Sebagaimana survei yang saya lakukan (suvey kecil-kecilan karena penasaran), lima dari orang yang saya tebarkan senyuman di Jakarta, empat orang menyiratkan keanehan, mengekspresikan sebagaimana yang saya tuliskan diatas. Untungnya, masih ada satu yang membalas, hehe.
Padahal pada tahun 2009, The Smiling Report menuliskan bahwa Indonesia berada di tingkat pertama dalam urutan negara dengan masyarakatnya tersenyum paling tinggi di dunia dibandingkan dengan negara lainnya. Mereka melaporkan, Indonesia sebagai negara yang paling tersenyum sebagai hasil dari pelanggan layanan data dari evaluasi yang dilakukan di seluruh spektrum dan pameran oleh AB Bisnis di seluruh dunia, di Swedia. Dalam laporan itu disebutkan Indonesia sebagai negara tertinggi tersenyum dengan persentase sebesar 98 persen. Namun tampaknya, apabila penelitian tersebut di lakukan di Jakarta, hal tersebut sudah tidak relevan. Apakah untuk mendapatkan senyuman dii bukota harus sengaja datang ke sebuah minimarket, hanya sekedar ingin disenyumi atau disapa? Ironi, bukan?
Memang amat berat menjadi pemimpin di Jakarta. Selain warganya yang memang beraneka ragam sifatnya. Selain itu salah satu yang menjadi hal penting yang krusial adalah mengenai pengelolaan sampah di Ibu Kota. DKI Jakarta merupakan kota dengan volume sampah sebesar 6.500-7.000 ton per hari. Dan itu terus bertambah, bisa dibayangkan bagaimana jika tidak terolah dengan baik. Namun, meskipun bisa terolah dengan baik oleh pemerintah, akan tetap menjadi bias apabila masyarakatnya belum sadar sampah. Apabila selesai konser, selepas acara pasar malam, bahkan selepas zikir yang diadakan di lapangan pun, banyak sampah yang bertebaran. Bagai tak bersalah dan tiada dosa dalam melakukan, santai saja.
Dahulu waktu saya masih kecil, masih tinggal di daerah sana. Terdapat sebuah peraturan yang tertulis di papan sudut kota. Pengumuman tersebut berisikan, “barangsiapa yang ketahuan membuang sampah tidak pada tempatnya (sembarangan), akan dikenakan denda sebesar Rp 100.000,-. Dan yang melaporkannya akan mendapatkan uang denda tersebut.” Namun, tampaknya pengumuman tersebut tidak akan berlaku di Jakarta. Karena tetangganya, orang sekitarnya pun demikian, sama saja. Buang sampah sembarangan. Sudah mati tampaknya keterpedulian akan penjagaan sampah.
Pengalaman saya akan menjaga sampah, menjadi hal yang aneh tampaknya bagi orang lain. Setiap saya mengkonsumsi sesuatu yang menghasilkan sampah, saya akan berusaha mencari tempat sampah untuk membuangnya. Apabila tidak ditemukan, maka saya akan ‘menyimpan’ di tas yang saya gunakan. Oleh karena itu, dalam tas, saya selalu membawa kresek/kantong plasik hitam untuk menghadapi situasi tersebut. Kantong plastik tersebut saya gunakan untuk membuang bungkus yang hendak dibuang namun tidak ada tempat sampah yang tersedia. Maka, nggak aneh kalau dalam tas saya banyak bungkus permen, atau sampah snack ringan yang lupa ‘masih’ disimpan. Hehhe.
Saya pernah dalam situasi dimana hal tersebut saya lakukan. Sampah bekas makanan saya, saya ‘simpan’ dahulu di tas. Ada orang yang tahu perbuatan saya itu (teman ngobrol di kereta menuju Jakarta), “Kok nggak di buang saja? Toh nggak ada yang lihat ini.”
Saya hanya tersenyum dan bilang, “Saya akan merasa bersalah sekali kalau membuang sembarangan, tidak pada tempatnya. Meski itu hanya bungkus permen. Biarlah tas saya yang kotor, biar saya saja menjadi kotor. Asal yang lain tidak.”
Dia hanya bergumam pelan, “Seandainya semua orang Jakarta seperti kamu. Jakarta pasti bersih ya.”
Bukannya memamerkan tindakan itu, hanya saja, mari kita menjaga sampah. Percuma pemerintah mengelola sampah dengan manajemen terbaik sekali pun. Namun masyarakatnya tetap cuek. Yang mana kasur pun, dapat kalian temukan di dalam sungai.
Salam.