Malam itu, langit dihiasi oleh kembang api yang berkilauan. Suara letusan dan teriakan gembira menggema di seluruh penjuru kota. Di sebuah sudut kecil, seorang pemuda bernama Ardi duduk termenung di tepi danau, jauh dari keramaian. Di tangannya tergenggam sebuah buku lusuh, penuh coretan harapan yang belum tercapai dari tahun-tahun sebelumnya.
Ardi memandangi langit yang berwarna-warni sambil menghela napas panjang. Tahun ini terasa berat baginya. Pekerjaan yang tak kunjung stabil, keluarga yang mulai ragu pada mimpinya menjadi seorang seniman, dan teman-teman yang perlahan menjauh karena kesibukan masing-masing.
"Kenapa semuanya terasa begitu sulit?" gumamnya pelan.
Suara langkah kaki mendekat. Ardi menoleh dan melihat seorang gadis muda dengan syal merah menghampirinya. Gadis itu membawa termos kecil dan dua cangkir plastik.
"Kamu sendirian di sini?" tanya gadis itu dengan senyum hangat.
Ardi mengangguk pelan. "Ya, ingin menikmati tahun baru dengan tenang."
Gadis itu duduk di sampingnya tanpa meminta izin. "Aku Maya. Kamu?"
"Ardi," jawabnya singkat.
Maya menuangkan teh hangat ke dalam kedua cangkir dan menyerahkan salah satunya kepada Ardi. "Kadang, tenang itu perlu. Tapi kalau terlalu sering sendiri, bisa jadi beban."
Ardi tersenyum tipis, tapi tidak menanggapi. Mereka terdiam beberapa saat, hanya menikmati suara gemericik air dan hembusan angin malam.
"Jadi, apa harapanmu untuk tahun baru ini?" tanya Maya tiba-tiba.
Ardi terdiam. Dia menatap buku di tangannya, lalu membuka salah satu halaman yang penuh dengan daftar. "Aku punya banyak harapan, tapi sebagian besar belum tercapai. Sepertinya aku hanya bermimpi tanpa arah."
Maya mengambil buku itu dan membacanya. "Ini bukan sekadar mimpi. Ini adalah peta hidupmu. Kadang, jalan menuju harapan tidak lurus. Tapi kalau terus berusaha, kamu pasti sampai."
Ardi mengernyit. "Kamu membuatnya terdengar mudah."
Maya tersenyum. "Karena aku juga pernah berada di posisimu."
Ardi menatapnya dengan penasaran. "Apa maksudmu?"
"Aku dulu punya mimpi besar menjadi penulis. Tapi selama bertahun-tahun, naskahku selalu ditolak penerbit. Aku hampir menyerah. Tapi di tahun baru ini, aku memutuskan untuk mencoba sekali lagi, dan akhirnya naskahku diterima. Kadang, harapan butuh waktu dan kesabaran."
Cerita Maya membuat Ardi tertegun. Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang penuh keyakinan, seperti matahari yang muncul setelah malam panjang.
"Jadi, apa yang harus kulakukan?" tanya Ardi, berharap mendapatkan jawaban.
"Mulailah dari langkah kecil. Pilih satu harapan yang paling penting dan fokuskan usahamu di sana. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, tapi juga jangan berhenti mencoba," ujar Maya.
Ardi mengangguk pelan. Dia menatap danau yang memantulkan cahaya kembang api, seolah memberi semangat baru.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan mencobanya."
Malam semakin larut, dan Maya pamit lebih dulu. Sebelum pergi, dia memberikan sebuah pena kepada Ardi. "Gunakan ini untuk menulis halaman pertama dari harapan barumu. Setiap tahun baru adalah kesempatan untuk memulai lagi."
Ardi menggenggam pena itu erat-erat. Setelah Maya pergi, dia membuka bukunya dan mulai menulis sesuatu. Kali ini, dia tidak hanya mencatat harapan, tapi juga langkah-langkah kecil untuk mencapainya.elamatÂ
Selamat Tahun Baru 1 Januari 2025
Ahmad Syaihu untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H