Setelah upacara selesai, kepala desa mendekati Raka dan bertanya, "Raka, dari mana kamu mendapatkan bendera baru ini?"
Raka tersenyum dan menjawab, "Budi yang memberi ide untuk membuatnya sendiri, Pak. Kami hanya ingin memberikan yang terbaik untuk desa ini."
Kepala desa menepuk bahu Raka dengan bangga. "Kamu telah menunjukkan bahwa semangat kemerdekaan bukan hanya milik para pejuang, tapi juga milik kita semua. Terima kasih, Raka."
Raka merasa bangga dengan bendera yang ia buat bersama Budi. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Sehari sebelum perayaan, seorang teman lama bernama Toni, yang kini tinggal di kota dan hanya sesekali pulang ke desa, datang dan melihat bendera baru tersebut.
Toni, yang dikenal sombong dan suka merendahkan orang lain, tertawa melihat bendera itu. "Raka, bendera seperti ini? Apa tidak ada yang lebih bagus? Lihatlah, warnanya tidak sempurna dan jahitannya pun terlihat asal-asalan. Kamu pikir ini cukup layak untuk perayaan kemerdekaan?" cemoohnya.
Raka merasa tersinggung, tapi ia berusaha tetap tenang. "Ini yang terbaik yang bisa kami buat, Toni. Bendera ini dibuat dengan sepenuh hati untuk menghormati perjuangan para pahlawan kita."
Namun, Toni tidak puas dengan jawaban itu. Ia merasa bendera yang dibuat oleh Raka tidak layak untuk dikibarkan. "Kamu tahu, di kota, kami punya bendera yang jauh lebih bagus. Kalau hanya seperti ini, lebih baik kamu tidak usah mengibarkannya. Ini hanya akan mempermalukan desa kita!"
Ucapan Toni membuat darah Raka mendidih. Ia tahu bahwa Toni selalu merasa superior karena tinggal di kota, tapi ia tidak bisa menerima jika jerih payahnya dianggap remeh. "Toni, bendera ini bukan sekadar kain. Ini adalah simbol semangat dan kerja keras kami. Mungkin tidak sempurna di matamu, tapi ini lebih berarti daripada bendera mahal yang dibeli tanpa usaha."
Pertengkaran itu menarik perhatian beberapa warga yang lewat. Mereka mulai berkerumun di sekitar keduanya, menyadari bahwa ada ketegangan antara dua pemuda tersebut. Beberapa orang mencoba menenangkan mereka, tapi Toni tetap keras kepala. "Jika kamu ngotot untuk mengibarkan bendera ini, aku tidak akan ikut serta dalam upacara. Bendera ini tidak pantas untuk kemerdekaan yang kita rayakan!"
Raka merasa terluka, tapi ia tidak ingin mundur. Ia tahu betapa pentingnya bendera ini bagi dirinya dan Budi, serta bagi seluruh desa. "Kalau begitu, jangan ikut, Toni. Kami tidak butuh orang yang tidak menghargai usaha orang lain."
Toni yang merasa terpojok, akhirnya pergi dengan muka masam. Namun, kejadian itu meninggalkan perasaan campur aduk di hati Raka. Ia bertanya-tanya apakah benar ia telah membuat keputusan yang tepat. Tapi ketika ia melihat Budi, yang berdiri di sampingnya dengan mata penuh harapan, Raka tahu bahwa ia telah melakukan yang benar.