Mohon tunggu...
Ahmad Syaihu
Ahmad Syaihu Mohon Tunggu... Guru - Guru MTsN 4 Kota Surabaya

Guru yang suka menulis dan berbagi kebaikan lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu Anak Rantau di Hari Ibu

25 Desember 2024   21:36 Diperbarui: 25 Desember 2024   21:36 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kasih Sayang Ibu (Dishanpan-Jawa Tengah)

Rindu Tanpa Batas: Kasih Anak Rantau di Hari Ibu

Mentari pagi menyemburatkan sinarnya di langit desa, menyapa pepohonan yang bergoyang perlahan diterpa angin. Di sudut sebuah rumah kayu sederhana, seorang wanita paruh baya tengah menyapu halaman dengan sapu lidi. Wajahnya yang penuh kasih sayang terpancar dari senyum kecil yang kerap ia lemparkan pada ayam-ayam peliharaannya. Itulah Ibu Nur, seorang wanita yang tak pernah lelah mencurahkan cinta untuk anak-anaknya, meskipun mereka kini telah beranjak jauh merantau.

Di kota yang berjarak ratusan kilometer dari desa itu, Dika, putra bungsu Ibu Nur, sedang sibuk merencanakan sesuatu. Di sela-sela pekerjaannya sebagai seorang staf di perusahaan kecil, ia terus memikirkan cara untuk memberikan kejutan istimewa pada ibunya. Hari Ibu yang semakin dekat membuat kerinduan di dadanya kian membuncah.

"Masih ingat nggak, Nak? Hari Ibu tahun lalu Ibu cuma minta kamu rajin makan dan jaga kesehatan," pesan itu terus terngiang di telinganya setiap kali ia menelepon ibunya. Sederhana, tetapi penuh cinta.

Dika memutuskan untuk pulang tanpa memberi tahu ibunya. Setelah berbicara dengan kakaknya yang tinggal di kota lain, mereka sepakat untuk menyusun rencana kecil-kecilan. Kakaknya, Fina, akan ikut membantu dengan memastikan semuanya berjalan lancar. Dika merasa bersemangat, meskipun harus memotong sebagian gajinya untuk perjalanan pulang.

Pada malam sebelum keberangkatan, Dika mengemas barang-barang sederhana: sehelai kerudung baru yang ia beli di toko dekat kantornya, sepucuk surat, dan bingkisan kecil berisi kue favorit ibunya. Barang-barang itu adalah simbol kasih sayangnya yang tak pernah pudar.

Perjalanan panjang menuju desa ditempuhnya dengan penuh harap. Sepanjang perjalanan, kenangan masa kecil bersama ibunya berkelebat dalam benaknya. Ia teringat saat-saat ibunya membangunkannya di pagi hari dengan lembut, menyiapkan sarapan, dan menyemangatinya untuk terus belajar meskipun hidup serba sulit.

Ketika bus yang ia tumpangi tiba di terminal desa, langit sudah mulai berwarna jingga. Dika melangkah dengan hati-hati menyusuri jalan setapak yang mengarah ke rumahnya. Sepanjang jalan, ia bertemu beberapa tetangga yang menyapa ramah.

"Eh, Dika! Tumben pulang. Ibumu pasti senang sekali," ujar salah seorang tetangga.

Dika hanya tersenyum, mencoba merahasiakan kejutan itu.

Sampai di depan rumah, Dika berdiri sejenak. Ia memperhatikan sosok ibunya yang sedang menata bunga di halaman. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang.

"Assalamualaikum, Bu!" seru Dika dengan suara lantang.

Ibu Nur menoleh. Wajahnya seketika berubah cerah, matanya membulat penuh haru. "Dika! Ya Allah, Nak, ini beneran kamu?" katanya sambil berjalan tergesa-gesa mendekat.

"Iya, Bu. Dika pulang buat Ibu," jawabnya sambil merangkul tubuh ibunya yang mungil.

Tangis haru pun pecah. Ibu Nur memeluk Dika erat-erat, seolah tak ingin melepasnya lagi. Setelah bertahun-tahun hanya bertemu lewat layar ponsel, momen itu terasa sangat berharga bagi keduanya.

Dika mengajak ibunya duduk di ruang tamu. Ia menyerahkan bingkisan kecil yang sudah ia siapkan. "Ini buat Ibu. Memang sederhana, tapi semoga Ibu suka."

Ibu Nur membuka bingkisan itu perlahan. Kerudung berwarna biru lembut dan kue-kue kecil menyambutnya. Ia tersenyum sambil mengusap pipinya yang mulai basah oleh air mata. "Nak, Ibu nggak butuh apa-apa selain kamu sehat dan bahagia. Tapi ini... ini sungguh membuat Ibu sangat bahagia."

Tak lama, Fina datang membawa makanan yang sudah ia siapkan sebelumnya. Mereka bertiga makan malam bersama di bawah lampu temaram, membicarakan banyak hal yang selama ini hanya mereka sampaikan lewat telepon.

Di akhir malam, Dika menyerahkan sepucuk surat pada ibunya. Surat itu ia tulis dengan penuh cinta selama perjalanan pulang. Ibu Nur membacanya perlahan, suaranya sedikit bergetar ketika membaca baris terakhir:

"Bu, terima kasih untuk segala cinta dan pengorbanan yang tak pernah habis. Maafkan Dika yang sering membuat Ibu khawatir. Dika janji akan selalu berusaha menjadi anak yang membanggakan. Selamat Hari Ibu."

Ibu Nur memeluk Dika sekali lagi, kali ini lebih erat. "Nak, Ibu tidak pernah meminta kamu jadi sempurna. Bagi Ibu, kamu sudah menjadi hadiah terindah yang Tuhan berikan."

Malam itu menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi Dika dan keluarganya. Meskipun sederhana, kebersamaan yang mereka rasakan memberikan kehangatan yang melampaui segala materi. Dika kembali ke kota beberapa hari kemudian dengan hati yang lebih tenang, membawa semangat baru untuk terus berjuang demi membahagiakan ibunya.

Kasih sayang seorang anak kepada ibunya memang tak pernah mengenal jarak. Sebuah kejutan sederhana di Hari Ibu berhasil menghapus rindu yang selama ini tertahan. Bagi Ibu Nur, kehadiran Dika adalah bukti bahwa cinta dan doa seorang ibu akan selalu menemukan jalannya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun