Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id- www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sistem Ekonomi Indonesia (101): Warisan Kolonial?

5 September 2024   07:15 Diperbarui: 5 September 2024   08:34 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah panjang kolonialisme telah meninggalkan jejak mendalam di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Selama berabad-abad, bangsa Indonesia berada di bawah kendali berbagai kekuatan kolonial, mulai dari Portugis, Spanyol, hingga Belanda yang mendominasi selama lebih dari tiga abad. Dampak dari eksploitasi kolonial ini tidak hanya terbatas pada aspek politik dan sosial, tetapi juga memberikan pengaruh besar terhadap sistem ekonomi Indonesia yang masih terasa hingga saat ini.

Sistem ekonomi kolonial yang dibentuk oleh Belanda, khususnya melalui Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa, membentuk fondasi ekonomi Indonesia yang berorientasi pada ekspor komoditas dan ketergantungan pada sumber daya alam. Meskipun Indonesia telah merdeka sejak tahun 1945, warisan dari sistem ekonomi yang dibangun pada era kolonial masih mempengaruhi kebijakan ekonomi modern, dari cara negara mengelola sumber daya alam hingga peran aktor-aktor ekonomi tertentu dalam menentukan arah pembangunan.

Warisan Kolonialisme dalam Struktur Ekonomi Indonesia

Saat membahas dampak kolonialisme terhadap sistem ekonomi Indonesia, kita harus memahami bahwa kolonialisme bukan hanya penguasaan politik atas suatu wilayah, tetapi juga eksploitasi ekonomi yang terencana. Pada masa kolonial Belanda, Indonesia---dulu dikenal sebagai Hindia Belanda---diarahkan untuk menjadi pemasok utama bahan mentah seperti kopi, teh, gula, dan rempah-rempah. Kebijakan ekonomi Belanda secara sistematis mengubah masyarakat agraris lokal menjadi alat bagi produksi ekspor global, dengan sedikit atau tanpa upaya membangun sektor industri domestik.

Sebagai contoh, Sistem Tanam Paksa yang diterapkan Belanda pada abad ke-19 mengharuskan petani pribumi menanam tanaman komoditas ekspor di sebagian besar lahan mereka, yang hasilnya kemudian dikirim ke Belanda untuk dijual di pasar internasional. Petani dipaksa menyerahkan sebagian besar hasil panen mereka dengan imbalan yang sangat kecil. Sementara Belanda menikmati keuntungan besar, masyarakat pribumi menderita kemiskinan dan ketidakmampuan mengembangkan ekonomi mereka sendiri.

Warisan dari kebijakan ini terlihat hingga hari ini. Indonesia masih menjadi salah satu produsen utama berbagai komoditas ekspor seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan kakao. Struktur ekonomi yang berorientasi pada ekspor bahan mentah tetap menjadi salah satu pilar utama perekonomian Indonesia, meskipun upaya untuk mendiversifikasi ekonomi terus dilakukan. Namun, ketergantungan pada ekspor komoditas primer ini menciptakan tantangan tersendiri, terutama ketika harga komoditas di pasar global tidak stabil. Hal ini, menurut teori Dependency dari Andre Gunder Frank (1966), adalah bentuk dari ketergantungan struktural yang diwariskan oleh sistem kolonial, di mana negara-negara berkembang menjadi pemasok bahan mentah bagi negara-negara maju.

Pembentukan Ketimpangan Sosial-Ekonomi

Kolonialisme juga meninggalkan dampak mendalam terhadap struktur sosial dan ekonomi di Indonesia, dengan menciptakan kelas sosial yang tajam antara elit dan masyarakat umum. Pada masa kolonial, hanya segelintir elit pribumi yang diberikan akses kepada pendidikan dan kesempatan ekonomi. Elit ini biasanya bekerja sama dengan penguasa kolonial untuk mempertahankan status quo, sementara mayoritas penduduk pribumi tetap dalam kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi.

Setelah Indonesia merdeka, banyak dari elit ini mengambil alih posisi penting dalam pemerintahan dan ekonomi. Namun, pola ketidaksetaraan ini masih tetap ada, di mana kekayaan dan kekuasaan ekonomi sebagian besar masih terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Ketimpangan sosial-ekonomi ini menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Indonesia dalam membangun sistem ekonomi yang lebih inklusif dan adil.

Menurut Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century (2013), ketidaksetaraan yang diwariskan dari kolonialisme sering kali berlanjut karena kebijakan-kebijakan yang tidak benar-benar mendistribusikan kembali kekayaan dan peluang ekonomi kepada seluruh masyarakat. Di Indonesia, warisan ketidaksetaraan ini masih terlihat dalam bentuk akses yang terbatas terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi bagi sebagian besar penduduk, terutama di daerah-daerah terpencil yang dulunya menjadi pusat eksploitasi kolonial.

Peran Perusahaan Multinasional dan Neo-Kolonialisme Ekonomi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun