Naskah Teater: "Berlian yang Tidak Pecah"
Tema: Diamond Wedding Opa Tjiptadinata Effendi dan Oma Roselina Tjiptadinata
Tokoh:
- Opa Tjiptadinata Effendi -- Seorang pria bijak, berusia 85 tahun, dengan hati yang besar dan penuh kasih.
- Oma Roselina Tjiptadinata -- Istrinya, berusia 82 tahun, lemah lembut namun kuat dalam menjalani kehidupan.
- Raka -- Cucu sulung mereka, seorang pemuda berusia 30 tahun, sedang mencari makna dalam cinta dan kehidupan.
- Intan -- Putri mereka, berusia 50 tahun, seorang wanita karier yang sedang mempertanyakan jalan hidupnya.
- Narator -- Suara puitis yang memandu cerita, kadang muncul sebagai bayangan dari kenangan masa lalu.
Setting: Sebuah ruang tamu yang hangat dan penuh kenangan, dengan foto-foto keluarga tergantung di dinding, dan sebuah kursi goyang tua di sudut ruangan. Di tengah ruangan, sebuah meja bundar dengan taplak berenda, di atasnya terletak kotak perhiasan yang terbuka, memperlihatkan berlian indah yang berkilau.
Adegan 1: Kilasan Waktu
(Lampu menyala pelan, menunjukkan Opa Tjiptadinata Effendi sedang duduk di kursi goyangnya. Di sampingnya, Oma Roselina duduk dengan tenang di kursi berlapis beludru. Raka dan Intan berdiri di belakang mereka, dengan wajah serius. Narator berdiri di sisi panggung, mulai berbicara dengan nada puitis.)
Narator: Dalam riak waktu, di ujung usia yang senja,
Tersembunyi kisah cinta yang tak retak oleh badai.
Berlian ini, bukan sekadar permata,
Ia adalah hati yang ditempa oleh api dan sabar,
Tersimpan dalam kenangan, tak pernah pudar.
(Narator berjalan ke arah kotak perhiasan, lalu berhenti dan menatap berlian yang terletak di dalamnya.)
Narator: Lihatlah permata ini,
Ia bersinar, meski telah menempuh jalan panjang,
Dan dalam kilaunya, ada cerita yang tersembunyi,
Cerita tentang dua jiwa yang berpadu,
Tak pernah retak, meski waktu mencoba merenggut.
Intan (mendekati meja, melihat berlian): "Ibu, Ayah, apa yang membuat berlian ini begitu berharga? Apakah ini karena harganya yang tinggi atau karena usianya yang panjang?"
Opa Tjiptadinata (tersenyum tipis, memandang Intan): "Tidak, Nak. Berlian ini tidak berharga karena apa yang terlihat dari luar, tetapi karena apa yang ia lalui. Batu mentah, dipahat oleh waktu, diukir oleh tangan alam, dan ditekan dengan kekuatan yang luar biasa. Begitulah cintamu akan diuji."
Oma Roselina (menatap Opa dengan lembut): "Cinta kita, seperti berlian itu. Ia lahir dari kesabaran dan keberanian. Kita telah melalui badai, kehilangan, kebahagiaan, dan tangis. Namun, di setiap retak yang mungkin muncul, kita mengisinya dengan harapan."
Adegan 2: Kenangan di Bawah Kilauan
(Narator kembali muncul, berjalan pelan ke tengah panggung.)
Narator: Dua hati, disatukan oleh waktu,
Tidak pernah mengeluh dalam derita,
Mereka tahu, badai adalah bagian dari perjalanan,
Dan dalam setiap langkah, cinta itu menguat.
Raka (mengambil kotak perhiasan dan menatap berlian di dalamnya): "Aku sering mendengar kisah cinta kalian, Opa, Oma. Tapi di dunia yang serba cepat ini, apakah cinta yang seperti itu masih mungkin? Bagaimana bertahan dalam tekanan?"
Opa Tjiptadinata (mengambil nafas dalam): "Kau tahu, Nak, tekanan bukanlah musuh. Ia adalah penguji ketulusan hati. Seperti berlian yang tercipta dari tekanan bumi, cinta yang sejati tidak akan pecah hanya karena cobaan. Jika kau mencintai dengan sepenuh hati, tekanan justru memperkuat, bukan menghancurkan."
Oma Roselina (memandang Raka dengan senyum lembut): "Tekanan itu, Raka, adalah ujian. Ujian tentang seberapa jauh kau siap memberi tanpa pamrih. Cinta bukan tentang selalu menerima, tetapi tentang bertahan, meski kau merasa tak lagi mampu. Di situlah cinta menemukan kilau sejatinya."
Adegan 3: Berlian Tak Pecah
(Lampu menyala lebih terang, menyoroti Opa dan Oma yang sekarang duduk saling berhadapan, menggenggam tangan masing-masing. Intan dan Raka berdiri di dekat mereka, mata mereka terfokus pada berlian yang berkilau.)
Intan: "Aku kini mengerti, Ayah, Ibu. Berlian ini bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang kesabaran. Tentang bagaimana dua hati yang saling mencintai dapat bertahan, bahkan ketika dunia di sekitarnya hancur."
Opa Tjiptadinata: "Kau benar, Nak. Berlian ini adalah simbol dari apa yang telah kita bangun. Kami tidak sempurna, kami tidak selalu kuat. Namun, setiap retak, setiap patah, kami tambal dengan cinta."
Oma Roselina (menyeka air mata haru): "Kau, Raka, dan juga kau, Intan, akan menemukan berlianmu sendiri. Mungkin tidak sekarang, tapi suatu hari nanti. Dan ketika kau menemukannya, ingatlah bahwa ia akan diuji. Jangan takut ketika tekanan datang. Itu hanya akan membuatnya bersinar lebih terang."
Adegan 4: Warisan Cinta
(Narator melangkah maju sekali lagi, kali ini dengan nada penuh harapan.)
Narator: Dalam diam, mereka tinggalkan warisan,
Bukan harta, bukan benda,
Melainkan cinta yang tak pernah retak,
Seperti berlian yang bersinar selamanya.
(Lampu pelan-pelan mulai meredup, meninggalkan Opa dan Oma dalam cahaya lembut. Mereka masih saling menggenggam tangan, sementara Intan dan Raka memandang dengan penuh rasa hormat.)
Raka: "Opa, Oma, terima kasih atas cinta ini. Kalian adalah berlian yang tak pernah pecah. Aku akan mengingat setiap pelajaran yang kalian berikan, setiap kilauan yang ada dalam hidup kalian."
Oma Roselina: "Dan berlian ini, Nak, adalah lambang cinta kami yang abadi. Ia tidak pecah oleh waktu, dan ia akan terus bersinar, bahkan setelah kami tiada."
(Cahaya memudar sepenuhnya, meninggalkan panggung dalam kegelapan yang tenang, hanya menyisakan kilauan berlian di atas meja.)
Epilog: Cinta yang Tak Terbatas
Narator: Dalam setiap cinta yang sejati,
Ada berlian yang tak pernah retak,
Ia hidup, meski waktu memudar,
Ia bersinar, meski dunia hancur.
Dan cinta Opa Tjiptadinata dan Oma Roselina,
Adalah berlian yang akan terus bersinar,
Untuk selamanya, dalam hati kita semua.
(Tirai perlahan turun, menutup kisah cinta yang tak akan pernah padam.)
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H