Pada sub judul Neoliberalisasi di Madura diuraikan betapa pemilik modal menjadikan lahan pesisir pantai sebagai usaha tambak udang. Terutama di pesisir bagian timur laut yang dekat dengan wisata pantai Lombang. Pemilik modal selain menggunakan pesisir pantai untuk tambak udang, mereka juga menggunakan pesisir itu sebagai lahan privatisasi seperti digunakan untuk pertemuan karyawan perusahaan atau tempat family gathering. Sehingga menyebabkan penduduk setempat tidak mempunyai kesempatan seperti semula untuk mengakses pesisir.
Sejak rezim Presiden Soeharto, Madura sudah diproyeksikan menjadi pulau industri. Tetapi saat itu para ulama dan tokoh masyarakat di Madura berkumpul kemudian mencapai kesepakatan menolak rencana itu. Sehingga mega industry program tersebut dialihkan ke Batam.
Tetapi Industri tersebut terus dicanangkan sampai pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga pada akhirnya jembatan Suramadu menjadi bukti nyata keseriusan pemerintah dalam membangun Madura. Tagline “membangun industrialisasi Madura” juga bukan sekedar kabar burung berlalu. Karena program ini sudah menjadi program proyeksi pembangunan pemerintah provinsi Jawa Timur melalui Badan Pembanngunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sumenep.
Neoliberalisme pada realitanya juga bukan sekedar dilakukan pada satu pihak, melainkan juga ada peraturan daerah yang menjelaskan tentan alih fungsi lahan. Sebagaimana dalam Undang-Undang pasal 39 ayat (4) Peraturan Daerah Kabupaten Sumenep Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2013-2033 yang memang lahan di pesisir akan dijadikan wilayah proyeksi lahan 1.723 ha. Artinya ini bukan semata-mata karena kerakusan investor Tetapi juga ada dukungan konstruktif pemerintah dalam program ini.
Bagian kedua K.Dardiri menyampaikan tentang Marginalisasi. Potret kehidupan masyarakat pulau desa Gersik Putih Kecamatan Gapura mengalami betapa ter-marginalisasi di desanya sendiri. Lahan yang ada di pulau itu disewakan kepada PT. Garam untuk produksi garam.
Bayangkan betapa besarnya peran garam Madura. Setidaknya 60 persen kebutuhan nasional dipasok dari Madura. Peluang yang begitu besar tentu hal itu disebabkan kualitas garam yang baik. Tetapi siapa sangka bahwa dibalik prestasi itu menyimpan kepiluan yang mendalam bagi warga lokal yang hanya menjadi kuli perusahaan garap tambak garam waktu musim kemarau dan menjadi peminjam lahan PT. Garam budidaya bandeng ketika musim penghujan tiba.
Pada bagian ketiga penulis menyampaikan tentang Perampasan Ruang Hidup. Apa jadinya jika desa yang memiliki budaya santun berganti budaya yang disebabkan contoh pola hidup para wisatawan. Pulau Giliiyang pada tahun 2019 dinobatkan sebagai pulau dengan oxygen terbaik kedua dunia. Sehingga pulau tersebut akan dibangun tempat wisata. Bisa dibayangkan wisatawan yang masuk berasal dari bebagai budaya baik lokal maupun asing. Maka dari itu pembagunan tidak lagi Top Down Tetapi Bottom Up yaitu mengajak warga lokal untuk berdiskusi agar pembagunan yang dilakukan tidak mengerus kearifan budaya lokal.
Orang madura saat ini sudah mengalami pergeseran budaya. Semakin banyak orang Madura yang merantau ke luar daerah baik luar atau pun dalam negeri. Kabar bahagianya tidak sedikit para perantau yang berhasil. Bisa membuat rumah, melunasi hutang, membeli perhiasan, ternak dan sebagainya. Hal ini tentu membuat tetangga sekitar termotivasi unntuk ikut juga merantau. Namun hal ini juga meiliki hal buruk disisi lain. Karena ketika orang Madura banyak yang merantau maka secara otomatis lahan atau tanahnya menganggur tidak ada ynag mengurusi. Kondisi semacam ini akan membuat investor senang. Sebab akan merasa lebih mudah membeli lahan yang telah ditinggal pemiliknya merantau.
Salam Settong Dere Madure (salam satu darah madura)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H