Jujur, saya riskan mengatakan musisi, takutnya secara awam menimbulkan salah arti. Masyarakat secara awam mengartikan musisi adalah pemusik yang notabene bisa berarti selebriti ( Ahmad Dhani, Anang Hermansyah, Jelly Tobing, Iwan Fals, Fariz RM, Abadi Soesman, dsb), atau mungkin juga seseorang yang terlihat gemerlap,trendy dengan tingkat ekonomi yang lebih dari cukup.
Itu predikat musisi yang secara umum/awam tergambar di benak masyarakat. Sebenarnya istilah tukang musik ini awalnya saya dengar dari lagu Koes Plus, Volume 14, judulnya Rata-Rata.
Lagu ini ditulis sekaligus dinyanyikan oleh Tony Koeswoyo. Saya merasa musisi yang saya maksud dalam tulisan ini lebih reprenstatif dengan istilah Tukang Musik.
Memang musisi itu sendiri adalah orang yang memainkan alat musik seperti gitar atau piano atau orang yang menyanyi.
Seorang musisi juga seseorang yang menulis lagu  (Pencipta lagu/Penulis lagu), baik dirinya sendiri maupun diserahkan ke orang lain ( Wikipedia bahasa indonesia, ensiklopedia bebas ), ini bisa berarti siapa saja baik yang sudah selebriti maupun yang terseok-seok menjalani profesi musisi. Tapi patut diingat bahwa istilah musisi sudah mengalami penyempitan makna dan menciptakan makna baru bagi masyarakat kita.
Akibatnya seperti yang saya terangkan diatas. Ahmad Dhani Musisi, siapa yang menyangkal?. Teman saya, Handoko juga musisi. Pasti anda bertanya, siapa ?memang musisi?tampil di TV mana, jangan-jangan di TV mainan anak-anak. Padahal teman saya ini musisi tulen, makan gak makan tetap jrenkk. Jadi saya rasa, Â Jelas tulisan ini mengarah ke musisi yang mana.
Lebih sempit lagi, Tukang Musik yang saya maksud adalah seseorang dengan profesi/kerja/mata pencahariannya bermain musik sebagai pemain dari instrumen/alat musik ( gitar,bass,drum,keyboard,dll ) di sebuah tempat yang mengadakan pertunjukan musik/band baik rutin setiap hari maupun berkala yang terjadwal.
Dan mereka ini musisi jelata bukan yang kaya, bangsawan, populer,dsb ( Kamus Besar Bahasa Indonesia Online ). Tukang musik mengistilahkan kalau jadwal rutin namanya Job Reguler, sedangkan yang tidak rutin namanya Event.
Bak kata pepatah untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, datanglah Covid-19 beserta anak cucu cicitnya konser di Jakarta tanpa promotor. Â Begitu cepat wabah Covid-19 menyebar mengalahkan rekor wabah Om Telolet Om.
Akhirnya Pemprov DKI Jakarta mau tidak mau memutuskan Status Tanggap Darurat selanjutnya PSPB, eh salah, ( jadi inget SMA ) maksudnya PSBB .
Tapi ngomong-ngomong sekarang sudah tidak ada pelajaran PSPB ( Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa ). Padahal itu bagus untuk mengenal pahlawan yang berjuang demi bangsa dan negara. Lha,,,jadi belok yang dibahas,maaf.
Akibat PSBB Â ( Pembatasan Sosial Berskala Besar ) hampir semua aktivitas warga dibatasi bahkan tidak diperbolehkan, ya itu bertujuan benar kita tahu.
Tempat keramaian menjadi tempat kesepian ( tempatnya yang kesepian maksudnya ), mall , cafe, bar, lounge hotel dan hotelnya, tempat kuliner, dan tempat hiburan tutup. Segala macam event juga dilarang.
Semua yang berhubungan dengan keramaian, berkumpulnya banyak orang dilarang. Timbul masalah baru, pekerja yang bekerja di tempat yang dilarang PSBB bagaimana ? Ya tiarap.
Meski begitu ada juga yang masih bisa bekerja mencari nafkah dengan penghasilan yang menurun dan sebagian lain pekerja yang total tidak bisa bekerja mencari nafkah. Ada beberapa pekerja informal yang masih bisa bekerja dengan segala konsekuensi dan aturan tentu dengan penghasilan yang menurun misal penjual/pedagang kaki lima, Ojol, penjual online,dsb.
Nah, tukang musik bagaimana ??. Tukang Musik hanya bingung, linglung dan lirik sana srot lirik sini srit mencari peluang kerja.
Tapi bisa apa ?? Okelah yang bisa dagang jual beli, tapi situasi PSBB orang kebanyakan beli sesuatu yang penting, akhirnya tetap jual beli dengan komoditi aneh, jual TV beli beras. Yah tetap jual beli judulnya. Tukang musik di tengah PSBB praktis tidak dapat bekerja dengan pekerjaannya, total 100%. Â Semua tempat kerjanya total tutup, tidak ada istilah dispensasi.
Tukang ketoprak masih bisa berjualan meski omzet menurun, Ojol juga masih bisa narik dengan penurunan penghasilan, sedangkan tukang musik ? Tidak bisa bekerja sama sekali, nol bolong.
Masyarakat mungkin menilai tukang musik berkecukupan dari segi ekonomi. Di panggung gembira ria, kostum keren, ketawa ketiwi ( andai menangis lucu gak ya? ) , yah itu semua tuntutan skenario istilah bintang film. Suatu ketika teman saya bilang saat selesai tampil. " Bro, hanya dipanggung segala kesedihan dan kesusahan hilang, nanti sampai rumah baru ingat semua hutang, anak belum bayar sekolah, beli token listrik yang sudah tat tit tat tit nyaring bunyinya, dan sebagainya dan sebagainya."
Saya hanya tersenyum bahagia karena saya juga persis begitu, ternyata kesusahan ini ada temannya. Penghasilan tukang musik memang ada yang relatif besar bagi yang bandnya atau namanya dikenal tapi banyak juga yang relatif kecil bahkan ada yang sanggup tampil hanya dibayar makan,minum dan ucapan terima kasih. Lalu dapat uang darimana ? hanya mengandalkan tips atau saweran ( istilah di dunia panggung ) penonton.
Kalau penonton atau pengunjung tempat tampil itu ramai, nah kalau sepi ?? okelah katakan ramai tapi tidak ada yang memberi tips/saweran ?? yah, nangis darah istilah teman saya. Apa ada tukang musik yang sanggup begitu, tampil hanya dapat makan,minum lalu hanya mengandalkan tips/saweran? Saya jawab,ada!. Saya tahu persis karena saya juga tukang musik.
Penghasilan tukang musik secara umum tentu dari honor pertampil dan honor itu tidak ada standart tergantung nego dan kesepakatan yang selalu ada dilema di dalamnya. Diterima bagaimana?ditolak juga bagaimana. Ditolak, besoknya pasti ada tukang musik yang masuk lalu deal. Diterima tapi honor kecil pas-pasan. Terus begitu dan begitu. Â Saya tidak berani mengatakan honor secara nominal tapi honor tukang musik saya pastikan sangat memprihatinkan. Orang bijak bilang belajar menabung, kalau penghasilan/pendapatan pas-pasan apa yang ditabung?. Â Ini ilustrasi saat situasi normal, apalagi situasi PSBB sekarang. Nol penghasilan sedangkan hidup berjalan terus dengan segala kebutuhannya.
Awal wabah corona, Pemerintah sibuk perhatiannya pada pengemudi Ojol, entah mengapa tapi saya tidak ingin berandai-andai. Realitanya ojol masih bisa kerja (narik) kalaupun penghasilan menurun tentu wajar tapi masih punya penghasilan. Bahkan Presiden Jokowi menyempatkan diri membagikan sembako langsung pada pengemudi ojol di kawasan harmoni ( med.com.id tgl. 9 april 2020 ). Beberapa kalangan menilai perhatian Pemerintah dan BUMN pada Ojol berlebihan ( indozone.id tgl. 15 april 2020 ). Pemerintah diminta tidak fokus beri insentif ke ojol ( kompas.com tgl. 15 april 2020. Saya heran dimata Pemerintah keberadaan tukang musik tidak terlihat, atau barangkali Pemerintah menilai pekerjaan tersusah karena situasi wabah hanya Ojol. Saya bukan iri dan sejenisnya, kata nenek saya dulu rejeki itu tidak akan salah alamat ( kata Ayu Tingting juga begitu ). Akan tetapi hanya heran dan semua pekerjaan yang terdampak wabah Covid-19 berhak mendapat perhatian Pemerintah.
Sampai saat ini belum ada bantuan dari pemerintah pada profesi Tukang Musik, mungkin yang bersuara diatas hanya musisi-musisi yang hidupnya berkecukupan secara ekonomi jadi tidak terpikirkan ada tukang musik yang secara ekonomi kesulitan. Setiap ada momen pertemuan Pemerintah dan kalangan Musisi dapast dipastikan yang diundang para musisi yang sudah selebriti, mana tahu mereka tentang kehidupan tukang musik, mereka hanya membahas idealisme bermusiknya, tata niaga royaltinya, dsb yang tidak bersentuhan dengan kepentingan dan kebutuhan musisi ( tukang musik ) bawah yang berjibaku dengan honor dibawah standart upah.
Akhirnya tukang musik jelata pasrah, sabar dan berdoa semoga wabah covid-19 berakhir, bisa kerja lagi mengais honor yang miris dan melanjutkan penderitaan.
Salam Musik Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H