Sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan mekanisme yang pernah diterapkan di Indonesia sebelum peralihan ke sistem pemilihan langsung. Dalam wacana publik, sistem ini sering dikritik karena dianggap membuka peluang besar bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Artikel ini akan mengupas berbagai potensi korupsi dalam sistem tersebut, faktor-faktor yang memengaruhinya, serta implikasi yang ditimbulkan.
1. Sistem Pemilihan yang Rentan terhadap Transaksi Politik
Dalam mekanisme pemilihan oleh DPRD, jumlah pemilih terbatas pada anggota legislatif daerah. Kondisi ini menciptakan peluang besar bagi kandidat untuk melakukan pendekatan personal atau bahkan transaksi politik, seperti pemberian uang, hadiah, atau janji jabatan kepada anggota DPRD.
Transaksi semacam ini dapat terjadi karena:
- Keterbatasan pengawasan: Proses pemilihan internal DPRD sering kali tidak terbuka untuk publik. Kurangnya transparansi ini mempermudah terjadinya praktik korupsi.
- Kebergantungan kandidat pada DPRD: Kandidat yang tidak memiliki basis massa besar cenderung lebih fokus pada upaya memenangkan dukungan legislatif melalui cara-cara yang tidak etis.
2. Kolusi Antara Kepala Daerah dan DPRD
Setelah terpilih melalui DPRD, kepala daerah sering kali memiliki utang politik kepada anggota DPRD yang mendukungnya. Situasi ini dapat menciptakan hubungan yang tidak sehat antara eksekutif dan legislatif, di mana keputusan-keputusan strategis pemerintah daerah lebih berorientasi pada kepentingan politik tertentu dibandingkan kepentingan publik.
Implikasi dari kolusi ini mencakup:
- Proyek-proyek fiktif: Pengadaan barang dan jasa yang dirancang untuk mengakomodasi kepentingan anggota DPRD pendukung kepala daerah.
- Alokasi anggaran yang tidak proporsional: Anggaran daerah dapat diarahkan untuk mendukung program-program yang menguntungkan kelompok tertentu, tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
3. Pelemahan Akuntabilitas Publik
Dalam sistem pemilihan langsung, kepala daerah bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilihnya. Namun, dalam sistem pemilihan oleh DPRD, akuntabilitas ini beralih kepada legislatif. Hal ini dapat melemahkan pengawasan dari masyarakat terhadap kebijakan kepala daerah.
Dampak pelemahan akuntabilitas ini antara lain:
- Minimnya partisipasi masyarakat: Ketika masyarakat merasa tidak memiliki andil dalam memilih pemimpin, kontrol publik terhadap jalannya pemerintahan menjadi berkurang.
- Peningkatan penyalahgunaan wewenang: Kepala daerah yang tidak merasa bertanggung jawab kepada rakyat cenderung lebih bebas membuat keputusan yang merugikan masyarakat.
4. Penguatan Politik Uang di Tingkat Lokal