Airlangga Hartarto Mundur dari Ketua Umum Partai Golkar, Konflik Internal dan Invisible Hand Disorot (Ahmad Syaihu)
Pengundurn diri Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada Sabtu, 10 Agustus 2024, mengejutkan banyak pihak dan memicu berbagai spekulasi tentang dinamika internal partai berlambang pohon beringin tersebut. Dalam pernyataan video yang disampaikan Airlangga, ia mengungkapkan bahwa keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan berbagai aspek, serta dengan tujuan menjaga keharmonisan dan kestabilan partai menjelang Pemilu 2024.
Langkah mundur Airlangga ini memunculkan berbagai analisis dari para pengamat politik, salah satunya Ahmad Khoirul Umam dari Institute for Democracy and Strategic Affairs. Menurut Ahmad, pengunduran diri Airlangga tidak bisa dilepaskan dari kuatnya benturan antar faksi dalam tubuh Golkar. Faksi-faksi ini telah menunjukkan ketegangan sejak menjelang Pilpres 2024, terutama ketika Golkar mencoba menentukan arah koalisinya.
Benturan kepentingan di internal Golkar jelang PilkadaÂ
Salah satu momen yang mencerminkan benturan ini adalah ketika Golkar hampir menjalin koalisi dengan PDIP. Namun, manuver tersebut gagal terwujud, menunjukkan adanya perbedaan agenda dan kepentingan di antara faksi-faksi dalam partai. Ahmad mengungkapkan bahwa di internal Golkar terdapat kelompok-kelompok yang memiliki agenda ekonomi-politik yang beragam. Ada faksi yang berupaya menjaga kedaulatan politik partai dari intervensi eksternal, sementara faksi lainnya cenderung berkolaborasi dengan kekuatan eksternal yang dekat dengan pusat kekuasaan.
Isu lain yang turut memengaruhi langkah Airlangga adalah kasus hukum yang sempat menjeratnya terkait skandal minyak goreng. Beberapa kalangan meyakini bahwa posisi Airlangga menjadi lemah akibat tekanan-tekanan yang muncul dari berbagai arah. Kinerja dan keputusan-keputusan yang diambil oleh Airlangga dalam beberapa pilkada juga dianggap kurang tegas dan memunculkan ketidakpastian di kalangan elit partai.
Ahmad menambahkan bahwa sosok "The Invisible Hand" kembali terlihat dalam dinamika ini. Istilah "The Invisible Hand" merujuk pada kekuatan di belakang layar yang diduga memengaruhi keputusan-keputusan strategis di partai politik. Dalam kasus Airlangga, kekuatan ini dianggap turut andil dalam mendorong pengunduran dirinya.
Meski begitu, dalam pidato pengunduran dirinya, Airlangga menekankan bahwa proses pergantian kepemimpinan di Golkar akan berlangsung dengan damai dan tertib, serta menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah menjadi tradisi partai. Ia juga menyampaikan rasa terima kasih kepada para pengurus, kader, dan tokoh-tokoh senior di Golkar yang telah mendukungnya selama masa kepemimpinan.
Airlangga secara khusus menyampaikan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin atas dukungan dan kerja sama selama ini. Tak ketinggalan, ia juga memberikan apresiasi kepada presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang akan memimpin Indonesia dalam periode berikutnya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada tokoh-tokoh senior di Golkar, seperti Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Luhut Panjaitan, Akbar Tandjung, Agung Laksono, dan Muhammad Hatta.
Pengunduran diri Airlangga Hartarto membuka babak baru bagi Partai Golkar. Partai yang dikenal dengan soliditasnya ini kini harus menghadapi tantangan internal yang tidak ringan, terutama dalam memilih pemimpin baru yang mampu menyatukan kembali faksi-faksi yang ada. Di tengah dinamika politik yang semakin kompleks menjelang Pemilu 2024, Golkar harus mampu menunjukkan bahwa mereka masih menjadi salah satu kekuatan politik utama di Indonesia.
Ke depan, partai ini perlu melakukan konsolidasi internal yang mendalam agar tidak terpecah-belah dan tetap mampu bersaing dalam kancah politik nasional. Pengalaman Airlangga Hartarto dalam memimpin Golkar bisa menjadi pelajaran berharga bagi pemimpin berikutnya, terutama dalam menghadapi tekanan internal dan eksternal yang datang silih berganti. Golkar, sebagai partai besar, dituntut untuk bisa menjaga stabilitas dan kekuatannya di tengah gelombang perubahan politik yang terus bergulir.
Wasana Kata
Dengan demikian, mundurnya Airlangga Hartarto tidak hanya menjadi akhir dari kepemimpinannya di Golkar, tetapi juga menjadi momentum bagi partai untuk merenung dan merumuskan kembali arah perjuangan politiknya demi kepentingan bangsa dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H