Mohon tunggu...
Syaiful Bahri
Syaiful Bahri Mohon Tunggu... wiraswasta -

Nasionalis religius,suka damai,memilih memberi karya daripada memberi janji, memotivasi dengan mengasah hati dan empati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengasah Hati Seorang Pemimpin

26 Juni 2018   16:22 Diperbarui: 26 Juni 2018   18:21 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernah aku mendengar sebuah kisah yang diceritakan kepadaku, tentang kisah Khalifah Umar bin Khatab. Suatu ketika khalifah Umar ingin mengetahui bagaimana keadaan rakyat yang dipimpinnya. Apakah semua rakyatnya sejahtera, tidak kelaparan dan bisa tidur nyenyak. Maka berangkatlah sang khalifah keliling desa memantau keadaan rakyatnya bersama salah seorang sahabatnya di waktu malam. Ketika sampai disuatu tempat, khalifah Umar mendengar suara tangis seorang anak disebuah rumah gubuk.

Mendengar suara tangisan yang memilukan dari seorang anak kecil. Sang Khalifah pun mendekati rumah gubuk itu. Khalifah Umar mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dari dalam gubuk terdengar suara langkah mendekat membuka pintu dan menjawab salam sang Khalifah. Terlihat oleh Khalifah seorang wanita separuh baya dengan raut wajah yang berkeringat. Kelihatan wajah yang lusu seakan sedang menanggung beban yang berat.

Dengan santun sang Khalifah bertanya, "Maaf ibu, mengapa anak ibu menangis?" tanya Khalifah Umar dengan suara lembut.

Wanita separuh baya ini tidak mengenali kalau orang yang bertanya kepadanya adalah Khalifah Umar bin Khatab. Dengan sedikit perasaan yang ditekan ibu itu menjawab,

 "Anak-anak saya menangis karena mereka sedang kelaparan dan menunggu masakan yang sedang saya masak," jawab sang ibu.

Lalu  si ibu meninggalkan begitu saja sang Khalifah. Ia sibuk dengan masakannya. Mengaduk-ngaduknya. Dan mempertahankan apinya agar tetap terus menyala. Sementara itu sang Khalifah bersama sahabatnya menunggu diluar gubuk.

Selang beberapa lama menunggu, Khalifah Umar masih terus mendengar suara tangis anak-anak si ibu. Hatinya tidak tahan mendengar suara tangisan yang terus menerus itu. lalu sang Khalifah mencoba kembali mendekati sang ibu dan bertanya kepadanya. Mengapa lama sekali masakan itu masak? Fikir sang Khalifah.

"Maaf ibu, kalau saya boleh tahu masakan apakah yang sedang ibu masak buat anak-anak ibu itu?" tanya Khalifah Umar dengan sedikit penasaran.

Dengan sedikit acuh. Sang ibu menjawab pertanyaan Khalifah.

"Lihat saja sendiri!" katanya dengan nada suara yang tinggi.

Khalifah Umar sangat terkejut ketika ia melihat di tungku perapian, di atas sebuah kuali, di dalamnya sang ibu sedang merebus batu-batu kerikil. Sang Khalifah geram dan ingin mencoba marah tapi ia menahannya. Kemudian ia kembali bertanya kepada sang ibu.

"Kenapa ibu merebus batu-batu itu di dalam kuali?"

"Saya melakukannya karena tidak lagi memiliki persediaan makanan di dalam rumah. Saya sengaja memasak batu-batu itu untuk menghibur hati anak-anak saya. Hingga mereka tertidur. Tapi karena rasa lapar yang tidak tertahan. Mereka menangis terus menerus," jawab sang ibu.

 Kemudian sang ibu melanjutkan kata-katanya, "Ini semua karena Khalifah Umar tidak memperhatikan rakyatnya dengan baik. Ia tidak layak dan tak pantas menjadi seorang Pemimpin," kata sang ibu dengan nada marah.

Mendengar kata-kata sang ibu. Sahabat yang bersama sang Khalifah ingin menegurnya. Tapi ditahan oleh Khalifah Umar. Ia pun pergi meninggalkan ibu itu. sembari marah dengan dirinya sendiri dan menyesalinya. Seharusnya hal ini tidak boleh terjadi.

Hingga kisah ini berakhir diceritakan kepadaku. Sang Khalifah Umar malam itu juga memikul sendiri makanan dan kebutuhan untuk sang ibu dan keluarganya. Karena ia merasa bertanggung jawab atas hal itu.  Ia sangat takut kepada Allah bila nanti ditanyakan kepadanya bagaimana nasib rakyat yang dipimpinnya.

*

Mendengar kisah itu, aku mencoba untuk merenunginya. Pelajaran apa yang bisa aku dapatkan dari seorang Umar bin Khatab. Dalam literature Islam, Umar bin Khatab adalah Khalifah ke dua setelah Abu bakar Siddiq, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, dalam menjalankan roda kekhalifahan di dunia islam. Khalifah Umar dikenal dengan keberanian dan ketegasannya. Tapi di satu sisi Khalifah Umar adalah sosok seorang Khalifah yang mudah tersentuh hatinya. Ia tidak akan pernah membiarkan ketidak adilan dihadapannya.

Sosok-sosok Umar bin Khatab inilah yang saat sekarang ini sedang ditunggu-tunggu. Bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki hati yang peka. Ia mau mendengar, melihat dan bertindak. Dan mengakui kesalahannya. Ia hanya takut kepada Allah. Kepada Tuhan yang diyakininya.

Seorang pemimpin tidak akan pernah bisa tidur nyenyak sebelum melihat rakyatnya tidur tanpa kelaparan dan rasa takut.

Seorang pemimpin akan selalu risau dan memikirkan nasib rakyatnya di sepanjang waktu. Di saat yang lain sedang istirahat dan tertidur ia terus bekerja. Tak memikirkan apakah yang dilakukannya dilihat rakyatnya atau tidak.

 Seorang pemimpin tidak mengharapkan pujian dari rakyatnya. Ia hanya memikirkan untuk mensejahterakan nasib rakyatnya.

Seorang pemimpin tidak mengambil dari rakyatnya. Tapi ia memikul tanggung jawabnya sendiri. Ia akan merasakan bahagia bila rakyatnya terpenuhi kebutuhan hidupnya dan bisa hidup sejahtera.

Sikap-sikap seperti itulah yang diperlukan bagi seorang pemimpin. Pemimpin bisa dekat dengan rakyat yang dipimpinya. Seorang pemimpin tahu kebutuhan-kebutuhan rakyat yang dipimpinnya dan memenuhinya.

Seorang pemimpin tidak akan pernah marah bila dikritik bahkan dicela oleh rakyatnya.

Seorang pemimpin akan semakin terasah hatinya, bila mampu merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Karena seorang pemimpin tidak akan pernah membiarkan seorang rakyatnya pun menderita.

Wassalam.

Syaiful Bahri 

Suara Menara Qalbu (SMQ)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun