Kalau membaca proses kreatif Piepit Senja bagaimana menjadi seorang novelis hebat tentu akan sangat relevan dengan pembahasan kali ini. Mulanya Piepit tidak membayangkan akan menulis sebuah novel. Sehari-hari ia hanya menuliskan catatan harian yang disimpan di pojok kamarnya, catatan tentang dirinya yang menderita kelainan darah bawaan yang secara berkala harus ditransfusi, sering ngedrop hingga sekarat. Â Catatan itu ia kumpulkan hingga bertumpuk-tumpuk.
Pada tahun 1978, ibu Piepit menceritakan tentang rumahnya yang akan diambil oleh rentenir kepada Piepit sebab sejumlah hutang yang melilitnya. Berbekal keyakinan, Piepit yang masih mondok waktu itu, menyanggupi untuk membantu ibunya. Ia mengumpulkan catatan hariannya dan diketik kemudian dibawa ke penerbit. Tentu saja tulisannya tidak langsung diterima oleh penerbit. Ia pergi dari penerbit satu ke penerbit lainnya. Hingga tibalah ia di salah satu penerbit dan kebetulan bertemu dengan Leon Agusta dan Sutardji Calzoum Bachri (Presiden Penyair Indonesia) di penerbit itu. Mereka mendorong direktur penerbitan agar menerima naskah memoar kehidupan Piepit itu untuk diterbitkan. Dan menjadi nasib beruntung bagi Piepit sehingga tulisannya yang waktu itu masih berupa prolog sebanyak sembilan halaman itu diterima. Kemudian diterbitkan dengan judul "Sepotong Hati di Sudut Kamar".
Dari cerita di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa untuk menulis buku maka jangan terlalu memikirkan tulisan kita menjadi buku. Bagaimanapun ketika membayangkan buku maka yang muncul adalah tumpukan kertas yang tebal, beratus-ratus halaman, penulisannya membutuhkan waktu lama. Solusi terbaik adalah menulis saja sedikit demi sedikit secara konsisten. Bukankah untuk mencapai seribu langkah dimulai dengan satu langkah pertama?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H