Bukit-bukit ranum
Dingin berangsur-angsur
Lampu-lampu menganggur
Kabut lelehan benang diangsur
Melilit keheningan mengabur
2009
Ketika baris-baris di atas saya perlihatkan kepada penyair-novelis Mashuri, sambil mengutip pendapat seseorang ia mengatakan, tidak setiap kata-kata yang dipetik itu bisa menjadi puisi. Kata-kata yang dipetik itu, kemudian disimpan lagi di dalam lemari kata. Suatu waktu dibuka lagi dan ditimbang lagi, lanjutnya. Saya mengangguk dan kemudian kami tertawa, sambil (saya) menyelami makna kata-katanya.
Selama enam hari kami digembleng menulis esai. Esai yang telah kami kirim sebelumnya, sebagian besar tidak termasuk genre esai, hanyalah sebuah artikel atau makalah. Menurut Agus R. Sarjono, sebagai pemateri, kalau karya ilmiah menghilangkan sang subjek (penulis) di dalam tulisannya, sastra (puisi) menghadirkan sang subjek (penyair) di dalam teksnya, maka esai dapat menghadirkan dan menghilangkan sekaligus penulisnya. Dengan demikian, misalnya saya menulis karangan ilmiah tentang raibnya ribuan kayu jati di Muna, maka saya dapat menyampaikan pengamatan saya bahwa hilangnya kayu jati di hutan-hutan Muna dilakukan secara terstruktur oleh pihak tertentu. Tentunya, sebagai karya ilmiah saya harus mampu memaparkan data objektif, bukan rekaan, misalnya. Jika saya menulis puisi tentang jati Muna, saya bebas menyampaikan subjektivitas untuk berimajinasi dan berpendapat melalui metafora dan gaya bahasa yang sedapat mungkin memikat. Di dalam puisi saya bisa mengatakan bahwa jati Muna dijarah oleh maling dari negeri ajaib atau negeri peri. Negeri maling dan negeri peri hanya ada di dalam imajinasi saya, bukan suatu kenyataan faktual.
Sebaliknya, jika saya menulis esai tentang jati Muna, saya dapat memadukan objektivitas karangan ilmiah dan subjektivitas puisi. Saya dapat memaparkan data objektif sambil "lari" ke dalam rimba puisi, dan sebaliknya. Saya mungkin menulis kenyataan yang sesungguhnya siapa yang menggunduli jati itu dengan cara berkelakar dan bercanda, sehingga orang yang dimaksud tidak perlu tersinggung atau melaporkan saya ke pihak berwenang. Paling tidak, kupingnya memerah karena tersinggung sebagai pelaku. Esai adalah sebuah tulisan yang ringan, luwes, dan dapat lebih cepat sampai maknanya ke pembaca. Tentunya, pembahasan saya ini adalah sebuah pengandaian belaka, imajiansi, atau perumpamaan. Karena saya sendiri tidak sedang menulis secara benar dan serius tentang hal itu. Saya pun tidak tahu-menahu tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas gundulnya jati Muna itu. Bahkan, saya tidak berani mengatakan bahwa pelaku penggundulan jati di Muna itu adalah seorang bupati yang pongah dan keras kepala, misalnya, yang tidak pernah disentuh hukum.
Ah, menulis tentang Muna, mengingatkan lagi kenangan bersama almarhum Wan Anwar ketika kami berkunjung tahun 2004, silam. Dengan perasaan yang tersayat, kami melihat puluhan truk pengangkut jati, siap dimuntahkan ke dalam kapal besi di dermaga Lakilaponto, Muna, yang sandar di bibir dermaga. Kami menyaksikan dengan hati terluka di atas bibir dermaga. Pemandangan itu terjadi setiap saat, disaksikan rakyat Muna yang sebagian besar miskin. Setelah kami kembali ke penginapan, saya menulis puisi di bawah ini dan almarhum menulis cerpen yang kemudian diberi judul "Sepasang Maut".
Puluhan keranda antri di dermaga, petang itu.