Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Mengapa Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD Menjadi Isu Kontroversial?

3 Januari 2025   05:55 Diperbarui: 3 Januari 2025   05:55 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu elemen penting dalam demokrasi. Di Indonesia, sejak bergulirnya era reformasi, mekanisme pemilihan kepala daerah telah mengalami perubahan signifikan, beralih dari sistem pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Namun, belakangan ini muncul kembali wacana untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Perdebatan ini menimbulkan berbagai reaksi dan memunculkan pertanyaan: mengapa isu ini menjadi begitu kontroversial?

Artikel ini akan membahas akar kontroversi, kelebihan dan kekurangan sistem pemilihan oleh DPRD, serta dampaknya terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan di Indonesia.

Sejarah Singkat Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia

Sebelum reformasi, pemilihan kepala daerah di Indonesia dilakukan oleh DPRD. Sistem ini berlangsung selama bertahun-tahun di bawah rezim Orde Baru, di mana kepala daerah lebih sering dipilih berdasarkan rekomendasi elite politik daripada aspirasi masyarakat luas. Reformasi pada akhir 1990-an membawa perubahan besar dengan memperkenalkan sistem pemilihan langsung.

Pemilu langsung dianggap sebagai tonggak demokrasi baru karena memberikan kesempatan kepada rakyat untuk secara langsung memilih pemimpin mereka. Namun, setelah lebih dari dua dekade diterapkan, muncul kritik terhadap sistem ini, seperti tingginya biaya politik, potensi politik uang, dan konflik horizontal di tingkat lokal. Akibatnya, sebagian pihak mengusulkan untuk kembali ke sistem lama, yakni pemilihan oleh DPRD.

Akar Kontroversi

1. Legitimasi Demokrasi

Pemilihan langsung dianggap sebagai pilar utama demokrasi karena memberikan hak kepada rakyat untuk menentukan pemimpinnya. Kembali ke pemilihan oleh DPRD dikhawatirkan akan mengurangi legitimasi demokrasi, karena keputusan pemilihan berada di tangan segelintir orang.

Namun, pendukung pemilihan oleh DPRD berargumen bahwa sistem ini dapat mengurangi pengaruh politik uang di kalangan masyarakat luas. Sebaliknya, kritik terhadap sistem ini menyoroti risiko praktik transaksional antar-elite politik yang berpotensi merusak integritas proses pemilihan.

2. Efisiensi Biaya

Salah satu alasan utama diusulkan kembalinya sistem pemilihan oleh DPRD adalah efisiensi biaya. Pemilu langsung membutuhkan dana yang besar, termasuk untuk logistik, keamanan, dan kampanye politik. Di sisi lain, pemilihan oleh DPRD jauh lebih hemat karena hanya melibatkan anggota legislatif.

Namun, efisiensi biaya ini sering kali dipandang mengorbankan partisipasi masyarakat dalam demokrasi. Rakyat kehilangan hak mereka untuk memilih secara langsung, yang dapat menciptakan rasa keterputusan antara masyarakat dan kepala daerah yang terpilih.

3. Potensi Konflik Sosial

Pemilu langsung sering kali memicu konflik horizontal di masyarakat, terutama di daerah dengan tingkat rivalitas politik yang tinggi. Konflik ini dapat berdampak negatif pada stabilitas sosial dan keamanan. Sistem pemilihan oleh DPRD dianggap dapat meminimalkan risiko ini, karena prosesnya lebih tertutup dan terfokus di kalangan elite.

Namun, sifat tertutup ini juga menjadi kritik utama, karena mengurangi transparansi dan akuntabilitas proses pemilihan.

4. Akuntabilitas Kepala Daerah

Pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat cenderung memiliki akuntabilitas lebih tinggi terhadap masyarakat. Mereka dituntut untuk memenuhi janji kampanye dan bekerja demi kepentingan publik. Sebaliknya, kepala daerah yang dipilih oleh DPRD berisiko lebih bertanggung jawab kepada anggota legislatif yang memilihnya daripada kepada rakyat.

Hal ini memunculkan kekhawatiran tentang potensi korupsi dan kepentingan politik sempit yang dapat memengaruhi kebijakan pemerintah daerah.

Kelebihan dan Kekurangan Pemilihan oleh DPRD

Sistem pemilihan oleh DPRD memiliki sejumlah kelebihan dan kekurangan yang perlu dipertimbangkan secara mendalam:

Kelebihan

  1. Efisiensi Biaya: Proses yang lebih sederhana mengurangi kebutuhan anggaran besar.
  2. Minim Konflik Horizontal: Rivalitas politik di masyarakat dapat ditekan.
  3. Peningkatan Profesionalisme: Dengan pengawasan yang tepat, DPRD dapat memilih kandidat berdasarkan kompetensi, bukan popularitas.

Kekurangan

  1. Kurangnya Partisipasi Rakyat: Masyarakat kehilangan hak untuk memilih secara langsung.
  2. Potensi Politik Transaksional: Proses pemilihan di DPRD rawan terhadap praktik korupsi dan lobi politik.
  3. Akuntabilitas yang Rendah: Kepala daerah cenderung lebih bertanggung jawab kepada DPRD daripada kepada rakyat.

Dampak pada Demokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan

Kembali ke sistem pemilihan oleh DPRD dapat membawa dampak signifikan pada demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Di satu sisi, sistem ini menawarkan efisiensi dan potensi stabilitas politik yang lebih tinggi. Di sisi lain, risiko menurunnya legitimasi politik dan partisipasi masyarakat menjadi tantangan besar.

Tata kelola pemerintahan yang baik membutuhkan pemimpin yang memiliki integritas, kompetensi, dan komitmen untuk melayani rakyat. Sistem pemilihan yang diterapkan harus mampu menghasilkan pemimpin dengan karakteristik tersebut, tanpa mengorbankan nilai-nilai demokrasi.

Mencari Solusi yang Berimbang

Daripada memilih salah satu sistem secara absolut, mungkin lebih bijaksana untuk mencari solusi yang menggabungkan kelebihan kedua sistem. Misalnya:

  1. Mekanisme Seleksi Berlapis: Calon kepala daerah dapat diseleksi terlebih dahulu berdasarkan kompetensi oleh panel independen sebelum diajukan ke DPRD atau masyarakat.
  2. Penguatan Pengawasan: Baik dalam pemilu langsung maupun oleh DPRD, pengawasan yang ketat diperlukan untuk meminimalkan praktik korupsi dan politik uang.
  3. Peningkatan Edukasi Politik: Masyarakat dan anggota DPRD perlu diberdayakan untuk memahami pentingnya memilih pemimpin yang kompeten dan berintegritas.

Pemilihan kepala daerah oleh DPRD menjadi isu kontroversial karena menyentuh inti dari demokrasi itu sendiri: siapa yang memiliki hak untuk memilih pemimpin. Di satu sisi, sistem ini menawarkan efisiensi dan stabilitas, tetapi di sisi lain, berisiko mengurangi partisipasi masyarakat dan legitimasi demokrasi.

Dalam demokrasi yang matang, perdebatan ini bukan hanya tentang memilih mekanisme terbaik, tetapi juga tentang bagaimana memperkuat tata kelola pemerintahan dan memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat. Oleh karena itu, solusi yang inklusif, transparan, dan berorientasi pada kepentingan rakyat menjadi langkah terbaik untuk menjawab kontroversi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun