Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id- www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Quiet Quitting: Hadir tapi Tidak Terlibat

15 Juni 2024   10:37 Diperbarui: 15 Juni 2024   10:41 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Quiet quitting merujuk pada situasi di mana karyawan secara fisik masih hadir dan memenuhi tanggung jawab minimum mereka, tetapi secara emosional dan mental telah memutuskan untuk tidak terlibat lebih jauh dalam pekerjaan mereka. Ini bukan berarti mereka berhenti dari pekerjaan secara resmi, tetapi mereka mengurangi upaya dan komitmen mereka ke tingkat paling dasar yang diperlukan untuk mempertahankan pekerjaan.

Jenis Quiet Quitting

  1. Disengagement Pasif: Karyawan tetap hadir dan melakukan tugas-tugas yang diminta, tetapi tanpa inisiatif atau semangat untuk melampaui ekspektasi. Mereka tidak terlibat dalam diskusi, tidak menawarkan ide baru, dan menghindari tanggung jawab tambahan.
  2. Penghindaran Keterlibatan: Karyawan secara aktif menghindari situasi atau tugas yang memerlukan keterlibatan lebih dalam atau interaksi dengan rekan kerja. Ini bisa termasuk menghindari rapat atau tidak berpartisipasi dalam proyek tim.
  3. Komitmen Minimalis: Karyawan hanya memenuhi persyaratan minimum dari pekerjaan mereka. Mereka menolak untuk bekerja lembur, tidak tertarik pada pelatihan tambahan, dan tidak berusaha untuk meningkatkan keterampilan atau kinerja mereka.

Bentuk Quiet Quitting

  1. Kehadiran Fisik Tanpa Keterlibatan Emosional: Karyawan hadir di tempat kerja, tetapi secara mental tidak terlibat. Mereka menyelesaikan tugas-tugas mereka tanpa antusiasme atau keinginan untuk berkontribusi lebih.
  2. Penurunan Produktivitas Secara Halus: Karyawan menunjukkan penurunan produktivitas yang tidak terlalu mencolok, tetapi tetap konsisten dalam jangka panjang. Mereka mungkin mengambil lebih banyak waktu untuk menyelesaikan tugas atau menghindari pekerjaan yang menantang.
  3. Kurangnya Inisiatif: Karyawan tidak menunjukkan inisiatif untuk mengambil tugas tambahan atau berpartisipasi dalam proyek-proyek penting. Mereka hanya melakukan apa yang diminta dan tidak lebih.

Contoh Quiet Quitting

  1. Karyawan yang Menghindari Rapat dan Diskusi Tim: Seorang karyawan yang selalu memiliki alasan untuk tidak menghadiri rapat tim atau yang duduk diam selama diskusi, tanpa memberikan masukan atau ide.
  2. Penolakan untuk Bekerja Lembur atau Mengambil Proyek Tambahan: Seorang karyawan yang secara konsisten menolak untuk bekerja di luar jam kerja standar atau menolak tugas tambahan, bahkan ketika diperlukan.
  3. Penurunan Kualitas Pekerjaan: Seorang karyawan yang sebelumnya sangat berdedikasi mulai menghasilkan pekerjaan yang kurang berkualitas dan tidak memenuhi standar yang diharapkan, tetapi tetap dalam batas yang diterima untuk menghindari perhatian.

Matriks: Jenis dan Bentuk Quiet Quitting

Jenis

Bentuk

Contoh

Disengagement Pasif

Kehadiran fisik tanpa keterlibatan emosional

Karyawan yang hadir di tempat kerja tetapi tidak terlibat secara emosional dalam tugas atau proyek.

Penghindaran Keterlibatan

Penurunan produktivitas secara halus

Karyawan yang mengambil lebih banyak waktu untuk menyelesaikan tugas atau menghindari pekerjaan menantang.

Komitmen Minimalis

Kurangnya inisiatif

Karyawan yang menolak bekerja lembur atau mengambil proyek tambahan.

Quiet quitting merupakan fenomena yang menunjukkan kurangnya keterlibatan dan komitmen karyawan terhadap pekerjaan mereka. Meskipun mereka tetap hadir dan melakukan tugas minimum, keterlibatan emosional dan inisiatif mereka sangat kurang. Memahami jenis dan bentuk quiet quitting serta contoh-contoh nyatanya dapat membantu organisasi untuk mengenali tanda-tanda awal dan mengambil langkah-langkah proaktif untuk meningkatkan keterlibatan dan kepuasan kerja karyawan.

Sejarah dan Perkembangan Quiet Quitting

Quiet quitting, sebuah fenomena di mana karyawan hanya melakukan tugas minimum yang diperlukan tanpa keterlibatan lebih lanjut, telah menjadi topik yang semakin relevan di dunia kerja modern. Fenomena ini mencerminkan perubahan dalam dinamika kerja dan motivasi karyawan, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi, sosial, dan teknologi. 

Sejarah Awal

Quiet quitting bukanlah fenomena yang sepenuhnya baru. Bahkan sejak revolusi industri, pekerja sering kali menunjukkan ketidakpuasan dengan kondisi kerja mereka melalui berbagai bentuk disengagement. Namun, istilah "quiet quitting" baru-baru ini mendapatkan perhatian yang lebih luas dalam konteks modern.

Pada era pasca Perang Dunia II, dinamika tenaga kerja mengalami perubahan signifikan. Dengan meningkatnya urbanisasi dan perkembangan industri, harapan pekerja terhadap pekerjaan dan karier mereka mulai berubah. Pada saat yang sama, munculnya serikat pekerja memberikan platform bagi karyawan untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka dan memperjuangkan hak-hak mereka.

Perkembangan pada Akhir Abad ke-20

Pada akhir abad ke-20, dengan perkembangan teknologi dan globalisasi, dinamika tempat kerja kembali berubah. Karyawan semakin memiliki akses ke informasi dan kesempatan yang lebih luas, baik secara lokal maupun global. Namun, ini juga membawa tantangan baru, seperti peningkatan tekanan kerja dan ekspektasi kinerja yang tinggi.

Menurut sebuah studi oleh Gallup pada tahun 1980-an, disengagement karyawan mulai menjadi isu yang lebih terlihat. Karyawan yang merasa tidak dihargai atau tidak melihat peluang untuk berkembang cenderung menunjukkan penurunan keterlibatan dan motivasi. Fenomena ini diperparah oleh resesi ekonomi dan restrukturisasi perusahaan yang sering terjadi pada dekade tersebut.

Era Digital dan Modern

Dengan masuknya era digital pada awal abad ke-21, quiet quitting mengalami perkembangan baru. Teknologi memungkinkan cara kerja yang lebih fleksibel, tetapi juga membawa tantangan seperti burnout dan kelelahan digital. Karyawan semakin diminta untuk selalu terhubung dan responsif, yang dapat menyebabkan stres dan ketidakpuasan.

Laporan dari McKinsey (2022) menunjukkan bahwa sekitar 40% karyawan di seluruh dunia merasa disengaged di tempat kerja. Ini diperparah oleh pandemi COVID-19, yang memaksa banyak perusahaan untuk beralih ke model kerja jarak jauh. Meskipun model ini memberikan fleksibilitas, kurangnya interaksi sosial dan batas yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dapat meningkatkan risiko disengagement.

Faktor Penyebab Utama

  1. Kelelahan dan Burnout: Tekanan kerja yang berlebihan tanpa dukungan yang memadai dapat menyebabkan kelelahan. Menurut data dari World Health Organization (WHO), burnout telah diakui sebagai fenomena kerja yang signifikan, mempengaruhi produktivitas dan kesejahteraan karyawan.
  2. Kurangnya Pengakuan dan Penghargaan: Karyawan yang merasa tidak dihargai atau tidak melihat kontribusi mereka diakui cenderung kehilangan motivasi. Pengakuan yang kurang dapat mengarah pada disengagement jangka panjang.
  3. Kurangnya Kesempatan Pengembangan Karier: Karyawan yang merasa terjebak dalam peran tanpa peluang untuk berkembang atau naik jabatan cenderung mengalami penurunan keterlibatan.

Sejarah dan perkembangan quiet quitting menunjukkan bahwa fenomena ini merupakan respons alami terhadap dinamika kerja yang berubah dan sering kali menantang. Dari revolusi industri hingga era digital, karyawan selalu mencari cara untuk menyeimbangkan kebutuhan pribadi dan profesional mereka. Memahami sejarah ini penting bagi organisasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung dan menghargai karyawan, sehingga dapat mengurangi risiko disengagement dan meningkatkan produktivitas serta kepuasan kerja.

Di era globalisasi dan digitalisasi saat ini, fenomena "quiet quitting" telah menjadi topik perbincangan yang hangat di kalangan praktisi sumber daya manusia dan ekonom. Quiet quitting merujuk pada situasi di mana karyawan secara fisik masih hadir dan memenuhi tanggung jawab minimum mereka, tetapi secara emosional dan mental telah memutuskan untuk tidak terlibat lebih jauh dalam pekerjaan mereka. 

Definisi dan Penyebab Quiet Quitting

Quiet quitting bukanlah fenomena baru, tetapi menjadi semakin relevan dalam konteks lingkungan kerja modern yang dinamis. Penyebab utama dari quiet quitting meliputi:

  1. Kelelahan dan Burnout: Tekanan kerja yang berlebihan tanpa keseimbangan yang memadai antara kehidupan kerja dan pribadi dapat menyebabkan kelelahan. Menurut laporan dari Gallup (2021), sekitar 76% pekerja mengalami kelelahan dalam pekerjaan mereka setidaknya kadang-kadang.
  2. Kurangnya Pengakuan dan Penghargaan: Karyawan yang merasa kontribusinya tidak dihargai cenderung kehilangan motivasi. "Penghargaan yang kurang terhadap usaha dan pencapaian karyawan sering kali mengarah pada disengagement," kata Dr. Emily Brown, ekonom dari Universitas Harvard.
  3. Kurangnya Kesempatan Pengembangan Karier: Ketidakjelasan dalam jalur karier dan kurangnya kesempatan untuk berkembang dapat membuat karyawan merasa stagnan dan akhirnya memilih untuk tidak terlibat secara penuh.

Dampak Ekonomi dari Quiet Quitting

Quiet quitting memiliki implikasi yang signifikan terhadap produktivitas dan ekonomi:

  1. Penurunan Produktivitas: Karyawan yang tidak terlibat penuh tidak akan memberikan performa terbaik mereka, yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas secara keseluruhan. Data dari McKinsey (2022) menunjukkan bahwa disengaged employees memiliki produktivitas yang 30% lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang engaged.
  2. Biaya Turnover yang Tinggi: Meskipun karyawan tidak langsung meninggalkan perusahaan, disengagement yang berkepanjangan dapat mengarah pada turnover yang lebih tinggi. Ini berarti biaya tambahan untuk rekrutmen dan pelatihan karyawan baru.
  3. Dampak Negatif pada Morale dan Budaya Perusahaan: Quiet quitting dapat menciptakan lingkungan kerja yang negatif dan menurunkan morale di antara karyawan lain, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi budaya perusahaan secara keseluruhan.

Solusi untuk Mengatasi Quiet Quitting

Menciptakan lingkungan kerja yang mendukung dan memberdayakan karyawan adalah kunci untuk mengatasi fenomena quiet quitting:

  1. Implementasi Kebijakan Keseimbangan Kerja-Hidup: Menawarkan fleksibilitas dalam jam kerja dan opsi kerja jarak jauh dapat membantu karyawan mencapai keseimbangan yang lebih baik antara kehidupan pribadi dan profesional mereka.
  2. Pengakuan dan Penghargaan yang Adil: Memberikan penghargaan yang adil dan pengakuan yang tulus terhadap kontribusi karyawan dapat meningkatkan motivasi dan keterlibatan mereka. "Penghargaan yang tepat waktu dan relevan dapat meningkatkan engagement secara signifikan," jelas Dr. Sarah Kim, peneliti di bidang manajemen sumber daya manusia.
  3. Pengembangan Karier yang Jelas: Menyediakan jalur pengembangan karier yang jelas dan kesempatan untuk pelatihan dan peningkatan keterampilan dapat membuat karyawan merasa lebih termotivasi dan terlibat dalam pekerjaan mereka.

Matriks: Solusi untuk Mengatasi Quiet Quitting

No.

Solusi

Deskripsi

1

Kebijakan Keseimbangan Kerja-Hidup

Fleksibilitas jam kerja dan opsi kerja jarak jauh untuk membantu karyawan mencapai keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi.

2

Pengakuan dan Penghargaan

Memberikan penghargaan dan pengakuan yang adil terhadap kontribusi karyawan untuk meningkatkan motivasi dan keterlibatan.

3

Pengembangan Karier yang Jelas

Menyediakan jalur pengembangan karier yang jelas dan kesempatan pelatihan untuk meningkatkan motivasi dan keterlibatan karyawan.

Appendiks: Daftar Pustaka

  1. Gallup. (2021). "State of the Global Workplace: 2021 Report."
  2. McKinsey. (2022). "The Productivity Paradox: Understanding and Managing Disengagement in the Workplace."
  3. Brown, E. (2020). "Employee Engagement and Economic Performance." Harvard Business Review.
  4. Kim, S. (2021). "The Impact of Recognition on Employee Engagement." Journal of Human Resource Management.
  5. Gallup. (2021). "State of the Global Workplace: 2021 Report."
  6. McKinsey. (2022). "The Productivity Paradox: Understanding and Managing Disengagement in the Workplace."
  7. Brown, E. (2020). "Employee Engagement and Economic Performance." Harvard Business Review.
  8. Kim, S. (2021). "The Impact of Recognition on Employee Engagement." Journal of Human Resource Management.
  9. Gallup. (1980). "State of the American Workplace."
  10. McKinsey. (2022). "The Productivity Paradox: Understanding and Managing Disengagement in the Workplace."
  11. World Health Organization (WHO). (2019). "Burn-out an 'Occupational Phenomenon': International Classification of Diseases."
  12. Brown, E. (2020). "Employee Engagement and Economic Performance." Harvard Business Review.

Quiet quitting adalah fenomena yang mempengaruhi banyak organisasi di seluruh dunia. Memahami penyebab dan dampaknya dari sudut pandang ekonomi adalah langkah penting untuk mengatasinya. Dengan mengimplementasikan kebijakan yang mendukung keseimbangan kerja-hidup, memberikan pengakuan dan penghargaan yang adil, serta menyediakan jalur pengembangan karier yang jelas, organisasi dapat meningkatkan engagement karyawan dan memastikan produktivitas yang optimal dalam jangka panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun