Mohon tunggu...
Syaifuddin Gani
Syaifuddin Gani Mohon Tunggu... profesional -

SYAIFUDDIN GANI lahir di Kampung Salubulung, Mambi, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat, September 1978. Bergiat di Teater Sendiri Kendari. Sajak-sajaknya dimuat diberbagai majalah sastra, Koran, dan antologi bersama. Bulan Agustus 2009, mengikuti Perogram Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) bidang Esai. Bekerja di Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Memiliki istri dan satu anak yang dicintai. Email: om_puding@yahoo.com dan HP 081341677013.Kumpulan sajak tunggalnya Surat dari Matahari (Komodo Books) terbit April 2011.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Esai dan Maut dari Bogor

9 Juli 2012   04:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:09 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tapi saya beruntung sempat menyeberang ke Raha/Muna, meskipun saya iri kepada penyair Cecep Syamsul Hari yang begitu tiba di Raha sebuah sajak berjudul "Raha" lahir dari tangannya. Oleh pemilik hotel (hotel yang sebenarnya rumah) di Raha saya diantar ke sebuah desa, malam-malam, untuk melihat kain tenun khas Muna. Pada kedatangan kedua, saya lebih beruntung karena sepanjang malam ditemani Gani, Roy, dan Inal (yang pertama seniman Kendari asal Mandar, yang lainnya seniman Raha) jalan-jalan ke pantai/pelabuhan Raha. Bersama mereka saya menikmati lampu-lampu neon berderet sepanjang pelabuhan, menikmati debur ombak pelahan, serbuan angin laut, dan kesibukan malam pelabuhan. Mereka bicara banyak tentang Muna, meski sebagian tak terekam dalam ingatan. Mereka bercerita tentang tugu pembatas Raha, tentang kebersahajaan seorang ibu tokoh politik di negeri ini, tentang kontu kowuna (batu berbunga), tentang rencana pembangunan hotel di tepi pantai menjelang PORDA, tentang sumber minyak di bawah tanah Raha, dan tentang penebangan kayu jati yang terus berlangsung hingga kini.

Ah kayu jati? Dengan sedih malam itu saya saksikan bagaimana truk-truk mengangkut kayu jati yang sudah diikat rapi dan langsung dimasukkan ke kapal-kapal yang akan menyeberangkannya entah kemana. "Kayu jati Raha kualitasnya nomor wahid," begitu kata Roy. Saya terhenyak sejenak: kayu jati, nomor wahid! Betul-betul spiritual: kayu jati kayu yang hebat (makanya kita menggunakan ungkapan "jati diri" untuk mengungkapkan etos bangsa) dan wahid bukankah ahad (satu)? Pulau Muna ini pulau yang menyimpan "jati" kualitas ahad! Tentu tak elok jika penggerogotan atasnya (baik alam maupun kebudayaan) dibiarkan. Pada kesempatan ini saya ingin meminta sesuatu pada Roy dan Inal: jaga pulaumu dengan seluruh dayamu. Dapatkah kesenian berperan dalam hal ini?"

Tulisan bergaya esai Wan Anwar di atas, memberi gambaran yang menggetarkan tentang penggundulan jati di Muna. Itulah sebabnya, Kendari dan Sulawesi Tenggara membuat redaktur Horison tersebut jatuh cinta dan ingin kembali lagi ke sini suatu waktu. Niatnya terealisasi tahun 2008, lalu tahun itu dikatakannya ingin kembali lagi ke sini dan berkunjung ke Keraton Wolio, Buton. Niat itu tidak akan pernah terealisasi lagi. Wan Anwar segera menuju "keraton" Sang Khaliq, 23 November 2009. Persis setahun saat ia di Kendari, November 2008 saat ia menyatakan keinginannya untuk ke sana lagi.

Kembali ke soal esai. Begitu pula jika saya menulis tentang Piala Adipura yang diraih Kota Kendari tiga kali berturut-turut. Dalam paradigma esai, saya mungkin bisa berbangga atas prestasi tersebut sambil melakukan kritik karena masih banyaknya sampah yang berserakan. Seandainya saya menulis esai tentang Adipura Kota Kendari misalnya, saya dapat memberi pujian pada pemerintah kota seraya berkelakar bahwa bagaimana kalau tahun depannya saja kita raih piala bergengsi itu? Kita lakukan dulu gerakan kultural (kebudayaan) bersama masyarakat sehingga kebersihan itu benar-benar lahir dari kesadaran dan keberdayaan masyarakat. Artinya, gerakan pembersihan dan penataan kota bukan hanya gerakan struktural saja?

Mengenai pendapat "struktural" tersebut, hanyalah paham pribadi saya yang subjektif, karena belum tentu benar adanya. Boleh saja pemerintah mengklaim, ini adalah kerja kebudayaan. Tetapi tentunya, di akhir tulisan esai itu nantinya saya akan tetap berterima kasih dan bangga selaku warga Kendari karena telah berhasil meraih Adipura. Akan tetapi, sebelum saya benar-benar akhiri, saya akan sampaikan dulu pengalaman saya menjejali beberapa kota bersih dan tertata Indonesia lainnya, misalnya Kolaka, Tarakan, Bogor, Solo, Surabaya, atau Samarinda yang menawarkan tata kota yang menentrankan hati. Hampir lupa, saya akan bercerita tentang kenyataan bahwa yang turun langsung ke jalan, pasar, dan selokan untuk mengeruk sampah adalah para calon pegawai negeri sipil Kota Kendari, sebagai bagian dari pengenalan mereka menjadi abdi negara yang setia. Mereka mengisi absensi di jalan sebagai bentuk kehadiran berkantor. Tak lupa saya sampaikan pada pembaca bahwa setelah menerima sang Adipura, sampah-sampah kembali mekar.

Mohammad Sobary, seorang esais ulung dan pengamat politik, memberi materi esai dengan cukup unik dan menarik, seunik dan semenarik sendiri esai-esainya. Ia tegaskan bahwa seorang esais harus berani, tegas, tapi ramah, penuh canda, dan berkelakar dalam esainya. Ini penting agar "pihak" yang dikritik menerima kritikan itu tanpa harus marah. Bahkan dalam beberapa kasus "dampak" tulisan esai, banyak pihak yang dauber-uber sang esais merasa bangga, berterima kasih, dan malah bersahabat dengan sang esais.

Arif Bagus Prasetyo adalah seorang penyair dan kritikus sastra serta seni rupa. Esainya sangat berbeda dengan Kang Sobary dan Mas Agus. Ia sangat analitis, semi-ilmiah, dan banyak tokoh/pakar, serta pendapat ahli yang dia kutip. Katanya, tulisan harus dibiarkan mengalir. Jangan berpikir bahwa jangan sampai tulisan saya terlalu ilmiah (objektif) dan sangat berdasarkan pendapat pribadi (subjektif). Begitu pula dengan Prof. Madya Ampuan Dr. Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah, pemateri dari Brunai Darussalam. Sebagai seorang ahli, kritikus, dan sastrawan ia memadukan ketiga kecapakan itu dalam sebuah karya esainya. Berbeda di Indonesia, di Brunai esai adalah karya akademik atau ilmiah, sedangkan di Indonesia esai adalah genre tersendiri yang berbeda dengan karya ilmiah/akademik yang harus banyak mengutip teori dan pendapat ahli.

Hari kedua, kami digegerkan dengan berita di televisi tentang kematian Mbah Surip yang terasa tiba-tiba. Beberapa minggu terakhir ia menghiasi layar kaca Indonesia dengan lagu trend-nya, "Tak Gendong". Kepergiannya jadi buah bibir juga di kalangan peserta Mastera. Ia pergi di puncak ketenarannya dan dimakamkan di kompleks Bengkel Teater Rendra. Seakan-akan ia hanya muncul untuk mengatakan betapa berat perjuangan yang dilaluinya, kepada publik tanah air yang hanya mengenal artis-srtis beken. Maka diputar kembalilah video-video klip Mbah Surip, termasuk klip yang dibintangi dirinya dengan Rendra, seorang seniman besar Indonesia yang juga sudah lama terbaring tak berdaya di rumah sakit. Yah, sakit dan kematian adalah tanda-tanda dari Langit bagi manusia...

Wisma Arga Mulya tempat kami menginap dan mengikuti kegiatan ini, sangat dingin. Setiap kamar terdiri atas dua ranjang dan saya sekamar penulis muda Medan, Sukma namanya. Bukit hijau yang mengelilingi wisma membuat marmer lantai berubah jadi pendingin alami. Malam hari, selimut tebal harus menutupi seluruh tubuh. Asarpin, esais dari Lampung sampai harus memakai sarung tangan karna kedinginan. Bahkan Ni Made Purnamasari, penyair dari Bali harus melingkarkan syal di leher untuk berkompromi dengan gigil. Yanuardi Syukur yang murah senyum, berbaju dua lapis. Mashuri menghangatkan suasana dengan isapan 234-nya. Arif Senjaya mengakrabkan suasana dengan kelakar-kelakar komedik-kritisnya. Akan tetapi, Mulyadi Esem tetap saja cool meski berbatang-batang sang filter mengepul di bibirnya. Ah, Namira Mazlan, gadis bertahi lalat di hidung mancungnya. Dialah salah satu sumber angin kehangatan di tengah peserta. Ia fasih berbahasa Melayu, sefasih lidahnya melontarkan bahasa Inggris. Apakah ia menguasai bahasa Cinta?

Wow, menyaksikan bukit hijau di sana, saya seakan-akan hidup bersama iklan teh hijau di televisi, menyaksikan para pemetik daun teh di bukit-bukit itu. Pucuk, pucuk, pucuk...

Ah, salah satu rencana pertemuan yang, kemudian saya sesali tidak terjadi di puncak hijau itu adalah perjumpaan dengan Wan Anwar. Sebab sebelum saya ke Jakarta, ia meng-sms saya dan mengatakan ingin bersua di sana. "Sampai ketemu di Bogor", katanya. Dua bulan setelah sms itu, Wan Anwar telah meninggalkan kita semua. Perkiraan saya, ia akan menjadi salah satu pemateri, ternyata tidak. Di dalam sebuah hadist Qudsi diriwayatkan bahwa manusia punya rencana dan Tuhan juga punya rencana. Rencana Tuhanlah yang selalu jadi kenyataan. Hal ini bisa dimaknai bahwa, rencana manusia bisa menjadi rencana Tuhan. Dan rencana Tuhan dapat pula tidak direncakan manusia sebelumnya. Kang, damailah di Surga...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun