Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sistem Ekonomi Indonesia (125): Menuju Ekonomi Hijau?

8 September 2024   19:08 Diperbarui: 8 September 2024   19:16 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsep Ekonomi Hijau dan Sistem Ekonomi Suatu Negara: Menuju Pertumbuhan Berkelanjutan

Pergeseran paradigma ekonomi global tidak dapat dilepaskan dari kesadaran akan dampak lingkungan yang semakin signifikan. Konsep ekonomi hijau hadir sebagai solusi yang mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan. Namun, bagaimana sistem ekonomi suatu negara dapat beradaptasi dengan konsep ini? Dan bagaimana konsep ekonomi hijau membentuk ulang struktur ekonomi suatu negara secara keseluruhan?

Definisi Ekonomi Hijau

Ekonomi hijau adalah model ekonomi yang berfokus pada pengurangan emisi karbon, peningkatan efisiensi sumber daya, serta mendorong inklusi sosial dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (OECD, 2011). Berbeda dengan model ekonomi tradisional yang menekankan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebagai ukuran utama kemajuan, ekonomi hijau memprioritaskan keseimbangan antara kemajuan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan sosial.

Sistem ekonomi hijau mencakup berbagai sektor, mulai dari energi terbarukan, efisiensi energi, hingga manajemen limbah. Dalam penerapannya, ekonomi hijau tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek tetapi juga pada keberlanjutan jangka panjang, mengatasi tantangan seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan ketimpangan sosial (Pearce, 1989).

Perbandingan dengan Sistem Ekonomi Konvensional

Dalam sistem ekonomi konvensional, keberhasilan sering diukur melalui output produksi, konsumsi, dan pertumbuhan PDB tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan. Sebagai contoh, ekonomi neoklasik yang sering diterapkan oleh banyak negara, menitikberatkan pada alokasi sumber daya secara efisien melalui mekanisme pasar bebas (Samuelson, 1948). Namun, pendekatan ini mengabaikan biaya eksternal seperti polusi dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.

Sebaliknya, ekonomi hijau memperhitungkan "biaya eksternal" tersebut dan mendorong transisi menuju produksi yang lebih berkelanjutan. Pada ekonomi neoklasik, sumber daya alam sering dianggap sebagai faktor yang dapat dieksploitasi selama masih tersedia. Namun, dalam ekonomi hijau, sumber daya alam diperlakukan sebagai komponen inti yang harus dijaga kelestariannya agar dapat mendukung kehidupan generasi mendatang (Jackson, 2009).

Konsep ini kemudian bersinggungan dengan teori ekonomi pembangunan berkelanjutan yang menekankan bahwa kemajuan ekonomi tidak boleh merusak lingkungan atau merugikan kepentingan sosial. Teori ini sangat berbeda dari pandangan tradisional yang lebih menekankan aspek kuantitatif dari pertumbuhan, seperti peningkatan pendapatan atau produksi industri.

Penerapan Ekonomi Hijau di Berbagai Sistem Ekonomi

Setiap negara memiliki sistem ekonomi yang berbeda, yang tentunya memengaruhi bagaimana konsep ekonomi hijau dapat diterapkan. Di dunia, sistem ekonomi dapat dibagi menjadi tiga kategori besar: kapitalisme, sosialisme, dan ekonomi campuran. Bagaimana masing-masing sistem ini mengakomodasi konsep ekonomi hijau?

  1. Ekonomi Kapitalis
    Sistem ekonomi kapitalis berfokus pada pasar bebas, di mana produksi dan distribusi barang serta jasa diatur oleh kekuatan pasar. Dalam ekonomi ini, konsep ekonomi hijau dapat diterapkan melalui mekanisme pasar, misalnya dengan memberikan insentif kepada perusahaan yang beralih ke energi terbarukan atau teknologi ramah lingkungan. Di Amerika Serikat, kebijakan seperti tax credits untuk energi terbarukan telah mendorong perusahaan-perusahaan untuk beralih ke ekonomi hijau. Namun, karena kapitalisme sering kali berfokus pada keuntungan jangka pendek, ada tantangan besar dalam mengintegrasikan tujuan jangka panjang dari ekonomi hijau ke dalam kerangka kapitalis yang kompetitif.
  2. Ekonomi Sosialis
    Dalam sistem ekonomi sosialis, di mana negara memiliki kontrol penuh atas sumber daya dan produksi, penerapan ekonomi hijau sering kali lebih mudah diimplementasikan. Negara-negara dengan ekonomi sosialis atau ekonomi terencana, seperti Cina, memiliki kemampuan untuk mengarahkan kebijakan nasional menuju pembangunan berkelanjutan secara lebih terstruktur. Cina, misalnya, telah melakukan investasi besar dalam energi terbarukan dan infrastruktur hijau sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional mereka. Namun, tantangan terbesar dalam ekonomi sosialis adalah efektivitas pengelolaan sumber daya oleh pemerintah dan kemungkinan terjadinya inefisiensi.
  3. Ekonomi Campuran
    Banyak negara, termasuk Indonesia, menerapkan sistem ekonomi campuran yang menggabungkan elemen-elemen kapitalisme dan sosialisme. Dalam sistem ini, pemerintah memiliki peran dalam mengatur sektor-sektor strategis sementara sektor swasta diizinkan beroperasi dalam mekanisme pasar. Ekonomi hijau dapat diterapkan melalui kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta, seperti dalam kebijakan insentif hijau atau pajak karbon. Di Indonesia, inisiatif ekonomi hijau seperti Green Sukuk---obligasi yang diterbitkan pemerintah untuk mendanai proyek-proyek ramah lingkungan---merupakan contoh konkret bagaimana ekonomi campuran dapat mendukung transisi menuju ekonomi hijau.

Tantangan Implementasi Ekonomi Hijau

Meski konsep ekonomi hijau menawarkan banyak manfaat, implementasinya di setiap negara memiliki tantangan tersendiri. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan finansial dan teknologi. Di negara berkembang seperti Indonesia, biaya transisi menuju ekonomi hijau masih dianggap mahal, terutama bagi sektor industri yang bergantung pada sumber energi konvensional. Meskipun demikian, transisi ini sebenarnya dapat meningkatkan efisiensi energi dan menciptakan lapangan kerja hijau baru, yang pada akhirnya mengurangi dampak sosial negatif (UNEP, 2011).

Tantangan lainnya adalah resistensi dari kelompok industri yang telah lama bergantung pada model ekonomi tradisional. Beberapa sektor, seperti pertambangan dan minyak, sering kali menolak kebijakan ekonomi hijau karena dianggap merugikan kepentingan bisnis mereka. Di sinilah peran pemerintah menjadi penting, yakni memastikan bahwa transisi menuju ekonomi hijau dilaksanakan secara adil dan inklusif, sehingga semua sektor dapat berpartisipasi tanpa menanggung beban yang terlalu besar.

Manfaat Ekonomi Hijau bagi Sistem Ekonomi Suatu Negara

Meskipun banyak tantangan yang dihadapi, ekonomi hijau menawarkan berbagai manfaat jangka panjang bagi sistem ekonomi suatu negara. Pertama, ekonomi hijau dapat mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam yang terbatas, seperti minyak dan batu bara, dengan beralih ke sumber energi yang lebih berkelanjutan, seperti tenaga surya dan angin. Hal ini tidak hanya membantu mengurangi polusi dan emisi karbon, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru di sektor energi terbarukan.

Kedua, dengan mendorong efisiensi sumber daya, ekonomi hijau dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing. Negara-negara yang berhasil mengadopsi teknologi hijau cenderung memiliki sektor industri yang lebih efisien dan inovatif, sehingga mampu bersaing di pasar global. Sebagai contoh, Jerman dengan program Energiewende-nya telah menjadi salah satu pemimpin dunia dalam teknologi energi terbarukan.

Ketiga, ekonomi hijau juga membantu mengatasi ketimpangan sosial dengan menciptakan lapangan kerja hijau yang inklusif. Sektor-sektor seperti pertanian organik, pariwisata berkelanjutan, dan transportasi hijau menawarkan peluang kerja yang lebih ramah lingkungan dan dapat diakses oleh berbagai kelompok masyarakat.

Konsep ekonomi hijau bukan sekadar tren, tetapi merupakan kebutuhan bagi masa depan yang lebih berkelanjutan. Dalam kerangka sistem ekonomi suatu negara, adopsi ekonomi hijau memerlukan perubahan mendasar dalam cara kita mengelola sumber daya alam, memproduksi barang dan jasa, serta mengukur kesuksesan ekonomi. Sistem ekonomi kapitalis, sosialis, dan campuran masing-masing memiliki kekuatan dan tantangan tersendiri dalam mengadopsi konsep ini. Namun, dengan komitmen yang kuat dan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, ekonomi hijau dapat menjadi landasan bagi pertumbuhan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan (UNEP, 2011).

Kasus Indonesia

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia dihadapkan pada masalah lingkungan yang semakin mendesak, seperti perubahan iklim, polusi udara, dan kerusakan ekosistem. Di tengah krisis lingkungan yang semakin nyata, muncul konsep ekonomi hijau sebagai solusi yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan dan kelestarian lingkungan. Di Indonesia, konsep ini semakin relevan, mengingat tantangan besar yang dihadapi negara ini terkait kelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Namun, bagaimana konsep ekonomi hijau dapat diterapkan dalam konteks sistem ekonomi Indonesia? Apakah sistem ekonomi campuran yang diterapkan Indonesia mampu beradaptasi dengan tuntutan ekonomi hijau?

Pengertian Ekonomi Hijau

Ekonomi hijau merupakan model ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan (UNEP, 2011). Konsep ini menekankan penggunaan sumber daya alam secara efisien, mendorong energi terbarukan, dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Ekonomi hijau berbeda dengan model ekonomi konvensional yang sering kali menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi semata, dengan mengabaikan dampak negatif terhadap lingkungan.

Di Indonesia, potensi untuk menerapkan ekonomi hijau sangat besar, mengingat negara ini memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, termasuk hutan tropis, laut, dan tambang mineral. Namun, untuk memaksimalkan potensi tersebut, Indonesia perlu mengubah pendekatan ekonominya agar lebih berorientasi pada keberlanjutan.

Sistem Ekonomi Indonesia: Campuran antara Kapitalisme dan Sosialisme

Indonesia menerapkan sistem ekonomi campuran, di mana pemerintah dan sektor swasta memiliki peran yang saling melengkapi dalam mengelola perekonomian. Di satu sisi, mekanisme pasar yang didorong oleh prinsip kapitalisme berperan dalam alokasi sumber daya secara efisien melalui kompetisi dan inovasi. Di sisi lain, pemerintah juga memiliki peran penting dalam mengatur sektor-sektor strategis, memberikan subsidi, dan memastikan kesejahteraan masyarakat.

Sistem ekonomi campuran ini menawarkan peluang besar untuk menerapkan ekonomi hijau. Dengan adanya intervensi pemerintah, kebijakan-kebijakan ramah lingkungan dapat diterapkan secara lebih terstruktur. Di sisi lain, sektor swasta yang didorong oleh mekanisme pasar dapat berinovasi dalam menciptakan solusi teknologi hijau yang efisien dan kompetitif.

Perbandingan dengan Sistem Ekonomi Kapitalis dan Sosialis

Jika dibandingkan dengan sistem ekonomi kapitalis murni, seperti yang diterapkan di Amerika Serikat, Indonesia memiliki keunggulan dalam hal regulasi pemerintah yang lebih kuat. Dalam ekonomi kapitalis, mekanisme pasar sering kali mengutamakan keuntungan jangka pendek dan kurang memperhatikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan (Smith, 1776). Hal ini membuat negara-negara dengan sistem kapitalis murni sering kali terlambat dalam mengadopsi kebijakan ekonomi hijau, karena ada ketergantungan besar pada industri yang tidak ramah lingkungan seperti minyak dan gas.

Sebaliknya, negara-negara dengan sistem ekonomi sosialis seperti Kuba atau Korea Utara, di mana negara memiliki kontrol penuh atas perekonomian, dapat dengan mudah menerapkan kebijakan hijau melalui regulasi yang ketat. Namun, kekurangan dari sistem ini adalah sering kali kurangnya inovasi dari sektor swasta, yang membuat transisi ke ekonomi hijau berjalan lambat.

Indonesia, dengan sistem ekonomi campurannya, memiliki posisi yang unik. Dengan intervensi pemerintah yang cukup besar, kebijakan ekonomi hijau dapat diterapkan lebih cepat dan terstruktur. Sementara itu, sektor swasta yang beroperasi dalam kerangka pasar bebas dapat mendorong inovasi teknologi hijau, seperti penggunaan energi terbarukan dan efisiensi sumber daya.

Penerapan Ekonomi Hijau di Indonesia

Indonesia sudah mulai menerapkan berbagai inisiatif yang sejalan dengan konsep ekonomi hijau. Salah satu langkah nyata adalah dengan diluncurkannya program Green Sukuk atau obligasi hijau, yang bertujuan untuk mendanai proyek-proyek ramah lingkungan. Sejak diluncurkan pada tahun 2018, obligasi hijau ini telah digunakan untuk mendanai proyek energi terbarukan, transportasi berkelanjutan, dan manajemen sumber daya air yang lebih baik (Kementerian Keuangan RI, 2018).

Selain itu, Indonesia juga berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030, sesuai dengan Perjanjian Paris. Untuk mencapai target ini, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan, termasuk pengembangan energi terbarukan, perlindungan hutan, dan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil.

Namun, meskipun ada kemajuan, penerapan ekonomi hijau di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam yang tidak terbarukan, seperti batu bara dan minyak. Industri pertambangan dan energi fosil masih menjadi sektor yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia, baik dalam hal kontribusi terhadap PDB maupun penciptaan lapangan kerja.

Tantangan dan Peluang

Salah satu tantangan terbesar dalam menerapkan ekonomi hijau di Indonesia adalah adanya resistensi dari industri-industri yang telah lama bergantung pada sumber daya alam yang tidak terbarukan. Industri seperti pertambangan dan minyak sering kali menentang kebijakan hijau karena dianggap menghambat keuntungan mereka. Di sisi lain, terdapat juga kekhawatiran bahwa transisi menuju ekonomi hijau dapat mengurangi lapangan kerja di sektor-sektor tertentu, terutama di daerah-daerah yang bergantung pada industri pertambangan.

Namun, peluang yang ditawarkan oleh ekonomi hijau juga sangat besar. Sebagai contoh, sektor energi terbarukan memiliki potensi untuk menciptakan jutaan lapangan kerja baru. Menurut laporan dari International Renewable Energy Agency (IRENA), transisi menuju energi terbarukan dapat menciptakan lebih dari 4 juta pekerjaan di seluruh dunia pada tahun 2030 (IRENA, 2020). Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, dapat menjadi pemain utama dalam sektor ini.

Selain itu, dengan memperkuat ekonomi hijau, Indonesia juga dapat meningkatkan daya saingnya di pasar global. Banyak negara maju yang kini lebih memilih produk dan jasa yang ramah lingkungan. Dengan berinvestasi dalam teknologi hijau dan memperkuat regulasi lingkungan, Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi asing yang berfokus pada keberlanjutan.

Masa Depan Ekonomi Hijau di Indonesia

Masa depan ekonomi hijau di Indonesia sangat bergantung pada kemampuan negara ini untuk mengatasi tantangan yang ada dan memanfaatkan peluang yang tersedia. Untuk mencapai ekonomi yang lebih hijau, Indonesia perlu melakukan beberapa langkah strategis:

  1. Memperkuat Kebijakan Lingkungan
    Pemerintah perlu memperkuat kebijakan lingkungan yang lebih tegas, termasuk memberikan insentif bagi perusahaan yang beralih ke teknologi hijau dan mengenakan pajak karbon bagi industri yang masih mengandalkan bahan bakar fosil.
  2. Meningkatkan Inovasi Teknologi Hijau
    Pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk mendorong inovasi dalam teknologi hijau. Investasi dalam penelitian dan pengembangan energi terbarukan, transportasi berkelanjutan, dan manajemen limbah akan menjadi kunci dalam mendorong transisi menuju ekonomi hijau.
  3. Mendorong Pendidikan dan Kesadaran Publik
    Salah satu cara terbaik untuk mempersiapkan masa depan yang lebih hijau adalah melalui pendidikan. Dengan meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya keberlanjutan lingkungan, masyarakat akan lebih siap menerima kebijakan hijau dan terlibat dalam upaya pelestarian alam.
  4. Melibatkan Semua Pemangku Kepentingan
    Transisi menuju ekonomi hijau tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah atau sektor swasta saja. Semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, LSM, dan komunitas internasional, perlu dilibatkan dalam proses ini agar dapat mencapai hasil yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Konsep ekonomi hijau menawarkan pendekatan baru yang menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks Indonesia, sistem ekonomi campuran memberikan peluang besar untuk menerapkan konsep ini melalui kombinasi kebijakan pemerintah dan inovasi sektor swasta. Namun, tantangan yang dihadapi masih besar, terutama terkait ketergantungan pada sumber daya alam yang tidak terbarukan dan resistensi dari industri-industri tertentu. Meski begitu, dengan komitmen yang kuat dan kolaborasi antara semua pemangku kepentingan, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi salah satu negara terdepan dalam penerapan ekonomi hijau di Asia Tenggara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun