Mohon tunggu...
Ahmad Syaiful Hadi
Ahmad Syaiful Hadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Cuma manusia biasa yang mencoba mengeluarkan unek-unek dengan tulisan..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Zaman Edan di Kota Kita (Alih Wahana)

16 Juli 2024   21:34 Diperbarui: 16 Juli 2024   21:34 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tengah gemuruh suara demonstrasi yang menggema di jalan-jalan Jakarta. Aku duduk di meja kerja, menatap layar komputer yang penuh dengan berita konflik dan ketidakpastian akan kekuasaan. Berita dengan tulisan-tulisan besar, mulai dari kebobrokan kekuasaan politik, korupsi, kolusi, dan bahkan nepotisme. Sesuatu istilah yang sudah berhenti digaungkan pada masa Soeharto dijatuhkan. Semakin lama memandang layar, semakin terasa diri ini terjebak dalam pusaran zaman yang berputar tak ada akhir. Zaman informasi tersebar dengan cepat dan liar begitu memusingkan, berita hoax beredar seakan sudah normal dalam kehidupan internet Indonesia.

Sebelum lanjut. Aku Rian, Rian Bramantya. Seorang jurnalis muda di salah satu surat kabar terkemuka di Jakarta. Pekerjaan yang sudah aku impikan sejak masih duduk di bangku perkuliahan, terinspirasi dari pembicara workshop jurnalistik yang diadakan oleh komunitas jurnalistik mahasiswa di kampusku. Sejak saat itu kuniatkan diri ini menjadi pencari kebenaran dan pemberi informasi objektif kepada masyarakat. Namun, setelah beberapa bulan menjadi jurnalis, aku merasa bahwa sangat sulit untuk menetapkan hati dalam keadaan politik dan sosial yang semakin kacau tiap harinya. Aku frustrasi.

**

Pada suatu hari, aku mendengar berita burung bahwa salah satu redaktur di tempatku bekerja mendapat tekanan dari pihak-pihak atasan untuk mengubah narasi berita menjadi lebih sensasional dan menguntungkan bagi kelompok tertentu. Di awal aku tidak percaya akan berita tersebut, karena namanya saja berita burung. Burung, hewan yang jarang menetap di tempat yang sama, mencari kebahagiaan dan keramaian umpan di berbagai tempat. namun hal itu langsung jelas ketika Dina, seorang kolega kerja sesama jurnalis menghampiri meja ketika aku sedang menulis tentang penggusuran pedagang kaki lima dengan cara yang kurang tepat.

"Kenapa kamu begitu keras kepala, Ri? Ini semua tentang rating dan pendapatan. Sudahlah, kita harus menyesuaikan dengan permintaan pasar." Kata Dina yang memang terlihat lebih pragmatis dari diriku.

"Tapi, ini tidak benar Din. Kita harus menyampaikan kebenaran, bukan membelokkan fakta demi keuntungan. Bukankah kau sendiri sudah dengar apa yang disampaikan mas Malik dulu," jawabku tegas mengingatkan.

Konflik ini semakin hari semakin membuat berat udara dalam kantor. Hal ini juga berdampak pada informasi yang termuat dalam laman-laman berita, apalagi kanal kita termasuk yang terbesar di wilayah Jakarta. Aku semakin intens melihat banyak orang sekitar, termasuk teman-teman dekat dan keluarga, mulai terjebak dalam arus informasi yang menyesatkan. Semakin berasa juga rasa sepi dalam perjuangan mempertahankan integritas jurnalistik di tengah zaman yang penuh kebohongan dan manipulasi. Lebih terasa konflik ini dalam salah satu rapat redaksi, Aku yang merasa bahwa hal ini sudah semakin salah memberanikan diri untuk menyampaikan pendapat.

"Kita tidak dapat terus-menerus begini, menyesuaikan diri dengan tekanan eksternal. Kita punya tanggung jawab moral kepada pembaca untuk menyampaikan kebenaran." Tegasku dalam rapat yang sedari tadi dingin dan lembab.

Sudah tertebak, usaha itu sia-sia. Terlihat dari respons redaktur senior yang hanya menggelengkan kepala dan berkata. "Ri, kamu memang idealis. Tapi, dunia nyata tidak sesederhana itu, kita harus bertahan, dan ini caranya."

Kalimat pendek dengan nada datar menampar diri ini dengan rasa putus asa yang tertinggal hingga aku kembali ke rumah. Di rumah, aku berusaha merenungkan situasi ini, di meja kerja aku menjentikkan jari dengan irama acak-acak kan. Kulihat salah satu serat  yang tergeletak di depan mataku, serat yang kutemukan tempo hari di salah satu perpustakaan ketika ingin meriset tentang satu hal untuk berita. Serat Kalatidha, kuambil dan coba kubaca dengan pemahaman yang tipis dan putus-putus, ya walaupun sudah pernah hidup di Yogyakarta untuk empat tahun aku tak dapat mengerti bahasa Jawa dalam naskah ini sepenuhnya.

"Mangkya drajating praja, kawuryan wus sunya ruri, rurah pangreh ing ukara, karana tanpa palupi, ponang parameng kawi, kawileting tyas mulat kung, kongas kasudranira, tidhem tandhaning dumadi, ardayeng rat dening karoban rubeda."

Hari berikutnya Aku memutuskan untuk berlibur, melepas sebutan Jurnalis dari diri ini untuk beberapa saat dan menjadi manusia biasa. Kembalilah Aku ke kota yang telah membesarkanku, bukan secara lahiriah. Yogyakarta, tempat di mana aku belajar tentang semua hal dari mulai cara mengumpat dengan bahasa Jawa yang benar hingga memasak gudeg yang pas. Stasiun Malioboro, harum yang sama seperti tahun lalu, pijakan pertama kaki di kota ini teringat langsung salah satu guru yang punya tempat spesial di hatiku. Pak Arif, seorang sejarawan yang pernah menjadi dosen pembimbingku. Karena aku tahu dengan pasti, pak Arif akan selalu menerimaku di kota ini dan beliau juga dengan pasti punya nasihat yang dapat menerangi jalanku yang kian gelap dan buram akhir-akhir ini.

"Assalamualaikum, pak Arif. Saya merasa bingung akhir-akhir ini. terjebak dalam situasi yang tidak menentu. Saya bingung bagaimana mempertahankan integritas di tengah zaman ini?" tanyaku dengan beruntun seraya masuk ke tempat pak Arif duduk, seperti anak yang mengadu ke ibu saat kecil.

Pak Arif menengok dan tersenyum. "Ri, zaman edan bukanlah sesuatu yang baru. Seperti dalam salah satu tulisan Ranggawarsita. Dia sudah pernah mewarta pada kita tentang kebingungan dan ketidakpastian zaman. Namun, dia juga mengejarkan bahwa yang eling dan waspada akan lebih beruntung."

"Kamu harus tetap pada prinsipmu, meskipun sulit. Ingatlah, dalam setiap kekacauan, selalu ada peluang untuk melakukan kebaikan. Jangan biarkan dunia yang tidak menentu mengubah siapa dirimu sebenarnya."

Aku merenung seraya bingung akan kebetulan ini, pak Arif menyampaikan sesuatu dari Serat Kalatidha yang pernah kubaca. Dalam keteduhan mata pak Arif yang mulai ke abu-abuan, cahaya seperti menabrak kepalaku mencoba membangunkan harimau jurnalis yang sedang kusuruh tidur. Terpantik aku untuk menuliskan apa yang telah kudapatkan hari ini mengenai Serat Kalatidha, aku merasa bahwa ini dapat memberikan penerangan dan harapan, bahkan panduan kepada siapa yang membaca, seperti Aku.

**

Selepas dari Yogyakarta, di rooftop sebuah kafe dekat kantor. Menatap layar laptop untuk menunaikan janji kepada diri ketika di Yogyakarta.

"Kita hidup di zaman edan, di mana kebingungan dan ketidakpastian merajalela. Namun, seperti yang diajarkan oleh leluhur kita melalui Serat Kalatidha, mari kita tetap eling dan waspada. Hanya dengan kesadaran dan kewaspadaan, kita bisa menemukan jalan keluar dari kekacauan ini," tulisku disalah satu paragraf dalam artikel yang kupublish sore ini.

Berbagai respons dari pembaca mulai membanjiri kolom komentar. Saat aku sedang menikmati secangkir kopi susu dengan toping respons pembaca, Aku menerima sebuah pesan singkat dari nomor tidak dikenal. "Apakah kamu siap menghadapi kebenaran yang sebenarnya, Rian? Apa yang baru saja kamu temukan baru permulaan. Temui aku di tempat biasa besok pagi."

Jantungku berdegup kencang memandang teks pesan itu. Pesan yang mengandung misteri dan janji akan sesuatu yang lebih besar. Apakah yang dimaksud dengan "Kebenaran yang sebenarnya,"? dan siapa yang mengirim pesan itu? Yang aku tahu, bahwa pencarian dan pelajaran belum berakhir. Pertanyaan-pertanyaan baru telah muncul, siap untuk menantang diri ini untuk menggali lebih dalam.

Kusimpan ponsel dengan raut keheranan yang masih tersisa, langit Jakarta yang mulai oren pertanda sebentar lagi maghrib. Di tengah ketidakpastian zaman edan, satu hal yang pasti adalah perjalanan mencari kebenaran tak akan pernah berhenti. Kuhirup nafas dalam-dalam tanda siap untuk apa yang akan datang, penuh dengan pertanyaan dan antisipasi.

End...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun