Mohon tunggu...
Ahmad Syaiful Hadi
Ahmad Syaiful Hadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Cuma manusia biasa yang mencoba mengeluarkan unek-unek dengan tulisan..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Zaman Edan di Kota Kita (Alih Wahana)

16 Juli 2024   21:34 Diperbarui: 16 Juli 2024   21:34 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari berikutnya Aku memutuskan untuk berlibur, melepas sebutan Jurnalis dari diri ini untuk beberapa saat dan menjadi manusia biasa. Kembalilah Aku ke kota yang telah membesarkanku, bukan secara lahiriah. Yogyakarta, tempat di mana aku belajar tentang semua hal dari mulai cara mengumpat dengan bahasa Jawa yang benar hingga memasak gudeg yang pas. Stasiun Malioboro, harum yang sama seperti tahun lalu, pijakan pertama kaki di kota ini teringat langsung salah satu guru yang punya tempat spesial di hatiku. Pak Arif, seorang sejarawan yang pernah menjadi dosen pembimbingku. Karena aku tahu dengan pasti, pak Arif akan selalu menerimaku di kota ini dan beliau juga dengan pasti punya nasihat yang dapat menerangi jalanku yang kian gelap dan buram akhir-akhir ini.

"Assalamualaikum, pak Arif. Saya merasa bingung akhir-akhir ini. terjebak dalam situasi yang tidak menentu. Saya bingung bagaimana mempertahankan integritas di tengah zaman ini?" tanyaku dengan beruntun seraya masuk ke tempat pak Arif duduk, seperti anak yang mengadu ke ibu saat kecil.

Pak Arif menengok dan tersenyum. "Ri, zaman edan bukanlah sesuatu yang baru. Seperti dalam salah satu tulisan Ranggawarsita. Dia sudah pernah mewarta pada kita tentang kebingungan dan ketidakpastian zaman. Namun, dia juga mengejarkan bahwa yang eling dan waspada akan lebih beruntung."

"Kamu harus tetap pada prinsipmu, meskipun sulit. Ingatlah, dalam setiap kekacauan, selalu ada peluang untuk melakukan kebaikan. Jangan biarkan dunia yang tidak menentu mengubah siapa dirimu sebenarnya."

Aku merenung seraya bingung akan kebetulan ini, pak Arif menyampaikan sesuatu dari Serat Kalatidha yang pernah kubaca. Dalam keteduhan mata pak Arif yang mulai ke abu-abuan, cahaya seperti menabrak kepalaku mencoba membangunkan harimau jurnalis yang sedang kusuruh tidur. Terpantik aku untuk menuliskan apa yang telah kudapatkan hari ini mengenai Serat Kalatidha, aku merasa bahwa ini dapat memberikan penerangan dan harapan, bahkan panduan kepada siapa yang membaca, seperti Aku.

**

Selepas dari Yogyakarta, di rooftop sebuah kafe dekat kantor. Menatap layar laptop untuk menunaikan janji kepada diri ketika di Yogyakarta.

"Kita hidup di zaman edan, di mana kebingungan dan ketidakpastian merajalela. Namun, seperti yang diajarkan oleh leluhur kita melalui Serat Kalatidha, mari kita tetap eling dan waspada. Hanya dengan kesadaran dan kewaspadaan, kita bisa menemukan jalan keluar dari kekacauan ini," tulisku disalah satu paragraf dalam artikel yang kupublish sore ini.

Berbagai respons dari pembaca mulai membanjiri kolom komentar. Saat aku sedang menikmati secangkir kopi susu dengan toping respons pembaca, Aku menerima sebuah pesan singkat dari nomor tidak dikenal. "Apakah kamu siap menghadapi kebenaran yang sebenarnya, Rian? Apa yang baru saja kamu temukan baru permulaan. Temui aku di tempat biasa besok pagi."

Jantungku berdegup kencang memandang teks pesan itu. Pesan yang mengandung misteri dan janji akan sesuatu yang lebih besar. Apakah yang dimaksud dengan "Kebenaran yang sebenarnya,"? dan siapa yang mengirim pesan itu? Yang aku tahu, bahwa pencarian dan pelajaran belum berakhir. Pertanyaan-pertanyaan baru telah muncul, siap untuk menantang diri ini untuk menggali lebih dalam.

Kusimpan ponsel dengan raut keheranan yang masih tersisa, langit Jakarta yang mulai oren pertanda sebentar lagi maghrib. Di tengah ketidakpastian zaman edan, satu hal yang pasti adalah perjalanan mencari kebenaran tak akan pernah berhenti. Kuhirup nafas dalam-dalam tanda siap untuk apa yang akan datang, penuh dengan pertanyaan dan antisipasi.

End...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun