Mohon tunggu...
Akhmad Syaikhu
Akhmad Syaikhu Mohon Tunggu... Administrasi - Kuli Dunia

"Semakin bertambah ilmuku, semakin aku tahu akan kebodohanku"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mahalnya Senyuman dan Langkanya Kebersihan di Jakarta

14 September 2016   13:40 Diperbarui: 14 September 2016   13:50 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya adalah seorang perantauan. Dari salah satu daerah berhawa sejuk di bilangan Jawa Tengah. Karena tuntutan perusahaan tempat dimana saya bekerja, saya ditempatkan di ibu kota negara. Yups, Jakarta. Pusatnya Indonesia.

Bagi kami dahulu, orang di daerah sana, mendengar nama Jakarta seketika itu pula  terbesit banyak hal buruk. Ruwet. Macet. Kotor dan Mahal. Pokoknya yang buruk-buruk deh. Bayangkan saja, setiap menonton televisi atau membaca koran atau browsing di internet; sebagian besar berita itu yang dijejali dalam pikiran kita. Kita, orang di daerah sana.

Setidaknya terdapat dua hal menarik mencermati kehidupan di Jakarta. Dua hal yang hampir punah di Jakarta. Mahalnya senyuman serta budaya bersih yang benar-benar langka di Jakarta.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Senyum yang dirindukan

Kini sudah hampir tiga tahun menjelajahi Ibu kota. Kemacetan, ya, memang parah; merupakan penyakit Jakarta yang sudah menahun tampaknya. Keruwetan serta hawa yang berbeda dengan tempat tinggal dahulu, betul; memang berbeda. Sedangkan apabila disandingkan dengan kata mahal. Sebenarnya, Jakarta tak mahal-mahal amat.

Memang menurut survei dari BPS mengenai daftar kota dengan Indek Harga Konsumen (IHK) tertinggi, Jakarta menempati urutan pertama dengan angka Rp 7,5 juta/bulan. Namun, apabila disiasati hidup di Jakarta bisa saja dibawah angka itu.

Masih banyak kok, penjual makanan dengan harga yang wajar. Harga yang tidak berbeda jauh dengan harga makanan di daerah sana. Dengan modal duapuluh ribu, masih bisa mendapatkan makanan yang bergizi sekaligus mengenyangkan perut.

Moda untuk transportasi juga kini di Jakarta terbilang murah. Apalagi dengan aplikasi daring, aplikasi online, semakin menambah mudah serta murah transportasi di Jakarta. Pun, biaya kos atau tempat tinggal. Memang sedikit lebih mahal dibandingkan di daerah. Tapi masih wajar apabila menilik harga tanah serta bangunan disana.

Namun, ada satu hal yang amat mahal di Jakarta. Bahkan uang pun tidak mampu untuk membelinya. Berapa pun nominalnya. Apa itu? Senyuman tulus, senyuman kejujuran.

Dahulu di daerah saya sana, meskipun tidak mengenal siapa orang di depan saya. Ketika melewati orang tersebut. Wajah saling berpapasan. Selalu senyuman tersungging. Mereka pun akan membalas senyuman dengan ramah. Lalu bertanya, “ada apa mas? Ada yang bisa dibantu?”, atau membalas dengan sapaan “Selamat siang/sore.” Ramah betul. Tulus betul. Kehangatan dalam keseharian benar-benar terasa, Ah, itu yang salah satu yang dirindukan. Itulah kehidupan yang diharapkan.

Karena saya orang daerah saya pun berusaha menerapkan demikian. Menjaga tradisi Indonesia, the smiling country. Di Jakarta, ketika wajah berpapasan, selalu senyum saya usahakan tersunggingkan. Namun, apa yang hasilnya? Wajah penuh kebingungan. Wajah yang menyiratkan keanehan. Wajah dingin tanpa ekspersi. Wajah mengrenyitkan dahi. Bahkan ada yang memelototkan matanya ketika senyum saya pasang di bibir (dikira menghina mungkin, hehe).

Sebagaimana survei yang saya lakukan (suvey kecil-kecilan karena penasaran), lima dari orang yang saya tebarkan senyuman di Jakarta, empat orang menyiratkan keanehan, mengekspresikan sebagaimana yang saya tuliskan diatas. Untungnya, masih ada satu yang membalas, hehe.

Padahal pada tahun 2009, The Smiling Report menuliskan bahwa Indonesia berada di tingkat pertama dalam urutan negara dengan masyarakatnya tersenyum paling tinggi di dunia dibandingkan dengan negara lainnya. Mereka melaporkan, Indonesia sebagai negara yang paling tersenyum sebagai hasil dari pelanggan layanan data dari evaluasi yang dilakukan di seluruh spektrum dan pameran oleh AB Bisnis di seluruh dunia, di Swedia. Dalam laporan itu disebutkan Indonesia sebagai negara tertinggi tersenyum dengan persentase sebesar 98 persen. Namun tampaknya, apabila penelitian tersebut di lakukan di Jakarta, hal tersebut sudah tidak relevan. Apakah untuk mendapatkan senyuman dii bukota harus sengaja datang ke sebuah minimarket, hanya sekedar ingin disenyumi atau disapa? Ironi, bukan?

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Budaya Bersih yang (hampir) Punah

Memang amat berat menjadi pemimpin di Jakarta. Selain warganya yang memang beraneka ragam sifatnya. Selain itu salah satu yang menjadi hal penting yang krusial adalah mengenai pengelolaan sampah di Ibu Kota. DKI Jakarta merupakan kota dengan volume sampah sebesar 6.500-7.000 ton per hari. Dan itu terus bertambah, bisa dibayangkan bagaimana jika tidak terolah dengan baik. Namun, meskipun bisa terolah dengan baik oleh pemerintah, akan tetap menjadi bias apabila masyarakatnya belum sadar sampah. Apabila selesai konser, selepas acara pasar malam, bahkan selepas zikir yang diadakan di lapangan pun, banyak sampah yang bertebaran. Bagai tak bersalah dan tiada dosa dalam melakukan, santai saja.

Dahulu waktu saya masih kecil, masih tinggal di daerah sana. Terdapat sebuah peraturan yang tertulis di papan sudut kota. Pengumuman tersebut berisikan, “barangsiapa yang ketahuan membuang sampah tidak pada tempatnya (sembarangan), akan dikenakan denda sebesar Rp 100.000,-. Dan yang melaporkannya akan mendapatkan uang denda tersebut.” Namun, tampaknya pengumuman tersebut tidak akan berlaku di Jakarta. Karena tetangganya, orang sekitarnya pun demikian, sama saja. Buang sampah sembarangan. Sudah mati tampaknya keterpedulian akan penjagaan sampah.

Pengalaman saya akan menjaga sampah, menjadi hal yang aneh tampaknya bagi orang lain. Setiap saya mengkonsumsi sesuatu yang menghasilkan sampah, saya akan berusaha mencari tempat sampah untuk membuangnya.  Apabila tidak ditemukan, maka saya akan ‘menyimpan’ di tas yang saya gunakan. Oleh karena itu, dalam tas, saya selalu membawa kresek/kantong plasik hitam untuk menghadapi situasi tersebut. Kantong plastik tersebut saya gunakan untuk membuang bungkus yang hendak dibuang namun tidak ada tempat sampah yang tersedia. Maka, nggak aneh kalau dalam tas saya banyak bungkus permen, atau sampah snack ringan yang lupa ‘masih’ disimpan. Hehhe.

Saya pernah dalam situasi dimana hal tersebut saya lakukan. Sampah bekas makanan saya, saya ‘simpan’ dahulu di tas. Ada orang yang tahu perbuatan saya itu (teman ngobrol di kereta menuju Jakarta), “Kok nggak di buang saja? Toh nggak ada yang lihat ini.”

Saya hanya tersenyum dan bilang, “Saya akan merasa bersalah sekali kalau membuang sembarangan, tidak pada tempatnya. Meski itu hanya bungkus permen. Biarlah tas saya yang kotor, biar saya saja menjadi kotor. Asal yang lain tidak.”

Dia hanya bergumam pelan, “Seandainya semua orang Jakarta seperti kamu. Jakarta pasti bersih ya.”

Bukannya memamerkan tindakan itu, hanya saja, mari kita menjaga sampah. Percuma pemerintah mengelola sampah dengan manajemen terbaik sekali pun. Namun masyarakatnya tetap cuek. Yang mana kasur pun, dapat kalian temukan di dalam sungai.

Salam.

Akun Fb : https://www.facebook.com/akhmad.syaikhu.58

Akun Twitter : https://twitter.com/Syaikhu4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun