Oleh Syaifuddin Gani
Ahad, 2 Agustus 2009. Saya meninggalkan Kendari dengan menghikmati sebuah titah Nabi Muhammad, "barang siapa yang ke luar rumah karena menuntut ilmu maka ia telah berjuang di jalan Allah sampai ia pulang kembali".
Saya harus melaksanakan salat Magrib di udara, karena pesawat Lion berangkat dari Kendari, sore hari. Bergetar juga salat di udara, apalagi malam mulai menyergap. Selain karena getaran badan pesawat, juga ada getaran lain yang bersumber dari hati saya. Menumpangi pesawat, bagi saya, selalu siap untuk menghadap-Nya. Jangan-jangan memang penerbangan ini adalah sebuah tiket menuju ke landasan haribaan-Nya. Di udara, saya takzim dan kagum menikmati cakrawala yang kemerahan seperti sebuah garis tegas-sejak dari Kendari-sampai mulai kecoklatan hingga berwarna legam. Sempat saya menulis sajak di dalam pesawat,
Garis api menelikung langit
Gelembung legam gelombang diam
Berdiang dalam tungku maharaya
Turun di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng, udara terasa panas. Setelah mengambil koper, saya langsung menuju terminal dan menyetop Damri, menuju Pusat Bahasa, Jakarta. Setiba di wisma Pusat Bahasa, saya berjumpa dengan kawan-kawan penyair dan penulis dari Gorontalo, Pontianak, Medan, Jakarta, Lampung, Bali, Banten, Maluku, dan Surabaya. Kami akan mengikuti sebuah program penulisan esai se-Asia Tenggara yang diikuti penyair dan penulis Indonesia, Brunai Darussalam, Malaysia, dan Singapura. Kegiatan ini disebut Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera):Esai. Yah, saya akan belajar dan diajar menulis esai, sebuah genre penulisan, selama enam hari di Wisma, Arga Mulya, Cisarua, Bogor.
Senin, 3 Agustus 2009. Bersama penyair dan penulis Brunai serta Singapura, kami menumpangi mobil yang disiapkan panitia menuju Cisarua, Bogor. Hal yang menjadi pertanyaan bersama adalah peserta Malaysia tidak datang. Informasi yang didapat panitia dari pihak Malaysia, pemerintah tidak "meluluskan" mereka ke Indonesia mengikuti kegiatan tahunan ini. Segera saja, "lagu lama" tentang hubungan sesama negeri jiran ini mengalun lagi. Kami pun menduga-duga mungkinkah karena hubungan Indonesia dan Malaysia yang kadang tidak sedap menjadi penyebabnya? Apakah kasus TKI, Blok Ambalat, dan klaim budaya menjadi penyebabnya? Ah, di televisi berita tentang Manohara dan Sultan Kelantan masih ramai menjadi sebuah "drama telenovela" yang mengharu biru.
Sepanjang Jakarta, hotel berbintang, gedung pencakar langit, dan jalan layang menjadi pemandangan yang menakjubkan sekaligus membosankan. Panas terasa mendesak hingga ke dada. Jarak pandang hanya sekian kilometer belaka. Kabut hitam akibat efek rumah kaca dan asap industri menyelubungi langit Jakarta. Sehingga konon, udara kota ini sangat buruk dan kotor melewati batas maksimal ketercemarannya.
Saya membayangkan, seandainya kali yang diapit kompleks pasar buah Wua-Wua diberdayakan pemerintah Kota Kendari menjadi objek wisata yang khas, Kendari akan memiliki daya tarik bagi siapapun. Saya selalu takjub dengan laut di bawah "Jembatan Triping" yang menjorok ke dalam area pertambakan penduduk karena keunikan dan kejernihan airnya. Di kiri dan di kanan terdapat pohon-pohon bakau (yang mulai tergerus), menjadikan lokasi itu sangat spesial dan potensial. Saya memimpikan, suatu saat nanti (entah kapan), diadakan lomba dayung katinting yang bertolak dari depan Kendari Beach dan melintas di bawah Jembatan Triping sebagai titik finis. Seandainya ini terjadi, kita telah menyelamatkan dan menghidupkan banyak hal, antara lain: katinting sebagai produk budaya lokal, hutan bakau sepanjang teluk, potensi wisata, dan air laut yang jernih. Tetapi sepertinya, itu memang sekadar mimpi, karena bakau kehilangan daya pukau. Ia kini ditimbuni tanah buat pembangunan yang merajalela!
Yah, kami segera memasuki kota hijau Bogor yang dipelihara angin segar. Di kiri-kanan jalan, pohon-pohon merimbun. Di buki-bukit jauh, kabut memeluk puncaknya. Burung-burung beterbangan menanggalkan bunyi merdu. Menurut Arif Sanjaya, penulis Banten, Bogor adalah penyangga Jakarta. Masa depan Jakarta ada di hutan-hutan Bogor. Jika hutan Bogor dibabat lagi, maka bisa dipastikan Jakarta akan tenggelam. Di atas puncak bukit yang dingin itu, saya kembali menulis beberapa larik sajak: