Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Yang Cepat Adalah Keinginan

1 Januari 2015   19:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:01 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seorang anak kecil yang masih duduk di sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) ditanya oleh gurunya: "Kamu ingin menjadi apa?" Dengan tangkas sang anak menjawab: "Polisi." Kemudian sang guru tersenyum dan berucap, "Bagus!" Tidak hanya pada satu anak, tapi ke seluruh anak yang ada di kelas itu. Bahkan di sekolah-sekolah lain pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan di salah satu TK itu.

Menariknya, kondisi demikian, mengungkapkan keinginan untuk menjadi orang hebat, terus dimiliki hingga dewasa. Keinginan terus menjadi teman dalam setiap perjalanan hidup seseorang. Ingin menjadi orang hebat dengan segala atributnya. Hingga keinginan itu pun hanya ada di awang-awang tetap menjadi suatu keinginan. Namun, seringkali keinginan itu hanya menjadi keinginan belaka sebab tanpa diikuti oleh usaha.

Ketika seseorang memiliki satu buah mobil maka muncul keinginan untuk memiliki dua buah mobil. Ketika memiliki dua buah mobil kemudian muncul lagi keinginan untuk memiliki tiga buah mobil. Begitu seterusnya hingga sampai pada suatu keinginan yang tak bisa dicapainya meskipun keinginan tersebut masih bercokol di benaknya. Barangkali ini sesuai dengan konsep ekonomi "Keinginan itu tidak terbatas tapi kebutuhan terbatas."

Padahal dalam kenyataannya, setinggi apapun keinginan tersebut ditempatkan, untuk mencapainya tetap dimulai dari satu langkah. Langkah demi langkah dilakukan untuk mencapai keinginannya. Artinya, setinggi apapun keinginan yang dimiliki tidak serta merta dicapai tanpa melalui sebuah proses dari hal terkecil.

Lantas apa hubungannya dengan menulis? Penulis juga memiliki naluri yang sama seperti anak TK. Ia memiliki keinginan untuk menulis dengan baik. Ingin menulis buku yang spektakuler. Namun, setiap penulis memiliki cara sendiri bagaimana mengatur keinginannya itu sehingga tidak hanya menjadi keinginan melainkan menjadi kenyataan. Anehnya, ketika keinginan itu berhasil dimodifikasi sedemikian rupa justru menghasilkan hal-hal di luar dugaan. Keinginan itu tercapai bahkan melebihi target yang diinginkan.

Berkaitan dengan itu, Dr. Suyatno, M.Pd. memberikan pelajaran atau trik bagi penulis untuk mencapai keinginannya, menulis buku. Berikut saya kutip pelajaran yang diposting di facebook-nya. "Buku kedua belas saya dapat terbit karena buku kesatu, kedua, ketiga, dan seterusnya. Saat menulis jangan berpikir tentang buku karena terlalu tebal dan banyak lembar tetapi berpikirlah satu paragraf dan satu lembar saja."

Ini memang sangat sederhana namun hal sederhana inilah yang seringkali menjatuhkan seorang penulis pemula yang belum dapat memodifikasi keinginannya. Ketika seorang penulis pemula belajar menulis, yang terbayang dalam benaknya adalah menulis buku yang spektakuler. Ketika membaca novelnya Andrea Hirata misalnya, seorang penulis pemula cenderung ingin menghasilkan novel seperti karya Andrea Hirata, best seller.

Keinginan itu melambung tinggi hingga mau tidur pun masih terbayang-bayang. Bahkan berbagai ekspresi yang akan dilakukan jika seorang penulis itu menjadi penulis best seller pun sudah mulai dibayangkan. Hal itu memang sah-sah saja. Bagaimanapun keinginan biasanya menjadi sumber penyemangat bagi seseorang untuk menjadi lebih baik. Keinginan selalu menjadi kompor.

Namun, juga tidak boleh dilupakan bahwa keinginan yang terlalu abstrak seringkali justru melemahkan sang penulis pemula. Harus diakui bahwa kegiatan menulis bukanlah abrakadabra. Kegiatan menulis melalui proses panjang. Oleh karena itu, orang yang malas berproses sudah barang tentu tidak akan pernah menjadi penulis hebat. Pada umumnya, menulis novel mentahan minimal dilakukan tidak kurang dari satu bulan. Ingat, itu masih mentahan. Seperti yang sudah saya jelaskan dalam tulisan sebelumnya, setelah menulis masih ada proses pengendapan dan pengeditan.

Wina Bojonegoro (cerpenis) misalnya mengatakan, untuk menulis novel itu membutuhkan napas yang panjang. Banyak hal yang harus benar-benar dipertimbangkan dalam waktu yang sangat lama. Bagaimana membuat pembaca tidak bosan membaca tulisan itu hingga selesai, yang sudah pasti beratus-ratus halaman, adalah harga mutlak yang harus dilakukan oleh sang penulis. Dan masih banyak lagi kerumitan-kerumitan yang harus dilakukan ketika hendak menulis sebuah novel. Apabila tidak memiliki napas dan komitmen yang kuat maka sudah barang pasti sang penulis pemula tersebut akan jatuh di tengah jalan.

Untuk itu, melalui pernyataan yang ditulis oleh Dr. Suyatno, M.Pd. di atas sang penulis pemula dapat mengambil pelajaran berharga. Tak perlu membayangkan sebuah buku atau novel ketika menulis tapi lebih baik berpikir untuk menuliskan paragraf demi paragraf dengan baik. Dengan menyederhanakan pandangan terhadap keinginan tentu akan lebih memudahkan bagi penulis pemula. Tak ada beban yang berat sebab keinginan yang terlalu menggebu-gebu.

Kalau membaca proses kreatif Piepit Senja bagaimana menjadi seorang novelis hebat tentu akan sangat relevan dengan pembahasan kali ini. Mulanya Piepit tidak membayangkan akan menulis sebuah novel. Sehari-hari ia hanya menuliskan catatan harian yang disimpan di pojok kamarnya, catatan tentang dirinya yang menderita kelainan darah bawaan yang secara berkala harus ditransfusi, sering ngedrop hingga sekarat.  Catatan itu ia kumpulkan hingga bertumpuk-tumpuk.

Pada tahun 1978, ibu Piepit menceritakan tentang rumahnya yang akan diambil oleh rentenir kepada Piepit sebab sejumlah hutang yang melilitnya. Berbekal keyakinan, Piepit yang masih mondok waktu itu, menyanggupi untuk membantu ibunya. Ia mengumpulkan catatan hariannya dan diketik kemudian dibawa ke penerbit. Tentu saja tulisannya tidak langsung diterima oleh penerbit. Ia pergi dari penerbit satu ke penerbit lainnya. Hingga tibalah ia di salah satu penerbit dan kebetulan bertemu dengan Leon Agusta dan Sutardji Calzoum Bachri (Presiden Penyair Indonesia) di penerbit itu. Mereka mendorong direktur penerbitan agar menerima naskah memoar kehidupan Piepit itu untuk diterbitkan. Dan menjadi nasib beruntung bagi Piepit sehingga tulisannya yang waktu itu masih berupa prolog sebanyak sembilan halaman itu diterima. Kemudian diterbitkan dengan judul "Sepotong Hati di Sudut Kamar".

Dari cerita di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa untuk menulis buku maka jangan terlalu memikirkan tulisan kita menjadi buku. Bagaimanapun ketika membayangkan buku maka yang muncul adalah tumpukan kertas yang tebal, beratus-ratus halaman, penulisannya membutuhkan waktu lama. Solusi terbaik adalah menulis saja sedikit demi sedikit secara konsisten. Bukankah untuk mencapai seribu langkah dimulai dengan satu langkah pertama?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun