkow damai di cafe atau 'ngadem' di pusat perbelanjaan, bukan demikian. Sehingga tidak setiap kerumuman polisi dapat membubarkan dan memidanakan.

Pasal dalam UU Kekarantinaan Kesehatan

Dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, yang relevan dengan keadaan sekarang adalah dalam Pasal 93, yang disebutkan Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Dalam Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan disebutkan bahwa Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.

Penggunaan istilah wajib adalah wujud pemaksaan pembentuk undang-undang kepada warga negara agar mematuhi kekarantinaan kesehatan. Namun, kembali ditegaskan dalam Pasal 3 UU Kekarantinaan Kesehatan bahwa Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan adalah bertujuan untuk: 

a. melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; 

b. mencegah dan menangkal penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; 

c. meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan masyarakat; dan 

d. memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan.

Tujuan yang termaktub dalam Pasal 3 huruf (d) UU Kekarantinaan Kesehatan tersebut adalah membuat perlindungan hukum dan kepastian hukum. Yang mana, tindakan represif tanpa adanya aturan yang cukup justru menimbulkan ketakutan dan kekacauan yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan ini.

Dan juga dalam Pasal 8 disebutkan Setiap Orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina.

Yang dalam hal ini, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang WAJIB memenuhinya. Pertanyaanya, apakah pemerintah sudah melakukan demikian sehingga Polisi dapat menerapkan Pasal ini?

Kesimpulan

Pada tulisan ini, bukan maksud penulis membuat masyarakat tidak mengindahkan himbauan pemerintah dan alat negara lainnya dalam rangka mencegah Covid-19, tidak sama sekali. Hanya saja, yang menjadi keresahan penulis adalah tindakan represif yang dilakukan aparat atau pejabat yang berwenang kepada rakyat biasa dan menakuti rakyat dengan sebuah aturan yang belum cukup jelas, sehingga menimbulkan abuse of power. Dalam hal ini, Pemerintah khususnya polisi yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi juga dalam UU, wajib menjaga kepastian hukum namun dengan langkah-langkah sesuai hukum. Perlu edukasi maksimal tentang perlunya #dirumahaja dan pemenuhan hak-hak kebutuhan dasar warga negara sehingga negara memang berhak menindak.

Semoga, wabah COVID-19 ini segera berlalu. Akhir kata, kepada setiap pembaca tulisan ini, ikuti anjuran pemerintah, mulai dari kita sendiri untuk #dirumahajalebihbaik. Janganlah mengancam yang sedang terancam!

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun