Ketiga, terjadi sejak tahun 1989 sampai tahun-tahun berikutnya dimana globalisasi telah mencakup ketiga sektor politik, ekonomi, dan budaya. Reglobalisasi atau fase ketiga ini ditandai dengan meningkatnya globalisasi ekonomi, politik dan budaya. Arus globalisasi telah meninggalkan warisan yang telah memberikan dampak bagi negara-negara yang terkena arus globalisasi. Pada kelanjutannya dampak globalisasi yang ada pada sebuah negara yang akan mempengaruhi hubungan selanjutnya dari negara tersebut kepada negara lainnya. Menurut J. Renni bumi laksana sebuah rangkaian tempat yang mengalami proses yang berulang-ulang dari reglobalisasi, contohnya seperti kota Sydney di Australia.
Implikasi globalisasi
Globalisasi satu sisi memiliki implikasi yang positif bagi perkembangan ekonomi suatu negara, akan tetapi pada kenyataannya skenario globalisasi ini hanyalah dibuat semata-mata oleh orang orang yang berkepentingan (western world) dengan maksud mendominasi. Dimana hal ini sebenarnya hanya khayalan belaka untuk sebagian besar non-western world (negara-negara selain di barat). Semua harapan jutaan orang di seluruh dunia telah sirna ketika mereka menyadari bahwa sebenarnya globalisasi itu hanyalah sebuah permainan negara barat untuk mendominasi secara menyeluruh di dunia. Seluruh negara yang menaruh kepercayaan pada kerjasama finansial multinasional dan internasional, organisasi-organisasi, bank, dan semua isu pembangunan ekonomi telah menyadari bahwa mereka telah dengan cerdik ditipu.
Oleh karena itu secara kritis globalisasi hanyalah sebuah trik semata dari pihak-pihak barat untuk dapat masuk ke dalam negara-negara di seluruh dunia dalam menanamkan hal-hal yang berkaitan dengan saling bekerja samanya seluruh negara-negara di dunia, saling ketergantungan antar negara, pembangunan bersama, dan hal lainnya, yang ternyata hanyalah sebuah intrik yang telah disiapkan secara matang untuk dapat mendominasi dunia.
Pada hakikatnya mereka (barat) sedang menjajah negara-negara di dunia ini dengan cara yang berbeda. Menurut Ali A. Mazrul, globalisasi itu adalah homogenisasi dan hegemonisasi. Contohnya adalah pada dress-code atau cara berpakaian. Pada abad 20, cara berpakaian di rata-rata pada tiap negara menjadi sama dimana kesamaan ini adalah sama dengan cara berpakaian ala barat, yang dimana dapat menunjukan suatu hegemoni di masyarakat luas terhadap cara berpakaian barat. Contoh kedua adalah dari segi bahasa, dimana bahasa barat (inggris) menjadi bahasa global, hal ini juga memperlihatkan homogenitas dan lagi-lagi menjadi sebuah hegemoni yang mendunia sebagai western hegemonization.
Hal-hal lain pada situasi homogenisasi dan hegemonisasi yang menjadi gaya hidup masyarakat luas juga telah berhasil mereka masuki, sebagai contoh kasar adalah branded (merk) barat yang telah berhasil masuk ke pasar global dan menjadikannya sebagai sebuah lifestyle. Merk-merk ini telah berhasil mendunia dan populer, dimana hal ini sebenarnya telah merasuk menjadi sebuah ideologi, budaya, dan komoditas yang berpengaruh secara global. Melalui globalisasi, masyarakat luas benar-benar diperdaya oleh konteks internasional guna mengoptimalkan pembangunan di negaranya masing-masing. Namun yang terjadi sebenarnya mereka sedang mengalami proses penjajahan yang intens oleh pihak barat untuk dapat mendominasi masyarakat luas, melalui sospol, budaya, informasi, teknologi, dan hal lainnya.
Globalisasi yang dimaknai sebagai sebuah kolonialisme pada akhirnya di masa kekinian bertransformasi menjadi Neo-Kolonialisme. Para ahli menegaskan bahwa Neo-Kolonialisme mempunyai efek destruktif yang lebih besar daripada kolonialisme. Seperti halnya kolonialisme, agent-agent Neo-Kolonialisme meliputi kekuatan internal dan eksternal. Kekuatan eksternal adalah kekuatan negara-negara Eropa besar dan United States, yaitu sebagai kekuatan Barat. Sedangkan kekuatan internal termasuk di dalamnya beberapa elit- elit politik dan intelektual yang mempunyai kepentingan pribadi. Karena itu, mereka beraliansi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kekuatan eksternal neo-kolonialisme.
Neo-kolonialisme bisa juga digambarkan sebagai bentuk imperialisme, karena kekuatan- kekuatan imperial melakukan peran yang menentukan di dalam ekonomi, politik dan kesemua hal-hal pada daerah jajahan secara tak langsung. Bekas-bekas negara jajahan memang sudah diberikan kemerdekaan tetapi mereka tetap diatur dari luar dengan berbagai bantuan dari beberapa elit dan strata ekonomi, politik, kaum intelektual dari kaum pribumi.
Implikasi neo-kolonialisme umumnya ada 3 hal, yaitu: Pertama, membodohi masyarakat dan membuat mereka mengira bahwa negaranya telah merdeka tetapi pada kenyataannya neo-kolonialisme menciptaan “pseudo-administrator states”. Maksudnya adalah pemimpin negara pribumi muncul sebagai administrator negara tetapi kekuatan imperial mengatur negara itu secara tak langsung. Kedua, neo-kolonialisme melanjutkan hal yang sama seperti kolonialisme terdahulu, yaitu pengeksploitasian SDA dan SDM sampai eksploiter-eksploiter pribumi. Ketiga, neo-kolonialisme menciptakan pemimpin bangsa yang tidak patriotik, yang memakan daging bangsanya sendiri. Dengan cara ini mereka membantu membangun dan memperkuat desain imperialis yang terjadi di negaranya dan bahkan mereka memperlemah kekuatan politik dan ekonomi negaranya sendiri.
Dampak buruk dari globalisasi pada akhirnya menciptakan kemiskinan. Michele Chossudovsky berusaha memetakan gambaran mengenai kemiskinan di beberapa negara akibat perkembangan globalisasi ini. Kemiskinan pada negara-negara tersebut salah satunya disebabkan oleh liberalisasi perdagangan bebas yang dilakukan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) serta kebijakan ekonomi yang ‘dipaksakan’ untuk diterapkan pada negara-negara tersebut oleh lembaga keuangan dunia semacam Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund). Michele Chossudovsky melalui bukunya memaparkan mengenai studi kasus dari beberapa negara yang terkena kebijakan reformasi ekonomi yang dipaksakan oleh lembaga-lembaga keuangan tersebut.
Michele Chossudovsky menganalisis masa lalu dan masa kini dalam kaitannya dengan utang, globalisasi dan pendanaan internasional. Ia menggambarkan bagaimana lembaga keuangan dunia (IMF, Bank Dunia, dll) yang menghancurkan negara-negara lain dan memiskinkan mereka dengan kedok kapitalisme dan kebebasan. Ia juga memaparkan dengan jelas proses dolarisasi dan perannya di New World Order (Tatanan Dunia Baru).