Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan momen penting dalam demokrasi, di mana masyarakat berpartisipasi langsung menentukan pemimpin mereka. Namun, wacana mengenai pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat dalam beberapa tahun terakhir. Ada pihak yang menganggap mekanisme ini lebih efisien, sementara yang lain menilai langkah tersebut dapat melemahkan demokrasi. Dari perspektif ilmu ekonomi, analisis terhadap mekanisme ini memberikan sudut pandang yang menarik tentang efisiensi, biaya, dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat.
1. Efisiensi dalam Penggunaan Anggaran
Salah satu argumen utama pendukung pilkada melalui DPRD adalah efisiensi anggaran. Proses pemilu langsung membutuhkan dana besar, mulai dari logistik hingga pengamanan. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), anggaran pilkada langsung di beberapa daerah dapat mencapai ratusan miliar rupiah. Dalam sistem DPRD, proses pemilihan hanya melibatkan anggota dewan yang jumlahnya terbatas, sehingga biaya penyelenggaraan dapat diminimalkan.
Namun, perspektif ekonomi tidak hanya memandang efisiensi dalam bentuk penghematan anggaran. Pertanyaan penting lainnya adalah: Apakah penghematan ini sebanding dengan potensi dampak negatif, seperti pengurangan akuntabilitas pemimpin kepada masyarakat? Pemimpin yang dipilih melalui DPRD cenderung lebih terikat pada kepentingan partai atau kelompok tertentu, bukan pada konstituen yang lebih luas.
2. Risiko Ekonomi dari Potensi Korupsi
Dalam konteks pilkada oleh DPRD, risiko korupsi dan praktik politik uang menjadi perhatian serius. Mekanisme ini menciptakan peluang bagi transaksi politik antara calon kepala daerah dan anggota dewan. Dari sudut pandang ekonomi, korupsi dapat meningkatkan biaya sosial dan mengurangi efisiensi alokasi sumber daya. Misalnya, anggaran publik yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan atau kesehatan dapat disalahgunakan untuk membayar "kompensasi" politik.
Studi ekonomi menunjukkan bahwa korupsi memiliki dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi daerah. Ketika kepala daerah terpilih lebih mengutamakan balas budi politik, kebijakan pembangunan dapat kehilangan orientasi pada kebutuhan masyarakat.
3. Dampak terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Pemilu langsung memungkinkan masyarakat menjadi bagian dari proses demokrasi secara langsung, yang seringkali meningkatkan rasa memiliki terhadap pemerintahan. Hal ini memiliki nilai intrinsik yang sulit diukur secara kuantitatif tetapi berdampak besar pada stabilitas sosial dan politik. Dalam perspektif ilmu ekonomi, stabilitas politik adalah prasyarat penting bagi investasi dan pembangunan ekonomi.
Sebaliknya, mekanisme pemilihan oleh DPRD dapat menciptakan alienasi politik di tingkat masyarakat. Ketika masyarakat merasa tidak memiliki kendali terhadap pemimpin mereka, kepercayaan terhadap institusi publik dapat menurun. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat partisipasi warga dalam kegiatan ekonomi produktif karena adanya ketidakpastian regulasi dan kebijakan.
4. Analisis Teori Pilihan Publik (Public Choice)
Teori pilihan publik, yang dikembangkan oleh ekonom seperti James Buchanan, relevan dalam menganalisis mekanisme pemilihan kepala daerah. Teori ini berargumen bahwa politisi dan birokrat, layaknya individu lain, bertindak berdasarkan kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam konteks ini, anggota DPRD yang memiliki kekuasaan untuk memilih kepala daerah cenderung memprioritaskan kepentingan politiknya sendiri dibandingkan kesejahteraan masyarakat.
Mekanisme pilkada langsung, meskipun memiliki kelemahan, memberikan insentif bagi calon pemimpin untuk merespons kebutuhan masyarakat luas demi memperoleh suara. Sebaliknya, pilkada oleh DPRD berisiko menciptakan insentif yang lebih sempit, yaitu hanya untuk memuaskan segelintir anggota dewan.
5. Implikasi Kebijakan
Dari perspektif ekonomi, keputusan untuk memilih mekanisme pilkada oleh DPRD atau langsung seharusnya mempertimbangkan trade-off antara efisiensi biaya dan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ideal adalah yang mampu mengombinasikan efisiensi anggaran tanpa mengorbankan transparansi dan akuntabilitas.
Misalnya, pemerintah dapat mempertimbangkan opsi reformasi pilkada langsung untuk menekan biaya tanpa menghilangkan esensi partisipasi masyarakat. Teknologi seperti e-voting dapat menjadi solusi untuk mengurangi pengeluaran tanpa mengurangi legitimasi demokrasi.
Analisis pilkada oleh DPRD dari perspektif ilmu ekonomi menunjukkan bahwa mekanisme ini memang menawarkan efisiensi anggaran, tetapi memiliki risiko besar terhadap transparansi, akuntabilitas, dan stabilitas politik. Efisiensi ekonomi bukan hanya soal penghematan biaya, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan tersebut meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, jika wacana ini ingin diterapkan, perlu ada reformasi sistem politik yang memastikan pengawasan ketat terhadap potensi korupsi dan praktik politik uang. Bagaimanapun, kepala daerah yang terpilih harus tetap menjadi representasi aspirasi rakyat, bukan sekadar hasil kesepakatan politik sempit. Sebab, dalam ekonomi maupun demokrasi, rakyat adalah pusat dari segala keputusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H