Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Membedah Kabinet Gemuk, Inikah Harga yang Harus Dibayar atas Nama Stabilitas?

16 Oktober 2024   20:36 Diperbarui: 16 Oktober 2024   20:37 0
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari sudut pandang manajemen pemerintahan, kabinet ramping mungkin terlihat lebih sederhana dan fokus. Dengan lebih sedikit kementerian, proses pengambilan keputusan diharapkan lebih cepat dan terkoordinasi dengan baik. Setiap menteri memiliki tugas yang lebih luas, dan lintas kementerian dapat bekerja secara lebih terarah.

Namun, pandangan ini bisa menyesatkan jika tidak didukung dengan manajemen yang efektif. Kabinet ramping bisa berarti tumpukan tanggung jawab pada segelintir orang, yang berpotensi menciptakan overload pekerjaan dan mengurangi kualitas output kebijakan. Menteri yang bertanggung jawab atas banyak sektor mungkin kesulitan untuk memprioritaskan masalah yang berbeda-beda, terutama dalam menghadapi krisis atau keadaan darurat yang memerlukan perhatian khusus.

Misalnya, dalam situasi pandemi COVID-19, menteri yang harus menangani sektor kesehatan sekaligus ekonomi mungkin kesulitan menyeimbangkan prioritas di antara kedua isu ini. Sektor kesehatan memerlukan kebijakan cepat dan berbasis bukti, sementara sektor ekonomi memerlukan solusi jangka panjang yang dapat menjaga kestabilan finansial negara. Jika terlalu banyak beban pada satu kementerian, fokus dapat hilang, dan kebijakan yang dihasilkan menjadi tidak optimal.

Dalam konteks ini, kabinet ramping tidak selalu otomatis menjadi lebih fokus atau efisien. Sebaliknya, fokus dapat hilang jika beban kerja terlalu besar dan manajemen tidak didukung oleh sistem yang kuat.

Perspektif Politik: Fleksibilitas atau Ketegangan?

Secara politik, kabinet ramping sering kali dipuji karena lebih mudah dikelola. Presiden atau kepala negara memiliki lebih sedikit menteri untuk diajak berdiskusi atau dikendalikan, yang berarti potensi konflik antar menteri bisa diminimalisir. Kabinet yang lebih kecil juga memberikan citra pemerintahan yang sederhana, transparan, dan anti pemborosan, yang sering kali menarik dukungan dari masyarakat.

Namun, di negara demokrasi dengan sistem multipartai seperti Indonesia, kabinet ramping bisa memunculkan tantangan politik yang tidak terduga. Dalam konteks politik koalisi, kabinet yang lebih kecil berarti lebih sedikit posisi yang dapat didistribusikan kepada partai-partai pendukung. Hal ini bisa memicu ketegangan politik di dalam koalisi, terutama jika ada partai-partai yang merasa tidak terwakili secara adil.

Ketegangan politik ini bisa berdampak pada stabilitas pemerintahan. Partai-partai yang merasa tersisih mungkin menjadi oposisi internal yang merongrong kebijakan pemerintah, atau bahkan mengancam untuk keluar dari koalisi. Di sisi lain, kabinet yang lebih besar menawarkan ruang lebih bagi presiden untuk menjaga keseimbangan politik dengan mengakomodasi berbagai kepentingan. Dengan demikian, meski kabinet ramping terlihat lebih efisien secara politik, kenyataannya bisa menciptakan ketegangan yang justru menghambat kerja pemerintahan.

Efektivitas dalam Pelaksanaan Kebijakan

Efisiensi kabinet ramping sering kali diuji dalam pelaksanaan kebijakan. Dengan jumlah kementerian yang lebih sedikit, diharapkan adanya koordinasi yang lebih baik dan implementasi kebijakan yang lebih cepat. Namun, dalam praktiknya, hal ini tidak selalu terjadi.

Penggabungan beberapa kementerian ke dalam satu entitas sering kali menciptakan tantangan birokrasi baru. Struktur organisasi yang lebih besar di dalam satu kementerian bisa memperlambat proses pengambilan keputusan karena alur birokrasi yang lebih kompleks. Selain itu, koordinasi antar sektor yang berbeda dalam satu kementerian sering kali menjadi tantangan tersendiri, terutama jika kementerian tersebut harus menangani isu-isu yang sangat berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun