Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Melarang Golput

7 Februari 2024   01:07 Diperbarui: 7 Februari 2024   01:09 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Golput adalah singkatan dari "golongan putih" yang merujuk pada sikap untuk tidak menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum atau pemilihan lainnya. Dalam konteks politik dan pemilu, golput dianggap sebagai sikap politik di mana seseorang memilih untuk tidak memilih, biasanya sebagai bentuk protes atau ketidakpuasan terhadap sistem politik atau kandidat yang tersedia. Golput dapat dianggap sebagai bentuk penolakan terhadap pilihan yang ada atau sebagai upaya untuk menunjukkan ketidakpuasan terhadap proses politik yang ada.

Beberapa alasan yang mungkin mendasari golput dalam perspektif politik dan pemilu termasuk:

Ketidakpuasan terhadap kandidat yang tersedia: Banyak pemilih mungkin merasa bahwa tidak ada kandidat yang mewakili nilai atau kepentingan mereka, sehingga mereka memilih untuk tidak memilih sama sekali.

Ketidakpercayaan terhadap sistem politik: Sebagian orang mungkin merasa bahwa sistem politik yang ada tidak adil atau korup, sehingga mereka memilih untuk tidak terlibat dalam proses tersebut sebagai bentuk protes.

Perasaan putus asa atau apatis: Beberapa individu mungkin merasa bahwa partisipasi dalam pemilihan tidak akan membuat perubahan yang signifikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka memilih untuk tidak memilih.

Meskipun golput dapat dipandang sebagai bentuk ekspresi politik yang sah, beberapa kritikus menganggapnya sebagai tindakan yang tidak produktif karena tidak memberikan kontribusi dalam mempengaruhi hasil pemilihan. Sebaliknya, ada juga pandangan yang berpendapat bahwa golput dapat menjadi cara yang efektif untuk menunjukkan ketidakpuasan terhadap sistem politik dan mendorong perubahan yang lebih baik dalam jangka panjang.

Sejarah golput di Indonesia meliputi periode yang panjang dan beragam, terkait dengan perkembangan politik, sosial, dan budaya negara tersebut. Beberapa momen penting dalam sejarah golput di Indonesia meliputi:

Masa Kolonial: Sebelum kemerdekaan Indonesia, partisipasi politik terbatas bagi sebagian besar penduduk, terutama di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Pada saat itu, terdapat gerakan-gerakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda, tetapi akses terhadap proses politik formal sangat terbatas.

Masa Kemerdekaan dan Awal Kemerdekaan: Setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia menghadapi berbagai tantangan politik dan sosial dalam membangun negara baru. Pada beberapa pemilihan umum awal, partisipasi masyarakat mungkin masih rendah karena banyaknya isu-isu politik dan ekonomi yang belum terselesaikan.

Era Orde Lama: Selama periode Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan kemudian Presiden Soeharto, partisipasi dalam pemilihan umum seringkali dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap pemerintah. Namun, ada juga momen di mana golput digunakan sebagai bentuk protes terhadap rezim otoriter yang ada.

Era Reformasi: Sejak keruntuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998 dan dimulainya era Reformasi, terjadi perubahan signifikan dalam dinamika politik Indonesia. Partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum meningkat, tetapi juga terjadi peningkatan dalam gerakan golput sebagai bentuk protes atau ketidakpuasan terhadap sistem politik yang baru.

Perkembangan Terkini: Dalam beberapa pemilihan umum terakhir, terutama pada tingkat lokal, terlihat adanya gerakan golput yang cukup signifikan. Golput kadang-kadang dipandang sebagai reaksi terhadap kualitas kandidat atau sistem politik yang dianggap korup atau tidak efektif.

Perlu dicatat bahwa golput di Indonesia dapat memiliki berbagai alasan, termasuk ketidakpercayaan terhadap sistem politik, penolakan terhadap kandidat yang tersedia, atau bahkan sebagai strategi politik dalam konteks tertentu. Meskipun demikian, partisipasi dalam pemilihan umum tetap dianggap sebagai salah satu bentuk yang paling efektif untuk memengaruhi arah politik negara.

Golput, atau ketidakpartisipasan dalam pemilihan umum, merupakan fenomena yang terjadi di banyak negara di seluruh dunia dengan beragam konteks dan alasan. Berikut adalah beberapa contoh golput di negara lain:

Prancis: Prancis sering mengalami tingkat golput yang signifikan dalam pemilihan umumnya. Pada pemilihan presiden tahun 2017, misalnya, tingkat golput mencapai rekor tinggi sekitar 25%. Alasan golput di Prancis dapat bervariasi, mulai dari ketidakpuasan terhadap kandidat yang tersedia, hingga perasaan alienasi terhadap sistem politik yang ada.

Amerika Serikat: Meskipun Amerika Serikat memiliki sistem politik yang kuat dan stabil, tetapi golput masih menjadi masalah di beberapa pemilihan umum. Pada pemilihan presiden 2016, sekitar 43% dari pemilih memilih untuk tidak memilih, entah karena alasan ketidakpuasan terhadap kedua kandidat atau karena perasaan bahwa pilihan mereka tidak akan membuat perbedaan yang signifikan.

Brasil: Negara ini juga mengalami tingkat golput yang signifikan dalam beberapa pemilihan umumnya. Pada pemilihan presiden 2018, sekitar 21% dari pemilih memilih untuk tidak memilih. Alasan golput di Brasil dapat mencakup ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang korup dan tidak efektif, serta ketidakpuasan terhadap kandidat yang tersedia.

Jerman: Di Jerman, golput telah menjadi fenomena yang cukup umum, meskipun tingkatnya cenderung lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara lain. Pada pemilihan federal Jerman tahun 2017, tingkat golput sekitar 23%. Alasan golput di Jerman dapat bervariasi, tetapi mencakup ketidakpuasan terhadap kandidat dan partai politik, serta perasaan bahwa partisipasi dalam pemilihan tidak akan membuat perbedaan yang signifikan.

Faktor-faktor yang menyebabkan golput bisa sangat bervariasi tergantung pada konteks politik, sosial, dan budaya masing-masing negara. Meskipun golput dapat dianggap sebagai bentuk protes atau ketidakpuasan terhadap sistem politik yang ada, namun partisipasi dalam pemilihan umum tetap menjadi sarana utama untuk memengaruhi arah politik sebuah negara.

Dampak golput bisa sangat signifikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, tergantung pada konteks politik, jumlah golput, dan karakteristik masyarakat di suatu negara. Berikut adalah beberapa dampak golput yang mungkin terjadi:

Mengurangi Legitimitas Pemerintahan: Tingkat golput yang tinggi dapat mengurangi legitimasi pemerintahan yang terpilih secara demokratis. Hal ini karena pemimpin yang terpilih mungkin tidak mewakili pandangan mayoritas masyarakat jika banyak pemilih memilih untuk tidak berpartisipasi.

Mempengaruhi Hasil Pemilihan: Golput dapat memengaruhi hasil pemilihan, terutama jika jumlah golput cukup besar sehingga memengaruhi perhitungan suara. Ini dapat mengubah distribusi kekuasaan politik di suatu negara dan mempengaruhi arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang terpilih.

Mendorong Politik Responsif: Tingkat golput yang tinggi dapat menjadi sinyal bagi para pemimpin politik bahwa ada ketidakpuasan di antara pemilih. Ini dapat mendorong para pemimpin untuk lebih memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat dalam upaya untuk memperoleh dukungan politik.

Melemahkan Mandat Pemerintahan: Ketika tingkat golput tinggi, pemerintah yang terpilih mungkin memiliki mandat politik yang lemah karena tidak didukung oleh mayoritas pemilih. Hal ini dapat mengurangi legitimasi keputusan politik yang diambil oleh pemerintah tersebut.

Mengurangi Partisipasi Masyarakat: Golput dapat menyebabkan menurunnya partisipasi masyarakat dalam proses politik secara umum. Ini dapat mengurangi keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan politik dan menghambat proses demokratisasi.

Memperkuat Kepentingan Kecil: Dalam konteks demokrasi representatif, golput dapat memperkuat pengaruh kelompok kepentingan khusus yang lebih terorganisir dan aktif dalam pemilihan. Hal ini karena suara golput secara efektif memberikan bobot yang lebih besar bagi suara kelompok-kelompok kecil yang berpartisipasi dalam pemilihan.

Dalam banyak kasus, dampak golput tidak selalu negatif, tergantung pada penyebab dan konteksnya. Golput dapat menjadi bentuk protes politik yang sah atau bahkan strategi politik yang dipilih dengan sadar oleh sebagian pemilih. Namun, tingkat golput yang tinggi secara konsisten dapat menimbulkan tantangan bagi proses demokratisasi dan stabilitas politik suatu negara.

Pertanyaan apakah golput sebaiknya dilakukan dalam pemilihan umum adalah subjektif dan tergantung pada perspektif individu serta konteks politik masing-masing negara. Berikut adalah beberapa sudut pandang yang berbeda terkait dengan kebijakan golput:

Sudut Pandang Demokratis: Dari sudut pandang demokratis, partisipasi dalam proses politik, termasuk pemilihan umum, dianggap sebagai hak dan tanggung jawab warga negara. Oleh karena itu, beberapa orang berpendapat bahwa golput dapat mengurangi kekuatan demokrasi dengan mengurangi representasi suara yang sah dari berbagai pandangan dan kepentingan dalam masyarakat.

Sudut Pandang Protes Politik: Di sisi lain, beberapa orang melihat golput sebagai bentuk protes politik yang sah terhadap sistem politik yang dianggap korup, tidak adil, atau tidak mewakili kepentingan masyarakat. Golput dapat menjadi cara bagi individu untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap kandidat atau partai politik yang tersedia.

Sudut Pandang Strategis: Ada juga yang berpendapat bahwa golput dapat menjadi strategi politik yang efektif dalam beberapa konteks. Misalnya, dalam situasi di mana pilihan yang tersedia terlalu terbatas atau tidak memuaskan, golput dapat menjadi cara untuk menunjukkan bahwa tidak ada kandidat yang benar-benar mewakili nilai atau kepentingan yang diinginkan oleh pemilih.

Sudut Pandang Partisipasi Aktif: Bagi sebagian orang, golput tidaklah sebaiknya dilakukan karena partisipasi aktif dalam pemilihan umum dianggap sebagai cara yang paling efektif untuk memengaruhi arah politik sebuah negara. Mereka berpendapat bahwa meskipun tidak ada kandidat atau partai politik yang sempurna, memilih untuk golput dapat mengurangi kemampuan untuk membentuk perubahan positif dalam sistem politik.

Penting untuk diingat bahwa golput merupakan keputusan individu dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk nilai-nilai politik, kepercayaan, dan situasi politik yang ada. Tidak ada jawaban yang pasti tentang apakah golput sebaiknya dilakukan, dan setiap orang mungkin memiliki sudut pandang yang berbeda tergantung pada konteks dan nilai-nilai yang mereka anut.

Pertanyaan apakah golput perlu dilarang adalah isu yang kompleks dan terkait erat dengan prinsip demokrasi, kebebasan berpendapat, dan hak asasi manusia. Di banyak negara, hak untuk memilih atau tidak memilih dianggap sebagai hak fundamental yang dilindungi oleh konstitusi atau hukum dasar negara.

Di satu sisi, beberapa orang berpendapat bahwa melarang golput akan bertentangan dengan prinsip kebebasan berpendapat dan hak individu untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap sistem politik melalui bentuk protes yang sah.

Di sisi lain, beberapa orang berpendapat bahwa golput dapat merugikan proses demokrasi dengan merendahkan legitimasi pemerintahan yang terpilih dan memengaruhi distribusi kekuasaan politik. Mereka mungkin berargumen bahwa melarang golput akan memastikan bahwa keputusan politik yang diambil mencerminkan kehendak mayoritas masyarakat.

Namun, secara praktis, melarang golput bisa sangat sulit dilakukan karena sulitnya mendefinisikan dan mengawasi tindakan golput, serta potensi pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia.

Sebagai gantinya, pendekatan yang lebih konstruktif mungkin adalah untuk mendorong partisipasi aktif dalam proses politik dengan cara meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemilihan umum, memberikan akses yang lebih mudah untuk memilih, dan mempromosikan dialog terbuka antara pemerintah dan masyarakat sipil. Hal ini dapat membantu mengurangi tingkat golput dengan cara yang lebih positif dan memperkuat proses demokrasi secara keseluruhan.

Golput? Kalau aku sih gak, kamu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun