Mohon tunggu...
Ahmad Syaihu
Ahmad Syaihu Mohon Tunggu... Guru - Guru MTsN 4 Kota Surabaya

Guru yang suka menulis dan berbagi kebaikan lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berkibar di Langit Cita-Cita

20 Agustus 2024   07:29 Diperbarui: 20 Agustus 2024   07:32 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahmad Syaihu di Parangtritis (dokpri)

Di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar, seorang pemuda bernama Raka merayakan hari kemerdekaan dengan cara yang berbeda. Desa tempat Raka tinggal masih memegang erat tradisi, dan setiap tanggal 17 Agustus, seluruh warga berkumpul di alun-alun untuk mengadakan upacara sederhana. Bendera merah putih yang sudah lusuh akan dikibarkan dengan penuh hormat, dan para veteran perang yang masih ada akan diberikan penghargaan.

Raka, seorang pemuda yang dikenal sebagai tukang tambal ban, selalu menjadi bagian dari perayaan tersebut. Meskipun pekerjaannya terlihat sederhana, Raka memiliki semangat yang luar biasa. Baginya, kemerdekaan bukan sekadar kata; itu adalah sebuah perjuangan yang harus diteruskan, bahkan dalam hal-hal kecil.

Tahun ini, Raka ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Ia ingin bendera yang dikibarkan di desa tidak hanya sebatas kain merah putih yang sudah tua dan usang. Ia ingin bendera itu melambangkan semangat baru, harapan baru bagi desa dan bagi dirinya sendiri. Namun, untuk mewujudkan niatnya, Raka harus menghadapi berbagai rintangan.

Raka memutuskan untuk membeli bendera baru. Uang hasil pekerjaannya selama sebulan ia sisihkan untuk membeli bendera yang ia impikan. Namun, rencana Raka tidak berjalan mulus. Saat hari semakin dekat, sebuah musibah datang. Mesin tambal bannya rusak parah. Penghasilannya terhenti, dan ia harus menggunakan sebagian besar tabungannya untuk memperbaiki mesin tersebut.

Sore itu, saat Raka duduk termenung di bengkel kecilnya, seorang anak kecil datang menghampirinya. Anak itu, Budi, adalah salah satu anak desa yang sering membantu Raka di bengkel. Budi melihat wajah Raka yang muram dan bertanya, "Kak Raka, kenapa sedih?"

Raka hanya tersenyum kecil dan mengusap kepala Budi. "Tidak apa-apa, Budi. Hanya saja, kakak sedang berpikir bagaimana caranya agar bisa membeli bendera baru untuk desa kita."

Budi yang polos tiba-tiba berkata, "Kak, kalau begitu kita bisa buat bendera sendiri! Aku punya kain merah di rumah. Kak Raka pasti bisa menjahitnya."

Kata-kata Budi membuat Raka terdiam sejenak. Ide itu begitu sederhana, tapi benar-benar mungkin dilakukan. Ia mengajak Budi untuk pulang ke rumahnya, dan di sana mereka mulai mencari kain yang bisa digunakan. Dengan keterampilan menjahit seadanya, Raka mulai membuat bendera baru. Malam itu, mereka berdua bekerja di bawah lampu minyak yang redup, menjahit dan memotong kain dengan hati-hati.

Saat pagi tiba, bendera itu akhirnya selesai. Meski sederhana, bendera yang mereka buat memiliki makna mendalam. Raka tersenyum puas melihat hasil kerja mereka. Budi, dengan mata berbinar, berkata, "Bendera ini pasti akan berkibar tinggi di langit!"

Pada hari perayaan, seluruh warga desa berkumpul di alun-alun. Mereka terkejut melihat bendera baru yang berkibar di tiang bambu. Raka dengan bangga memimpin upacara sederhana itu, mengibarkan bendera dengan penuh hormat. Ketika bendera itu berkibar di angkasa, ada perasaan haru yang menyelimuti seluruh warga.

Setelah upacara selesai, kepala desa mendekati Raka dan bertanya, "Raka, dari mana kamu mendapatkan bendera baru ini?"

Raka tersenyum dan menjawab, "Budi yang memberi ide untuk membuatnya sendiri, Pak. Kami hanya ingin memberikan yang terbaik untuk desa ini."

Kepala desa menepuk bahu Raka dengan bangga. "Kamu telah menunjukkan bahwa semangat kemerdekaan bukan hanya milik para pejuang, tapi juga milik kita semua. Terima kasih, Raka."

Raka merasa bangga dengan bendera yang ia buat bersama Budi. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Sehari sebelum perayaan, seorang teman lama bernama Toni, yang kini tinggal di kota dan hanya sesekali pulang ke desa, datang dan melihat bendera baru tersebut.

Toni, yang dikenal sombong dan suka merendahkan orang lain, tertawa melihat bendera itu. "Raka, bendera seperti ini? Apa tidak ada yang lebih bagus? Lihatlah, warnanya tidak sempurna dan jahitannya pun terlihat asal-asalan. Kamu pikir ini cukup layak untuk perayaan kemerdekaan?" cemoohnya.

Raka merasa tersinggung, tapi ia berusaha tetap tenang. "Ini yang terbaik yang bisa kami buat, Toni. Bendera ini dibuat dengan sepenuh hati untuk menghormati perjuangan para pahlawan kita."

Namun, Toni tidak puas dengan jawaban itu. Ia merasa bendera yang dibuat oleh Raka tidak layak untuk dikibarkan. "Kamu tahu, di kota, kami punya bendera yang jauh lebih bagus. Kalau hanya seperti ini, lebih baik kamu tidak usah mengibarkannya. Ini hanya akan mempermalukan desa kita!"

Ucapan Toni membuat darah Raka mendidih. Ia tahu bahwa Toni selalu merasa superior karena tinggal di kota, tapi ia tidak bisa menerima jika jerih payahnya dianggap remeh. "Toni, bendera ini bukan sekadar kain. Ini adalah simbol semangat dan kerja keras kami. Mungkin tidak sempurna di matamu, tapi ini lebih berarti daripada bendera mahal yang dibeli tanpa usaha."

Pertengkaran itu menarik perhatian beberapa warga yang lewat. Mereka mulai berkerumun di sekitar keduanya, menyadari bahwa ada ketegangan antara dua pemuda tersebut. Beberapa orang mencoba menenangkan mereka, tapi Toni tetap keras kepala. "Jika kamu ngotot untuk mengibarkan bendera ini, aku tidak akan ikut serta dalam upacara. Bendera ini tidak pantas untuk kemerdekaan yang kita rayakan!"

Raka merasa terluka, tapi ia tidak ingin mundur. Ia tahu betapa pentingnya bendera ini bagi dirinya dan Budi, serta bagi seluruh desa. "Kalau begitu, jangan ikut, Toni. Kami tidak butuh orang yang tidak menghargai usaha orang lain."

Toni yang merasa terpojok, akhirnya pergi dengan muka masam. Namun, kejadian itu meninggalkan perasaan campur aduk di hati Raka. Ia bertanya-tanya apakah benar ia telah membuat keputusan yang tepat. Tapi ketika ia melihat Budi, yang berdiri di sampingnya dengan mata penuh harapan, Raka tahu bahwa ia telah melakukan yang benar.

Pada hari perayaan, meskipun tanpa kehadiran Toni, upacara tetap berjalan dengan khidmat. Bendera yang telah mereka buat bersama berkibar dengan gagah di langit, dan seluruh warga desa memberikan penghormatan penuh. Raka belajar bahwa semangat kemerdekaan tidak diukur dari kesempurnaan, tetapi dari ketulusan hati dan kerja keras.

Hari itu menjadi momen yang tak terlupakan bagi Raka dan seluruh desa. Bendera yang mereka buat bersama menjadi simbol perjuangan baru, semangat yang tak pernah padam meski dalam keterbatasan. Raka menyadari bahwa kemerdekaan bukan hanya soal merayakan masa lalu, tetapi juga bagaimana kita terus melanjutkan perjuangan dengan cara kita sendiri, sekecil apapun itu.

Di bawah langit biru yang cerah, bendera merah putih yang baru itu berkibar dengan gagah, membawa harapan dan cita-cita baru bagi seluruh warga desa. Bagi Raka, hari itu bukan hanya hari kemerdekaan bangsa, tapi juga hari kemerdekaan bagi dirinya sendiri. Ia telah merdeka dari keterbatasan dan menemukan makna baru dalam setiap langkah hidupnya.

Profil Penulis : 

Nama : Ahmad Syaihu

Lahir : Gresik 30 Agustus 1967

Profesi : ASN Guru MTsN 4 Kota Surabaya

Telah menulis beberapa buku karya antara lain 1. Pak Guru Menjadi Tamu Allah, 2. Ada Cinta di Madrasah (Kumpulan Cerpen), 3. Atas Nama Takdir (Kumpulan Cerpen),5.  Secangkir kopi Kala Senja (Kumpulan Puisi), 6. Menyemai Rencana Memendar Senjana (kumpulan Puisi Corona), 7. Mewujudkan Pembelajaran IPS yang Seru dan Menyenangkan (Best Practice Pembelajaran) dll.

Nomor WA : 082233554444

email : arrahmansyaihu@gmail.com

Ahmad Syaihu di Parangtritis (dokpri)
Ahmad Syaihu di Parangtritis (dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun