Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id- www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sistem Ekonomi Indonesia (107), Demokrasi atau Otoritarianisme?

6 September 2024   06:49 Diperbarui: 6 September 2024   06:49 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Demokrasi vs. Otoritarianisme: Bagaimana Sistem Pemerintahan Membentuk Kebijakan Ekonomi.

Dalam sejarah peradaban manusia, dua sistem pemerintahan yang paling dominan telah menjadi penentu arah dan nasib ekonomi suatu bangsa: demokrasi dan otoritarianisme. 

Dua kutub yang berlawanan ini tidak hanya membentuk tata kelola politik, tetapi juga mempengaruhi bagaimana kebijakan ekonomi dirumuskan, dilaksanakan, dan berdampak pada masyarakat. Di satu sisi, demokrasi menjanjikan inklusivitas dan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan. 

Di sisi lain, otoritarianisme menekankan efisiensi dan stabilitas dengan keputusan yang terpusat di tangan segelintir elit. Namun, bagaimana hubungan antara sistem politik ini dengan kebijakan ekonomi? Apakah satu sistem lebih superior dari yang lain dalam menciptakan kesejahteraan ekonomi? Mari kita jelajahi lebih dalam.

Demokrasi: Suara Rakyat dalam Kebijakan Ekonomi

Demokrasi dikenal sebagai sistem pemerintahan yang memberikan kebebasan kepada warga negaranya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam kebijakan ekonomi. Di dalam sistem ini, kebijakan ekonomi cenderung lebih transparan dan inklusif, karena melibatkan suara rakyat dalam berbagai tingkatan pengambilan keputusan. 

Para pemimpin dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab untuk melayani kepentingan publik. Hal ini biasanya menciptakan lingkungan yang lebih adil, di mana distribusi sumber daya lebih merata dan kepentingan mayoritas didahulukan.

Negara-negara dengan sistem demokrasi sering kali memiliki mekanisme checks and balances yang kuat, yang berarti kekuasaan pemerintah tidak absolut. Parlemen, pengadilan, dan masyarakat sipil semuanya memainkan peran dalam menjaga agar kebijakan ekonomi tidak melenceng dari kepentingan rakyat. 

Dalam banyak kasus, kebijakan ekonomi dalam sistem demokrasi cenderung mengutamakan kesejahteraan sosial, dengan program-program seperti subsidi, perlindungan tenaga kerja, dan pembangunan infrastruktur yang inklusif (Rodrik, 2011).

Salah satu contoh sukses kebijakan ekonomi demokratis adalah di negara-negara Skandinavia. Norwegia, misalnya, dengan sistem demokrasi parlementer yang kuat, telah berhasil menciptakan kesejahteraan ekonomi melalui model ekonomi yang seimbang antara kapitalisme dan sosialisme.

 Negara ini menggunakan pendapatan dari sumber daya alamnya, seperti minyak, untuk membiayai program kesejahteraan sosial, pendidikan, dan kesehatan yang mencakup seluruh warganya. Transparansi dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan ekonomi menjadi kunci keberhasilan model ini.

Otoritarianisme: Stabilitas dan Kontrol dalam Kebijakan Ekonomi

Sebaliknya, dalam sistem otoritarianisme, kekuasaan politik terpusat pada segelintir elit, yang sering kali menggunakan wewenang mereka tanpa pengawasan yang kuat dari rakyat atau lembaga perwakilan. Dalam konteks kebijakan ekonomi, otoritarianisme sering kali menekankan stabilitas dan kontrol yang ketat, dengan tujuan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat dan efisien.

Sistem ini memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk mengambil keputusan secara cepat tanpa harus melalui proses panjang negosiasi dan debat politik, seperti yang sering terjadi di negara-negara demokratis.

China adalah contoh klasik dari sistem otoritarianisme yang berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Di bawah kepemimpinan Partai Komunis, China menerapkan model ekonomi yang berorientasi pada pasar namun tetap dengan kontrol negara yang kuat. 

Pemerintah China mampu mengambil kebijakan ekonomi yang drastis, seperti reformasi agraria pada era 1980-an dan kebijakan "Made in China 2025" yang bertujuan untuk menjadikan China sebagai pemimpin industri teknologi global. Tanpa hambatan politik dari oposisi atau lembaga perwakilan, pemerintah China dapat melaksanakan kebijakan tersebut dengan cepat dan efektif (Pei, 2016).

Namun, otoritarianisme juga memiliki kelemahan yang signifikan. Ketika kekuasaan terpusat, kebijakan ekonomi sering kali menguntungkan segelintir elit, sementara rakyat banyak tidak mendapatkan manfaat yang proporsional. 

Ketidakadilan distribusi kekayaan dan ketimpangan sosial sering kali menjadi ciri khas dari sistem otoritarianisme. Selain itu, kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan dapat menyebabkan korupsi yang meluas, yang pada akhirnya merugikan ekonomi negara dalam jangka panjang.

Demokrasi vs. Otoritarianisme: Mana yang Lebih Efektif?

Pertanyaan yang sering muncul adalah, sistem pemerintahan mana yang lebih efektif dalam menciptakan kebijakan ekonomi yang menguntungkan rakyat banyak? Apakah demokrasi dengan prosesnya yang lambat namun inklusif lebih baik, atau otoritarianisme dengan keputusan cepat namun eksklusif yang lebih efisien?

Secara teori, demokrasi menawarkan kerangka kerja yang lebih adil dalam distribusi sumber daya dan kesejahteraan. Namun, sistem ini juga memiliki tantangan tersendiri. 

Dalam banyak kasus, proses pengambilan keputusan yang lambat dan melibatkan banyak pihak dapat menghambat pelaksanaan kebijakan ekonomi yang mendesak. 

Politik partisan dan kepentingan kelompok sering kali memperlambat laju reformasi ekonomi yang diperlukan. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan tidak selalu optimal, karena harus melalui berbagai kompromi politik.

Di sisi lain, otoritarianisme menawarkan efisiensi dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi. Namun, efisiensi ini sering kali datang dengan biaya sosial yang tinggi. 

Tanpa partisipasi rakyat dan kontrol dari lembaga perwakilan, kebijakan ekonomi dalam sistem otoritarianisme sering kali tidak memperhitungkan dampak sosialnya. 

Ketidaksetaraan dan ketimpangan sering kali lebih mencolok dalam sistem otoritarian, di mana elit politik dan ekonomi mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan rakyat biasa (Acemoglu dan Robinson, 2012).

Kasus Indonesia: Mencari Jalan Tengah?

Indonesia, sebagai negara yang telah mengalami transisi dari otoritarianisme ke demokrasi, memberikan contoh menarik tentang bagaimana perubahan sistem politik mempengaruhi kebijakan ekonomi. 

Selama era Orde Baru di bawah Soeharto, Indonesia berada di bawah sistem pemerintahan otoriter. Kebijakan ekonomi pada masa ini difokuskan pada pertumbuhan ekonomi yang cepat melalui industrialisasi dan pembangunan infrastruktur. 

Pemerintah memiliki kontrol yang kuat atas ekonomi, dengan kebijakan yang terpusat pada pembangunan sektoral dan program-program yang terkoordinasi dengan baik. Hasilnya, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan, tetapi dengan ketimpangan sosial yang meningkat dan korupsi yang merajalela.

Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia beralih ke sistem demokrasi. Transisi ini membawa perubahan besar dalam kebijakan ekonomi. Pemerintah yang dipilih secara demokratis mulai memperhatikan isu-isu sosial yang sebelumnya diabaikan, seperti kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan. Partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan menjadi lebih besar, dan kebijakan ekonomi menjadi lebih inklusif. 

Namun, tantangan yang dihadapi demokrasi Indonesia adalah bagaimana memastikan stabilitas ekonomi di tengah dinamika politik yang sering kali tidak menentu. Sistem politik yang lebih terbuka memberikan ruang bagi debat dan diskusi, tetapi juga menciptakan potensi ketidakpastian dalam kebijakan ekonomi (Rosser, 2013).

Refleksi Akhir: Sistem Politik Membentuk Ekonomi

Hubungan antara sistem pemerintahan dan kebijakan ekonomi adalah hubungan yang kompleks dan saling mempengaruhi. Demokrasi menawarkan inklusivitas dan transparansi, sementara otoritarianisme menawarkan efisiensi dan stabilitas. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, sejarah menunjukkan bahwa sistem yang paling berhasil adalah sistem yang mampu menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial.

Negara-negara yang berhasil menciptakan kesejahteraan ekonomi jangka panjang adalah negara-negara yang mampu menggabungkan elemen-elemen positif dari kedua sistem ini. 

Singapura, misalnya, meskipun secara teknis memiliki elemen otoritarianisme, juga memiliki sistem pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan rakyatnya. 

Sementara itu, negara-negara demokratis seperti Norwegia dan Finlandia telah menunjukkan bahwa inklusivitas dalam pengambilan keputusan ekonomi tidak harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh sistem politik, tetapi juga oleh kepemimpinan yang visioner, partisipasi aktif rakyat, dan kerangka institusi yang kuat. Demokrasi dan otoritarianisme hanyalah alat. Bagaimana alat tersebut digunakan akan menentukan masa depan ekonomi suatu negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun