Â
Mentari sore itu barusaja menenggelamkan diri. Sekumpulan kelelawar masih mengantre  keluar dari sebuah gedung tua. Di ujung gangtepat di bawah gerbong kereta yang telah usang, tampak seekor kucing jantanmengejar kucing betina yang terus-terusan menjerit sambil berlari, meskikemudian kucing betina menyerah tanpa syarat. Kucing betina menyerah sebagaisebuah bentuk pengecohan. Beberapa saat kemudian pertengkaran kembali berlanjutdisertai lengkingan suara jeritan yang semakin pelan. Sungguh pertengkaran yangsangat mengesankan.
Di tepi bentangan rel kereta api tak jauh dari kucing-kucingyang tengah menjalani prosesi musim kawin, dua orang pelajar sekolah menengahtengah mengendarai sepeda motor. Salah seorang di antara mereka tak jemu-jemumenengok kanan kiri sembari membetulkan topinya. Begitu menemukan sesuatu yangdicari, mereka lalu menyambangi rumah kecil yang lebih mirip gubuk di pinggiranrel kereta api.
Rumah mungil itu hanya berukuran 2x2 yang disekat dengantripleks seadanya. Yang satu untuk tempat jualan kelontong kecil-kecilan dansatunya lagi untuk tempat tidur. Tidak ada ruang tamu maupun ruang dapurapalagi kamar mandi. Dua pelajar itu telah dua kali bertandang ke rumah mungilberpapan kayu sengon itu. Kedatangan mereka kali ini ingin melampiaskan hasratbirahinya seperti apa yang telah dilakukannya beberapa minggu yang lalu.Sejurus kemudian keluar seorang perempuan berusia 60 tahun. Perempuan bernamaAmirah itu biasa di panggil Mirah.
Tanpa basa-basi perempuan itu menyuruh kedua anak ingusan itumasuk ke dalam. Mirah telah memahami betul maksud kedatangan dua orang pelajaryang masih terhitung bocah itu. Dari gelagatnya sudah bisa ditebak, layaknyakambing jantan begitu mendengus bau kencing kambing betina, bawaannya langsungingin menaiki pantat sang betina. Tanpa ada kalimat pembuka, basa-basi apalagikata pengantar, tangan-tangan jahil kedua bocah itu menggerayangi sebagiananggota tubuh perempuan kurus itu.
Di rumah yang lebih mirip dengan kandang kambing itu merekasaling berbagi peran untuk sebuah kenikmatan yang sesaat.Bilik kecil itu tampak lebih sempit karena dijejali beberapa koper, sebuahlemari kecil dengan pakaian yang berserakan di sekitarnya serta ditambah lagiperalatan makan dan minum. Sempit dan pengapnya malam itu mendadak dipenuhinafas-nafas birahi yang binal. Meskipun sesekali terdengar bising suara keretalewat menderu-deru, mereka tak peduli layaknya babi pejantan yang tak ambilpusing dalam mengumbar nafsu birahinya di sembarang tempat.
Rumah gubuk itu telah menjadi sarang setan semenjak perempuanberpinggul lebar itu diusir dari sebuah apartemen puluhan tahun silam karenatak bisa melunasi biaya bulanan. Hutang-hutangnya kala itu terus menumpuk.Pakaian sebanyak tiga lemari dan peralatan kecantikannya tak bisa menutup semuahutang-hutangnya kepada beberapa rentenir.
Dua bocah ingusan itu membayar iuran sebesar 10ribu rupiah untuk permainannya yang semalam suntuk itu, lalu kemudian mereka ngeloyor pergi melewati sudut-sudut perkampungan. Berapapun uangyang di berikan Mirah akan menerimanya tanpa harus menuntut lebih. Kali ini iatidak berani menuntut apapun, apalagi dalam beberapa tahun terakhir sudah mulaisepi pelanggan.
Ketika mentari telah mencapai sepenggalah ketinggiannya Mirahmulai bergegas ke sebuah Mushalla yang hanya berjarak 200 meter dari rumahnya.Bukan ritual sembahyang yang dilakukannya melainkan untuk mandi dan berak. Diusia senja perempuan yang telah dipenuhi uban di sekujur kepalanya itu malahsemakin berat dalam menanggung beban-beban hutang serta berbagai permasalahanlain yang masih membelitnya.
Telah beberapa kali ia dikaruniai keturunan oleh yang kuasa,namun berkali-kali pula Mirah menolaknya. Setiap muncul tanda-tanda adanyabenih-benih janin di rahimnya lalu diremas-remas perutnya hingga kemudianmengalami perdarahan. Mirah tidak pernah menyadari jika perbuatannya itu adalahsebuah bentuk penolakan rezeki dari Tuhan. Tidak hanya sekali janin yang telahdikandungnya selama beberapa bulan itu dilebur paksakan dengan jalan aborsi.Hanya seorang putra yang mempunyai garis keturunan seorang bule yangdikehendaki kelahirannya, ia meyakini janin yang dikandungnya adalah buah daripermainannya dengan seorang bule berkebangsaan Belanda dan ternyata memangbenar, bayi yang terlahir berjenis kelamin laki-laki itu mirip orang Belandayang pernah menyambanginya beberapa kali di sebuah apartemen.
Meski akhirnya menerima karunia Tuhan yang telah terwujud berupaanak adam yang rupawan, namun putra semata wayangnya itu laksana sebuah tanamanyang tertancap di lahan yang gersang. Putra satu-satunya yang diberi namaAlbert itu kini telah menjelma menjadi seorang pria tampan, sayangnyaketampanannya itu telah terbiasa dinikmati para pria berkantong tebal.Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari ibunya semenjak kecil menyebabkanpria berhidung mancung dan berkulit putih itu merasa kesepian. Perasaan hampayang kian menyelubung jiwa ditambah kekecwaan yang dalam membuat dirinyadihantui rasa takut, minder dan tidak percaya diri. Untuk membalas semua itu ialalu meluapkan kekecewaannya dengan cara pergi dari rumah dan lebih memilihtidur di Mushalla. Semenjak ia sering tidur di Musholla itulah awal dirinyamulai digagahi oleh teman-temannya.