Tidak ada jawaban. Hanya suara ketukan yang semakin keras. "Tok, tok, tok."
Dengan jantung yang berdebar kencang, Deni berjalan pelan menuju pintu. Ia menempelkan telinganya ke pintu, mencoba mendengar apa yang ada di luar. Tapi, yang terdengar hanya suara ketukan yang kini semakin menggila.
"Siapa pun itu, saya nggak takut!" teriak Deni, mencoba menyembunyikan ketakutannya.
Suara ketukan tiba-tiba berhenti. Deni menghela napas lega, berpikir semuanya sudah berakhir. Tapi saat ia berbalik untuk kembali ke tempat tidurnya, pintu itu mendadak terbuka sendiri dengan suara berderit yang mengerikan.
Di depannya berdiri seorang sosok yang tinggi, kurus, dan pucat dengan mata yang melotot lebar. Pakaiannya compang-camping dan ada bekas luka menganga di lehernya. Deni terperangah, tubuhnya gemetar hebat.
"Deniiiii..." suara serak itu memanggil namanya dengan nada yang panjang dan menyeramkan.
Deni mundur perlahan, tak mampu mengeluarkan suara. Sosok itu melangkah maju, menyeret kakinya yang kaku. Tiba-tiba, wajah Deni berubah menjadi pucat pasi saat mengenali sosok itu.
"Pak Saidi?!" serunya, setengah antara takut dan marah.
"Deniiiii..." Pak Saidi mengulangi lagi, tapi kali ini dengan suara yang jelas-jelas tidak bisa menahan tawa. Lalu, tiba-tiba sosok yang menyeramkan itu tertawa terbahak-bahak, sampai terbungkuk-bungkuk.
Deni yang masih kebingungan dan ketakutan kini mulai menyadari bahwa wajah yang tampak menakutkan itu tidak lain adalah wajah Pak Saidi yang sengaja dirias dengan bedak putih tebal dan tinta merah di lehernya.
Pak Saidi mengangkat tangan, memperlihatkan potongan kain yang menutupi lehernya. "Kamu lihat ini? Seram, kan? Hahaha!"