Sampai di depan rumah, Dika berdiri sejenak. Ia memperhatikan sosok ibunya yang sedang menata bunga di halaman. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang.
"Assalamualaikum, Bu!" seru Dika dengan suara lantang.
Ibu Nur menoleh. Wajahnya seketika berubah cerah, matanya membulat penuh haru. "Dika! Ya Allah, Nak, ini beneran kamu?" katanya sambil berjalan tergesa-gesa mendekat.
"Iya, Bu. Dika pulang buat Ibu," jawabnya sambil merangkul tubuh ibunya yang mungil.
Tangis haru pun pecah. Ibu Nur memeluk Dika erat-erat, seolah tak ingin melepasnya lagi. Setelah bertahun-tahun hanya bertemu lewat layar ponsel, momen itu terasa sangat berharga bagi keduanya.
Dika mengajak ibunya duduk di ruang tamu. Ia menyerahkan bingkisan kecil yang sudah ia siapkan. "Ini buat Ibu. Memang sederhana, tapi semoga Ibu suka."
Ibu Nur membuka bingkisan itu perlahan. Kerudung berwarna biru lembut dan kue-kue kecil menyambutnya. Ia tersenyum sambil mengusap pipinya yang mulai basah oleh air mata. "Nak, Ibu nggak butuh apa-apa selain kamu sehat dan bahagia. Tapi ini... ini sungguh membuat Ibu sangat bahagia."
Tak lama, Fina datang membawa makanan yang sudah ia siapkan sebelumnya. Mereka bertiga makan malam bersama di bawah lampu temaram, membicarakan banyak hal yang selama ini hanya mereka sampaikan lewat telepon.
Di akhir malam, Dika menyerahkan sepucuk surat pada ibunya. Surat itu ia tulis dengan penuh cinta selama perjalanan pulang. Ibu Nur membacanya perlahan, suaranya sedikit bergetar ketika membaca baris terakhir:
"Bu, terima kasih untuk segala cinta dan pengorbanan yang tak pernah habis. Maafkan Dika yang sering membuat Ibu khawatir. Dika janji akan selalu berusaha menjadi anak yang membanggakan. Selamat Hari Ibu."
Ibu Nur memeluk Dika sekali lagi, kali ini lebih erat. "Nak, Ibu tidak pernah meminta kamu jadi sempurna. Bagi Ibu, kamu sudah menjadi hadiah terindah yang Tuhan berikan."